Friday 6 September 2013

Bab 4. MENYALAKAN TERANG SEJARAH YANG SEBENARNYA (bag.3)

Memahami Segalanya Tentang Ibnu Ishaq

Meskipun demikian, cendekiawan kajian Islam abad 20, W. Montgomery Watt (1909-2006) mengajukan untuk memisahkan sejarah dari legendaris Ibnu Ishaq dalam bukunya dua jilid biografi nabi Islam, Muhammad di Mekah dan Muhammad di Medina. Dia melakukannya hanya dengan mengabaikan cerita-cerita yang memuat keajaiban dari karya Ibnu Ishaq dan menyajikan sisanya sebagai akurat secara historis akurat, sebuah prosedur yang, dalam analisis akhir, benar-benar sewenang-wenang: Tidak ada alasan untuk lebih mempercayai cerita-cerita tanpa unsur mukjizat sebagai kejadian faktual dari pada cerita-cerita dengan unsur mukjizat dalam karya biografi Ibnu Ishaq ini.  Baik cerita-cerita tanpa unsur mukjizat maupun dengan unsur mukjizat harus dibuktikan oleh sumber-sumber sejaman lainnya, atau sumber yang lebih dekat ke masa Muhammad yang sebenarnya.

Patricia Crone menjelaskan sebagian dari apa yang salah dengan metodologi Watt: "Dia menerima sesuatu sebagai benar secara historis klaim bahwa Muhammad berdagang di Suriah sebagai agen Khadijah, meskipun satu-satunya cerita di mana kita diberitahu selama ini - sebenarnya banyak yang fiktif. Hal serupa terjadi pada Waat, ia menganggap bahwa kisah Abd al-Muthalib menggali sumur Zamzam di Mekah sebagai fakta historis, meskipun informasi tersebut juga berasal dari cerita-cerita mukjizat.[24] Watt menginformasikan pembacanya dengan mengesankan bahwapengepungan Madinah, dikenal umat Islam sebagai ekspedisi Khandaq atau Pertempuran Parit, dimulai pada tanggal 31 Maret 627 (8/xi/5) dan berlangsung sekitar dua minggu.[25] Namun di sisi lain ia tidak mengatakan apa-apa tentang petir yang keluar dari linggis Muhammad ketika ia sedang menggali parit. Juga Watt tidak mengatakan bahwa sumber tentang tanggal pengepungan itu berasal dari al-Waqidi, yang catatn-catatannya dikenal sebagai elaborasi ahistoris atas karya –karya Ibnu Ishaq yang bersifat legenda sebagaimana yang kita telah lihat. Mengapa Watt percaya tanggal saat memulai pengepungan sebagai sesuatu yang historis, tetapi ia tidak percaya tentang petir yang menakjubkan yang keluar dari linggis Muhammad? Ia tidak menjelaskan apa-apa tentangnya.

Baik Watt maupun sejarawan lain yang bergantung pada Ibn Ishaq untuk pengetahuan mereka tentang Muhammad dapat memiliki kedua-duanya. Dan jika Ibn Ishaq tidak dapat diandalkan sebagai sumber sejarah yang dapat dipercaya, tidak ada yang lain. Pada dasarnya setiap biografi Muhammad sampai hari ini tergantung setidaknya pada tingkat tertentu pada Ibn Ishaq. Johannes Jansen mengamati: "buku-buku tentang Muhammad Kemudian pada dasarnya membatasi diri untuk menceritakan kembali kisah Ibnu Ishaq. Kadang-kadang mereka sedikit lebih rinci dari Ibn Ishaq, tapi rincian tambahan mereka menyediakan tidak menginspirasi banyak keyakinan dalam skeptis modern. Biografi Barat modern Muhammad, juga, semua benar-benar tergantung pada Ibn Ishaq. Sama, semua artikel ensiklopedia tentang Muhammad, apakah populer atau akademik, hanyalah ringkasan narasi Ibn Ishaq.[26]

Jadi jika Ibnu Ishaq bukanlah sumber historis yang dapat dipercaya, apa yang tersisa dari kehidupan Muhammad? Jika tidak ada satupun yang pasti yang dapat diketahui tentang dirinya, maka pembentukan Islam-lah yang menyebabkan penciptaan tokoh legenda Muhammad (bukan sebaliknya bahwa dari Muhammadlah Islam lahir). Jika memang tidak ada sang nabi pemimpin perang yang mengajarkan jihad terhadap kaum tak percaya dan ajaran yang dipercaya sebagai firman yang abadi dan sempurna dari satu-satunya Tuhan, lalu bagaimana dan mengapa para petinggi kaum Arab Penakluk di abad 7 dan sesudahnya menciptakannya?  Apa kekuatan yang berada di belakang mereka, jika mereka sebenarnya tidak terinspirasi oleh janji seorang nabi yang berapi-api tentang pahala di dunia ini dan di dunia yang akan datang untuk para pejuangnya? Jika Islam tidak berkembang sebagaimana Muslim percayai dan sebagaimana sumber-sumber Islam awal kisahkan, maka sebenarnya bagaimana dan mengapa hal itu berkembang? Sebuah petunjuk untuk hal ini datang dari anomali-anomali yang mengitari panggung Arab Islam.


Muhammad: Sang Nabi Arab?

Muhammad adalah seorang utusan dari tanah Arab, lahir di Mekkah, berbahasa Arab, dan membawa pesan dari Allah kepada orang-orang Arab (lih. Qur'an 41:44) dan dari situ melebar ke dunia luas.

Setiap elemen dari kalimat di atas terdengar wajar sehingga baik kaum Muslim dan non-Muslim mempercayainya begitu saja; namun setiap elemen , ketika diselidiki lebih dekat , ternyata mulai goyah. Dari catatan sejarah yang masih ada, sama sekali tidak jelas bahwa ada seorang nabi Arab bernama Muhammad di sekitar Mekkah, yang membawa sejenis pesan kepada dunia. Atau setidaknya, catatan-catatan menunjukkan bahwa jika memang ada Muhammad, dia tidak hidup di Mekah dan tidak memberitakan sesuatu yang mirip Islam – sampai lama setelah kematiannya, ketika biografinya dan kitab suci seperti yang kita tahu mereka mulai dibangun.

Sentralitas Arab dan bahasa Arab dalam ajaran Islam Islam tidak dapat dilebih-lebihkan.  Meskipun Islam diklaim hadir sebagai agama universal bagi semua insane di bumi, namun ia memiliki karakter jelas Arab.  Berpindak keyakinan pada Islam, apapun kebangsaan mereka, biasanya mengambil nama Arab. Dimanapun mereka berada di dunia, dan apa pun bahasa asli mereka, umat Islam harus berdoa dalam bahasa Arab dan membaca Qur'an dalam bahasa Arab.

Banyak mualaf di negara-negara non-Muslim mengadopsi pakaian tradisional Arab.  Kebudayaan Arab memiliki tempat kebanggaan di dunia Islam yang sering menimbulkan ketegangan antara Muslim Arab dan non-Arab.  Supremasi Arab baru-baru ini di jaman kita sendiri menelurkan peperangan terhadap Muslim non-Arab di wilayah Darfur, Sudan. Konflik tersebut adalah fitur yang terus berulang dalam sejarah Islam. [27] Dan yang menjadi pisat dari ajaran Islam, karena itu, adalah kisah tradisional bagaimana Muhammad, seorang pedagang Arab , menerima Al Qur’an melalui malaikat Jibril dari Allah, pertama di Mekkah dan kemudian di Madinah.

Menurut catatan-catatan kanonik Islam, karena dipersenjatai dengan pesan ilahi, Muhammad menyatukan seluruh Semenanjung Arab di bawah bendera Islam pada saat kematiannya pada tahun 632.  Itu bukan tugas yang mudah, menurut sumber-sumber Islam standar.  Nabi dan agama barunya menghadapi perlawanan keras dari sukunya sendiri, Quraish, yang kafir dan musyrik. , Menurut cerita asal-usul agama Islam, suku Quraish tinggal di Mekah, yang merupakan pusat perdagangan dan haji, sehingga orang pergi ke sana dari seluruh tanah Arab dan di luar Arab juga. Dan menurut sumber-sumber Islam juga, suku Quraish mendapatkan keuntungan dari orang-orang yang melakukan ziarah ke Ka'bah (kuil berbentuk kubus di Mekah) untuk menyembah banyak berhalanya. Mekkah, menurut tradisi Islam, adalah titik pusat baik agama maupun perdagangan di wilayah itu juga.
Catatan kanonik tentang asal-usul Islam meyakini bahwa suku Quraish pada awalnya menolak klaim kenabian Muhammad lebih karena alasan ekonomi dari pada spiritual. Montgomery Watt mencatat bahwa “pada akhir abad 6 M,” kaum Quraish “telah menguasai sebagian besar perdagangan dari Yaman ke Suriah – sebuah jalur penting di mana Barat mendapat barang mewah India sedangkan bangsa Arab Selatan mendapat kemenyan.” [28] Sebagian besar perdagangan ini bergantung pada orang-orang Arab yang datang ke Mekkah sebagai peziarah. Dengan orang-orang Arab pagan yang bepergian dari seluruh Jazirah Arab untuk menyembah dewa-dewi mereka di Ka'bah, suatu proklamasi bahwa semua dewa-dewi itu tidak hanyalah sebentuk setan – apapun tepatnya yang Muhammad khotbahkan dengan monoteisme yang tanpa kompromi – tidak hanya akan mengakibatkan bisnis ziarah kaum Quraish merugi, tetapi juga usaha kepentingan usaha perdagangan mereka terancam.

Konon, selama dua belas tahun menetap di Mekah, Muhammad menarik beberapa pengikut tetapi membangkitkan antagonisme terhadapa suku Quraisy. Antagonisme yang dikobar-kobarkan itu ditujukan pada para berhala di Ka'bah dan bisnis kafilah Quraisy. Ibn Ishaq mengatakan bahwa ketika Muhammad bermigrasi ke Madinah dua belas tahun dalam karir kenabiannya, ia memerintahkan umat Islam untuk menyerang kafilah Quraisy yang kembali dari Suriah yang sarat dengan barang. Nabi sendiri memimpin banyak penyerangan ini, yang membuat pergerakan Islam semakin berkembang . Meskipun didorong oleh kebutuhan ekonomi, penjarahan menjadi elemen tertentu dari teologi Islam , menurut tradisi Islam. Dalam satu insiden terkenal, sekelompok Muslim menyerang kafilah Quraish dalam salah satu dari empat bulan suci dalam kalender Arab pra-Islam. Ini adalah bulan di mana pertempuran dilarang, berarti bahwa perampok Muslim telah melanggar prinsip-prinsip suci. Tetapi Qur'an mengatakan bahwa Allah mengijinkan kaum Muslim untuk melanggar bulan suci jika mereka dianiaya-dengan kata lain, untuk menyisihkan prinsip moral demi kebaikan umat Islam: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram (suci). Katakanlah “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjid il Haram dan mengusir penduduk sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.
(QS 2:217). ‘Masjidil Haram’ atau Masjid Suci menurut tradisi Islam merujuk ke Kabbah.

Kejadian ini menjadi kunci untuk pengembangan etika Islam, yakni menetapkan bahwa sesuatu itu baik jika memberi manfaat bagi Islam, dan apa pun dianggap jahat jika merugikan Islam. Hal ini juga menjadi code of conduct dalam mengatur hubungan antara muslim dan Quraisy dalam hal peperangan. Pertempuran mereka, sesuai dengan kisah-kisah standar Islam, menjadi kesempatan bagi Allah untuk mengungkapkan kepada Muhammad banyak ayat-ayat Al-Qur'an kunci mengenai perang melawan kafir.

Oleh karena itu, dibuatnya Arab Hejaz sebagai panggung bagi Al-Qur'an dan antagonisme dari Quraisy terhadap pesan Muhammad menjadi sangat penting untuk sejarah dan teologi Islam. Ini adalah konteks di mana beberapa ajaran Islam yang paling penting tidak bisa ditawar-tawar. Tradisi Islam menetapkan bahwa pada akarnya, Quraisy menentang pesan kenabian Muhammad karena bisa mengakhiri ziarah ke Mekah dan mengganggu bisnis mereka.

Sama seperti identitas Arab merupakan pusat Islam, kota paling suci dalam Islam, Mekkah, adalah pusat identitas Islam. Namun anehnya, sekalipun sebagai pusat bagi Islam, Mekkah disebutkan namanya hanya sekali dalam Al-Qur'an: Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari kamu, dan tangan kamu dari mereka, di lembah Mekah, sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS 48:24).

Namun terhadap kejadian apa ayat ini rujuk - seperti yang sering terjadi dalam Qur'an- benar-benar tidak jelas.
Komentator Qur’an abad pertengahan, Ibnu Katsir, menjelaskan ayat dengan cara ini: Imam Ahmad mencatat bahwa Anas bin Malik berkata,Pada hari Hudaibiya, delapan puluh orang bersenjata dari Makkah turun lembah yang berasal dari Gunung At-Tan'im untuk menyergap Rasulullah saw. Rasulullah meminta Allah untuk mengalahkan mereka, dan musuh itupun dibawa sebagai tahanan.’  Affan menambahkan, 'Rasulullah mengampuni mereka, dan kemudian ayah ini [tanda, atau ayat Al-Qur'an] diturunkan.’” [29] Tetapi Qur'an sendiri tidak mengatakan apa-apa tentang Hudaibiya dalam ayat yang dipersoalkan tersebut. Terlebih lagi, sekalipun Perjanjian Hudaibiya dijadikan sebagai doktrin Islam tentang perjanjian dan gencatan senjata dengan pasukan non-Muslim, faktanya tidak ada catatan di luar sumber-sumber Islam yang memverifikasi bahwa perjanjian itu pernah terjadi sama sekali !

Inilah yang terjadi di banyak bagian dalam sejarah asal-usul Islam, yakni semakin jauh kita mencari sumber-sumber yang relevan tentang pentingnya kota Mekkah di Arab pada masa Muhammad, semakin sukar kita menemukannya. Jika Watt benar bahwa Mekah mengendalikan kerajaan perdagangan penting yang termasuk rute dari Eropa ke India, maka seharusnya kita sudah menemukan beberapa indikasi dalam sastra jaman itu. Sebagaimana Crone katakan, "Sudah jelas bahwa jika Mekah memang berfungsi sebagai perantara dalam perdagangan jarak jauh beberapa jenis barang seperti yang diuraikan dalam literature-literatur sekunder (yaitu, karya-karya Watt dan sejarawan lain yang begitu saja percaya akan kisah-kisah tradisional Islam), maka seharusnya sudah ada beberapa catatan yang menyebutkan kota Mekkah dalam catatan perdagangan mereka. Lagian, para penulis dalam bahasa Yunani dan Latin telah banyak menulis tentang Arabia Selatan yang menyuplai mereka dengan barang-barang aromatik di masa lalu, yang memberikan catatan tentang kota-kota mereka, suku-suku mereka, organisasi politik dan kafilah-kafilah mereka.” [30]

Tetapi dari semua sumber tersebut, yang ada hanya keheningan. Tidak pernah ada penyebutan tentang Mekah, tentang penampilan kotanya, tentang natur dari bisnis yang dilakukan di sana, tentang sikap umum kaum Quraish suatu detil umum yang kita akan temukan dalam tulisan-tulisan sejarah para pelancong dan pedagang dari jaman klasik hingga Abad Pertengahan. Sebaliknya, ada kesenjangan yang lebar.  Para penulis Muslim sering menyangkut-nyangkutkan Ptolemy, seorang matematikawan dan astrologer, yang pernah menyebutkan suatu tempat di Arabia yang disebut Macoraba, tapi bahkan jika hal ini merujuk ke Mekah (yang mana Crone sendiri menyangsikannya), Ptolemy sendiri meninggal di tahun 168 SM. [31]
Hal ini sama naifnya dengan mengambil catatan seorang pelancong di kota Konstantinopel di tahun 1400an sebagai bukti bahwa kota itu merupakan pusat kekristenan yg berkembang di pertengahan abad 19 ! Sehingga orang akan enggan menganggap tulisan Ptolemy tentang Makaroba sebagai Mekkah dan sebagai bukti bahwa kota itu adalah pusat perdagangan yang berkembang hampir lima abad setelah kematiannya.

Sebaliknya, Procopius Kaisarea (w. 565), sejarawan terkemuka dari abad keenam, tidak menyebutkan Mekah- suatu hal yang sangat aneh memang jika Mekkah benar-benar menjadi pusat perdagangan di Arabia dan antara Barat dan India pada masa Muhammad , yang diduga lahir hanya lima tahun setelah kematian Procopius itu. [32] Padahal pusat-pusat perdagangan tidak bertumbuh secara instan.

Tidak ada sejarawan non-Muslim yang pernah menyebutkan Mekkah dalam catatan-catatan tentang perdagangan pada abad keenam dan ketujuh. (Juga, dalam hal ini, pernah dilakukan oleh sejarawan Muslim: Tidak ada catatan Islam yang bertahan berkenaan dengan perdagangan sebelum abad kedelapan.) Crone mencatat: “Kepentingan politik dan Gerejawi akan jazirah Arab di abad 6 begitu mencolok sehingga perhatian penuh diberikan terhadap urusan-urusan dunia Arab, namun tidak pernah ada penyebutan tentang suku Quraish dan perdagangan mereka baik itu dalam bahasa Yunani, Latin, Syriak, Aramaik, Koptik, atau sastra lainnya di luar Arabia sebelum serangkaian penaklukan Arab. Hal ini sangat mencolok dan signifikan.” [33] Secara khusus, Crone menyebutkan, “ Tidak pernah ada dikatakan tentang Qurash, atau ‘raja-raja Arab’ seandainyapun orang-orang pernah menyuplai barang dagangan ini-itu untuk tujuan wilayah ini-itu; hanyalah Muhammad sendiri saja yang dikenal sebagai seorang pedagang.” [34] Dan itu pun hanya diketahui dari sumber-sumber yang ditulis lama setelah kematiannya.

Ada lagi aspek lainnya. Lokasi Mekkah pun salah jika tempat itu berfungsi sebagai pusat perdagangan. Mekkah terletak di bagian barat Arab, sehingga, dalam kata-kata sejarawan Richard Bulliet, “hanya dengan pembacaan peta yang dipaksakan saja Mekkah bisa di gambarkan sebagai persimpangan antara rute utara-selatan dan timur-barat.” [35] Montgomery Watt membayangkan bahwa para pelancong sepanjang rute antara Yaman dan Suriah, mungkin punya alasan untuk berhenti di Mekah, tapi anggapan Watt bahwa Mekkah adalah pusat jalur penting dimana Barat mendapat barang mewah dari India serta Arab Selatan mendapat kemenyan adalah tidak didukung oleh bukti kontemporer dan mungkin secara geografis.
Hal yang sama berlaku untuk gagasan Mekah sebagai tempat ziarah utama di awal abad ketujuh. Bukti kontemporer menunjukkan bahwa ziarah dilakukan untuk setidaknya di tiga lokasi di Arabia, yakni: Ukaz, Dhu'l-Majaz, dan Majanna-tapi tidak ke Mekah. [36] Crone juga mencatat bahwa Mekah berbeda dari situs-situs lain karena menjadi sebuah kota berpenduduk, sedangkan tempat yang didirikan untuk di Arabia tidak berpenghuni kecuali selama masa peziarahan. Dia menambahkan, Ibadah haji adalah ritual yang dilakukan pada waktu dan tempat di mana setiap orang meletakan senjata dan tak seorang pun berada dalam control. Suatu tempat ibadah yang dimiliki oleh suku tertentu, yakni ‘Quraishtidak termasuk dalam kerangka ini. [37]

Signifikansi dari hal ini sangatlah besar. Jika Mekah hanyalah pusat perdagangan skala kecil lokal dan sebuah peziarahan lokal di awal abad ketujuh, maka kisah kanonik seluruh asal-usul Islam jatuh dalam keraguan. Jika suku Quraisy tidak keberatan dengan pesan Muhammad dengan alasan bahwa hal itu akan membahayakan perdagangan dan bisnis haji, atas dasar apa yang mereka keberatan dengan pesannya?  Jika Muhammad tidak menemui perlawanan keras dari suku Quraish selama dua belas tahun pertama karir kenabiannya, yang memberitakan pesannya tauhid kepada audiens Mekkah yang menutup diri, lalu apa yang terjadi?

Tanpa Mekkah sebagai pusat perdagangan dan ziarah, tidak ada dasar bagi cerita tentang pertentangan antara Muhammad dan Quraish di Mekah. Juga tidak ada dasar bagi kisah Muhammad yang nantinya bermigrasi ke Madinah dan berperang melawan kaum Quraish.  Demikian juga betapa tidak berdasarnya kisah tentang bagaimana ia mengalahkan suku Quraish, kembali ke Mekah menjelang akhir hidupnya, dan mengubah Ka'bah menjadi tempat suci bagi kaum Muslim, suatu pusat yang tadinya situs milik kaum pagan dan ritual ziarah mereka, menjadi pusat Islam untuk selama-lamanya.

Saat ini, banyak peziarah Muslim berduyun-duyun ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, seperti yang telah dilakukan selama berabad-abad.  Namun ternyata seluruh kisah asal-usul Islam yang berakar di Mekah ternyata berdiri di atas fondasi goyah. Meskipun ada bukti bahwa sejenis pernah ada di Mekah, namun tampaknya tidak pernah menjadi yang utama. [38] Entah Muhammad atau kaum Muslim di kemudian hari mengubah kuil tersebut menjadi pusat peziarahan Islam seperti saat ini. Dalam melakukannya, mereka meninggikan posisi Mekkah sehingga menjadi begitu penting seperti saat ini, bahkan nampaknya pada saat Muhammad dianggap pernah hidup, jika kita benar-benar meneliti perkembangannya.
Islam semakin berkurang elemen bahasa Arab (Arabik) dan budaya Arabnya (Arabian) dari menit ke menit.  Seperti yang telah kita lihat, Qur’an mengandung unsur-unsur non-Arabik yang signifikan. Sekarang telah nyata bahwa salah satu bagian kunci untuk menyatukan kepingan-kepingan asal-usul Islam di tanah Arabia, yakni interaksi Muhammad yang semakin antagonistik dengan suku Quraish karena cemburu dengan hak prerogatif dalam bidang agama dan ekonomi, ternyata tampak semakin tidak didukung oleh bukti-bukti historis.

Jika itu yang sebenarnya terjadi, bagaimana kisah Muhammad bisa muncul, dan untuk alasan apa? Mengapa kisah-kisah awal Islam tampaknya dilemparkan asal-usulnya ke tanah Arabia yang bukan tanah air bagi suku pagannya dan juga bukan pusat perdagangan dan bisnis peziarah yang berkembang subur, begitu telitikah kisah-kisah yang diceritakan dalam teks-teks Islam?


1 Alfred Guillaume, “Ibn Hisham's Notes,” in Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 691.
2 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, xxxvi.
3 Ibid.
4 Ibid., xxxvii.
5 Ibid., xxxvii.
6 Ibid., xxxv.
7 Arthur Jeffery, “The Quest of the Historical Muhammad,” in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 340.
8 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 515.
9 Ehteshaam Gulam, “The Problems with Ibn Ishaq's Sirat Rasoul Allah (Arabic for The Life of Messenger of Allah) and Other
Early Sources of Islam and Prophet Muhammad (2009),” Answering Christian Claims, http://www.answering-christian-claims.com/The-
Problems-With-Ibn-Ishaq.html. The Arabic for “mercy for all the worlds” is more properly transliterated as Rahmatan lil Alamin.
10 Jeffery, “The Quest of the Historical Muhammad,” 340.
11 Ibn Warraq, “Studies on Muhammad and the Rise of Islam: A Critical Survey,” in Ibn Warraq, The Quest for the Historical
Muhammad, 25.
12 Johannes J. G. Jansen, “The Gospel According to Ibn Ishaq (d. 773),” paper for the “Skepticism and Scripture” Conference,
Center for Inquiry, Davis, California, January 2007.
13 Patricia Crone, Meccan Trade and the Rise of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1987), 223.
14 Ibid., 224.
15 For a related phenomenon, see Daniel Pipes, Slave Soldiers and Islam (New Haven: Yale University Press, 1981), 205–14. Note how the origins of military slavery, a secular event that took place two hundred years after Muhammad's supposed life, is variously handled in forty-four different Arabic and Persian sources. In this case, new information kept turning up many centuries after the events took place—about a political event in the early ninth century. How much more easily, then, could such a process unfold regarding religious events in the seventh century that were far more central to the lives of the believers?
16 Gregor Schoeler, The Biography of Muhammad: Nature and Authenticity (New York: Routledge, 2010), 16.
17 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 452. I am indebted to Jansen's “Gospel According to Ibn Ishaq” for this discussion.
18 Ibid. 381.
19 Ibid., 501, 605.
20 Ibid., 81.
21 Johannes J. G. Jansen, “The Historicity of Muhammad, Aisha and Who Knows Who Else,” Tidsskriftet Sappho, May 16, 2011,http://www.sappho.dk/blog/335/The-historicity-of-Muhammad-Aisha-and-who-knows-who-else.htm.
22 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 106.
23 Jansen, “The Gospel According to Ibn Ishaq (d. 773).”
24 Crone, Meccan Trade, 220.
25 W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Oxford University Press, 1956), 35–36.
26 Jansen, “The Gospel According to Ibn Ishaq.”
27 The Sunni-Shiite conflict has in many instances evolved into a conflict between Arabs and non-Arabs: Sunni Arabs versus Shiite Persians (although there are, to be sure, many Shiite Arabs). This came to a head in modern times in the violence between Shiite Iranian pilgrims and Sunni Saudi security forces in Mecca during the hajj in 1987.
28 Quoted in Crone, Meccan Trade, 7.
29 Ibn Kathir, Tafsir Ibn Kathir (abridged), vol. 9 (Riyadh: Darussalam, 2000), 153–54.
30 Crone, Meccan Trade, 134.
31 Crone disputes the identification by pointing out that the two words actually have quite different roots and that the location Ptolemy gives for Macoraba does not correspond to the site of Mecca. (See Crone, Meccan Trade, 135–36.)
32 Crone, Meccan Trade, 137.
33 Ibid., 134.
34 Ibid., 137.
35 Richard W. Bulliet, The Camel and the Wheel (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 105 (quoted in Crone, Meccan Trade, 6).
36 Crone notes that according to the medieval Islamic historian al-Azraqi (d. 1072), trade was conducted in pre-Islamic Arabic at “pilgrim stations” including Mina, Arafa, Ukaz, Majanna, and Dhul-Majaz. “That Mecca itself is supposed to have been a pilgrim station,” Crone observes, “is here totally forgotten” (Crone, Meccan Trade, 175).
37 Crone, Meccan Trade, 174.
38 See Ibid., 172–76. She notes that Mecca was “added by way of afterthought only” in al-Azraqi's account of pilgrimages in pre- Islamic Arabia. She declares, “It is thus reasonable to conclude with [biblical scholar Julius] Wellhausen that Mecca was not an object of pilgrimage in pre-Islamic times” (Crone, Meccan Trade, 176).