Tambal
Sulam Sejarah
Para
penulis biografi
yang
terkemudian bahkan
lebih mengetahui
dan sering
menyulam catatan-catatan
Ibnu
Ishaq. Sejarawan
Patricia Crone mengemukakan salah satu contoh yang sangat
mengerikan. Menurut
catatan
Ibnu
Ishaq, serangan dari Kharrar tampaknya tidak
pernah terjadi dalam
hidup Muhammad: "Sementara Rasul Allah telah mengutus Saad
b. Abi
Waqqas yang
ditemani oleh delapan
orang dari kalangan Muhajirun tersebut. Dia
pergi sejauh Kharrar di Hijaz, kemudian dia kembali tanpa pernah
bentrokan dengan musuh. "13
Dua
generasi kemudian, al-Waqidi (wafat 822), dalam Kitab
Sejarah dan Penyerangan, sebuah
kisah
pertempuran
Muhammad, menghiasi
catatan catatan kecil di atas:
Kemudian
Rasulullah (semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian)
menunjuk
Sa'ad b. Abi
Waqqas untuk
mengomandoi penyerangan terhadap bani Kharrar.
Kharrar
adalah
bagian
dari Juhfa dekat Khum-in Dhu'l-Qa'da, delapan belas bulan
setelah hijrah sang
Rasulullah
(semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai). Abu
Bakr b. Ismail
b. Muhammad
mengatakan,
atas nama otoritas
ayahnya,
pada Amir
b. Sa'ad
atas
wewenang ayahnya
[yakni
Saad
b. Abi
Waqqas]: Rasul Allah (semoga Allah memberkatinya dan memberinya
kedamaian) berkata, “Wahai
Sa'ad, pergi ke Kharrar, sebab
serombongan kafilah
milik Quraisy akan melewatinya.”
Jadi aku pergi keluar dengan dua puluh atau dua puluh
satu
laki-laki, dengan berjalan kaki. Kami
bersembunyi pada siang hari dan berjalan
di
malam hari sampai kami tiba di sana pada pagi hari kelima. Kami
menemukan bahwa kafilah telah melewati hari sebelumnya. Sang
Utusan telah
memerintahkan
kami
untuk
tidak pergi
melampaui Kharrar. Seandainya
kita
tidak melakukannya, kami
pasti akan mengejar
ketinggalan itu. [14]
Anehnya,
Al-Waqidi
tahu lebih banyak tentang ekspedisi ini daripada Ibn Ishaq,
dan
sebagaimana Crone
paparkan,
“dia
tahu semua ini dengan
sempurna atas nama pemimpin
ekspedisi sendiri!”
Bagaimana
mungkin jika Ibnu Ishaq sendiri menghindari penggambaran kejadian
dengan rincian
yang
mendetil, namun al-Waqidi
sekitar lima puluh tahun kemudian
mampu menghadirkannya?
Meskipun
mungkin
saja
jika al-Waqidi
memiliki akses ke tradisi lisan yang telah diwariskan dari orang yang
dekat dengan Muhammad
yang lolos dari
pengamatan Ibn Ishaq, namun
lebih
mungkin bahwa rincian ini adalah elaborasi legendaris yang
dikembangkan
untuk tujuan mendramatisir
cerita-cerita
tersebut. [15]
Elaborasi
legendaris
Seorang
sarjana
Islam,
Gregor Schoeler,
berpendapat bahwa materi Tradisi
Islam
tentang kehidupan &
karya Muhammad
secara substansial dapat diandalkan. Dia
menunjukkan bahwa meskipun karya Urwah bin Az-Zubair, penulis
biografi pertama Muhammad, hilang, Ibn Ishaq dan penulis Muslim awal
lainnya mengutip secara ekstensif.
Karena
Urwah meninggal pada tahun
712
dan mengumpulkan sebagian besar cerita tentang Muhammad dari tahun
660an
sampai dengan 690an,
dia memiliki banyak kesempatan untuk mengumpulkan informasi yang
dapat dipercaya. Urwah,
kata Schoeler,
“masih
memiliki kesempatan untuk berkonsultasi dengan
para saksi
mata dan orang-orang
sezaman
dari
banyak
peristiwa yang
jadi persoalan - terlepas
dari apakah ia menyebutkan informannya dalam
isnad atau
tidak. Untuk
alasan ini, sangat
mungkin jika ia
meminta bibinya Aisha tentang banyak peristiwa ia saksikan
.... Selain
itu, ia mampu mengumpulkan laporan langsung pada berbagai insiden
yang terjadi (sedikit) sebelum, selama dan setelah
hijrah, misalnya hijrah itu
sendiri (termasuk 'pertama hijrah' ke
Abyssinia dan keadaan dan peristiwa yang mengarah ke hijrah
ke Madinah), Pertempuran Parit
dan
al-Hudaibiya.”[16]
Semua
ini adalah
peristiwa penting dalam hidup Muhammad: Hijrah adalah pindahnya
umat
Islam dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622, ketika Muhammad menjadi
untuk pertama kalinya seorang pemimpin militer dan politik serta
rohani. Sebelum
itu, beberapa Muslim telah melarikan diri ke Abyssinia (Ethiopia)
untuk
menghindari penganiayaan dari
suku Quraish
Mekkah. Pertempuran
Parit,
tahun
627, adalah pengepungan Madinah oleh pagan Arab Mekah
-
pengepungan
yang
akhirnya membuat Muslim
pecah, dengan konsekuensi penting bagi semua pihak. Perjanjian
Hudaibiya adalah gencatan senjata yang
Muhammad
capai dengan Quraish
sekitar tahun 628, lewat
perjanjian ini umat
Muslim
diizinkan untuk
melakukan ziarah ke Mekah. Perjanjian
ini menetapkan standar dalam hukum Islam untuk semua perjanjian
antara Muslim dan non-Muslim. Jika
memang
Urwah
benar-benar mampu mengumpulkan dan mengirimkan informasi yang dapat
dipercaya tentang semua ini dari bibinya Aisyah dan lain-lain saksi
mata peristiwa tersebut, maka biografi Muhammad dalam rekening Islam
standar pada dasarnya dapat dipercaya.
Klaim
Schoeler, bagaimanapun, terputus-putus jika
dilakukan perbandingan
dengan
catatan Ibn
Ishaq dan al-Waqidi tentang
peristiwa di Kharrar yang tidak pernah kejadian. Jika
materi-materi kejadian itu rentan
terkena
begitu banyak elaborasi legendaris dalam beberapa dekade, apa yang
mencegah cerita-cerita
tersebut dari versi Urwah
yang
kemudian berubah secara substansial? Apakah
mereka melakukannya di
dasarkan pada bahan
lain yang
telah
mereka terima dari sumber yang berbeda, atau berfungsi
sebagai perhitungan
dalam
untung rugi politik,
atau keluar dari suatu kepentingan saleh untuk
melebih-lebihkan
kebaikan Muhammad, atau kombinasi motif tersebut? Bahkan,
proses ini elaborasi legendaris
sudah
terjadi ketika Ibn Ishaq menyusun catatan-catatannya.
Bukti
paling jelas berasal dari asumsi Al-Qur'an yang
berulang-ulang menyatakan bahwa
utusan yang menerima wahyu bukanlah
pembuat
mukjizat. Orang-orang
kafir menuntut keajaiban: “Dan
mereka yang
tidak mengetahui berkata: “Mengapa
Allah tidak berbicara dengan
kami atau datang dengan tanda-tanda kekuasaannya kepada kami”
(2:118,
lihat juga QS 6:37,
10:20,
13:07, 13:27). Allah
memberitahu utusan-Nya bahwa bahkan sekalipun
nabi
memang datang kepada
kaum kafir
dengan keajaiban, mereka
tetap
akan menolaknya: “Dan
sesungguhnya telah Kami buat dalam Al
Qur'an ini
segala macam perumpamaan untuk manusia. Dan sesungguhnya jika kamu
membawa kepada mereka suatu ayat, pastilah orang-orang yang kafir
itu akan berkata,’Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang membuat
kepalsuan belaka.’” (QS
30:58).
Di
tempat lain dalam Al Qur'an, Allah memberikan pesan serupa:
“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang yang
diberi Kitab, semua ayat, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan
kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun
tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya
jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu,
sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang
zalim.” (2:145). Pengulangan
tema ini menunjukkan bahwa salah satu kritik utama kaum
penentang sang Nabi Arab ini diajukan
karena
tidak ada mukjizat
yang
ia buat, Al-Qur'an
dimaksudkan untuk menjadi tanda yang cukup dalam dirinya sendiri:
“Dan
apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan
kepadamu Kitab sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam
itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang
beriman.” (QS
29:51).
Namun
Muhammad dalam
biografi
Ibnu Ishaq digambarkan
sebagai pembuat
mukjizat. Ibnu
Ishaq menceritakan bahwa selama penggalian parit yang akhirnya
berhasil menggagalkan
pengepungan kaum
Mekkah
terhadap
kaum muslim
di Madinah, salah satu sahabat Muhammad mempersiapkan
“domba
betina kecil
yang belum gemuk” dan
mengundang
Nabi
untuk makan malam. Muhammad
ternyata mengejutkan sang tuan
rumah
dengan
mengundang semua orang yang sedang menggali parit untuk makan di
rumah pria itu. Nabi
Islam memecahkan masalah seperti Yesus dalam Injil,
yakni
melipatgandakan roti dan ikan: “Ketika
kami duduk kami mempersiapkan
makanan dan ia
memberkati
dan memanggil nama Allah atasnya. Lalu
ia makan seperti semua yang lain. Segera
setelah satu nampan
habis, nampan berikutnya datang sampai
para
penggali
kekenyangan.”
[17] Pada
kesempatan lain
Ibn
Ishaq menulis,
salah
satu sahabat terluka parah matanya, sehingga bola
matanya hampir lepas dari tempatnya,
Muhammad
“mengembalikan bola matanya ke tempatnya dengan
tangannya
dan
menjadikan
matanya lebih
baik dan lebih tajam dari sebelumnya.” [18] Dalam
cerita-cerita lainnya, Muhammad menimba air dari sumur
yang kering dan mendatangkan hukan dengan doanya. [19]
Ada
banyak, banyak
sekali cerita
dalam
karya Ibnu
Ishaq. Jika
salah satu dari mereka telah diketahui pada saat Al Qur'an ditulis,
sungguh
sukar dijelaskan
bahwa Muhammad sendiri
tidak pernah menggambarkannya dalam
Qur’an
sebagai
seorang nabi dengan sebuah kitab
saja tanpa ada
mukjizat pendukung.Sungguh luar biasa bahwa seorang pria yang bisa
menyembuhkan orang sakit, memperbanyak
makanan, mengambil air dari sumur
kering,
dan mengeluarkan
petir
dari hantaman
linggisnya
tetap
digambarkan sebagai seorang nabi yang pesannya
tidak
didukung oleh tanda-tanda ajaib.
Ibn
Ishaq juga memasukan
cerita-cerita
tentang
bagaimana Muhammad berulang kali diramalkan
sebagai
seorang nabi masa depan ketika ia masih seorang kanak-kanak
belaka. Dalam
satu
kesempatan,
Muhammad dibawa
ke Syria ketika ia masih kecil, di
mana seorang pendeta Kristen bernama Bahira
mengamatinya,
“melihat
tubuhnya dan menemukan jejak deskripsi (dalam kitab-kitab
Kristen).”
Ibnu Ishaq menegaskan
bahwa Bahira meramakjan
anaj ini akan menjadi penegak monoteisme,
meskipun kaumnya
menganut politeisme,
Muhammad belia
mengatakan
kepada
sang biarawan,
“Demi Allah, tiada yang lebih ku benci dari pada Al-Lat dan
al-Uzza, dua dewi Quraisy.”
Bahira
juga “melihat
punggung
anak itu dan melihat
segel
kenabian
di
antara
bahunya,
di tempat yang sangat dijelaskan dalam bukunya.”
Oleh
karena itu
sang biarawan
memperingatkan
pamannya
Muhammad, atau meramalkan,
apa
yang nantinya motif mengiblis-ibliskan kaum Yahudi: “Bawalah
keponakanmu ke negerinya, dan jaga-jagalah dia dair kaum Yahudi.
Sebab demi Allah! Jika mereka melihat dia dan tahu apa yang aku tahu,
mereka akan menjahati dia; masa depan yang besar ada di depan mata
keponakanmu ini, jadi bawalah dia pulang segera. [20]
Johannes
Jansen menjelaskan motivasi di balik kisah-kisah
semacam ini:
Para
pendongeng bermaksudkan
untuk meyakinkan publik bahwa Muhammad memang seorang nabi dari
Tuhan. Untuk
melakukannya, mereka meyakinkan publik mereka yang sudah Kristen,
bahkan para biarawan
pun telah
mengakui Muhamamd
demikian. Mereka
tidak memiliki memori nyata dari peristiwa semacam itu, tetapi mereka
ingin meyakinkan masyarakat bahwa mengakui Muhammad sebagai nabi
Allah adalah hal yang baik. Jika
memang
suatu otoritas
Kristen yang
netral telah
mengakui Muhammad, mereka harus memaparkan
argumen mereka, begitu pula otoritas kristen lainnya!
Dalam
hal ini, para pendongeng hanya bisa menyampaikan
pesan
mereka jika mereka bisa memanggungkan
cerita seakan-akan Muhammad
telah benar-benar bertemu seorang biarawan. Oleh
karena itu, mereka menceritakan beberapa cerita tentang bagaimana
Muhammad sebagai seorang anak pergi ke Suriah, bersama dengan salah
satu pamannya.
Di
sana ia bertemu biarawan, dan biarawan itu mengenalinya. Banyak
cerita tentang perjalanan Muhammad ke Syria
bukanlah
produk memori sejarah yang sebenarnya, namun samar-samar, tetapi
penciptaan yang seperti
itu diperlukan
untuk
kebutuhan
teologis sehingga
Muhammad
diakui sebagai nabi oleh orang Kristen, bahkan
oleh seorang biarawan.
Cerita
tentang pertemuan Muhammad dan sang
biarawan adalah
mustahil.
Cerita ini muncul
dalam berbagai
versi
yang
bertentangan,
namun
ternyata mencapai tujuannya. [21]
Cerita
tersebut juga aneh jika
dilihat dalam
pemahaman
pihak oposisi,
dalam hal ini pihak Quraish yang Muhammad
hadapi
setelah dia
menyatakan dirinya sebagai nabi;
jika
dia benar-benar memenuhi nubuatan dari nabi yang akan datang, mengapa
orang Quraisy begitu lambat dan keras kepala menyadarinya?
Dalam
hal
ini kehidupan
Muhammad menyerupai kehidupan
Yesus,
dimana
Injil Matius khususnya menggambarkan pemenuhan nubuat Mesias yang
akan datang namun
ditolak
oleh para pemimpin agama yang paling akrab dengan
nubuat-nubuat. Kemiripan
yang
begitu dekat
mengindikasikan
bahwa kisah-kisah Muhammad yang diidentifikasikan
sebagai nabi di
masa mudanya memiliki skenario tipologis
dan legendaris.
Sifat
legenda dalam catatan-catatan ini benar-benar tidak cocok dengan
tradisi Islam tentang bagaimana terkejutnya dan ketakutannya Muhammad
ketika dikunjungi oleh Jibril untuk pertama kalinya. Ibnu
Ishaq sendiri melaporkan bahwa pertemuan ini meninggalkan suatu
agitasi ekstrim pada diri Muhammad
sehingga ia
berkata kepada istrinya: “Celakalah
aku jika
aku seorang pelihat [yakni,
seorang
yang
menerima visi gembira dan mungkin gila] atau kesurupan.”[22]
Jika
Muhammad telah berulang kali diidentifikasi sebagai nabi ketika ia
masih anak-anak dan remaja,
kita
harusnya memahami bahwa suatu saat hal ini akan terjadi.
Atas
dasar ini saja, keandalan
kesejarahan dari karya Ibnu
Ishaq sudah
benar-benar dikompromikan. Materi-materi
yang ia masukan dalam
biografinya
pastilah telah muncul lama setelah pengumpulan Al-Qur'an. Bahkan
dalam kasus ini,
adalah
sungguh ane bahwa
ia memasukkan
begitu banyak bahan yang secara jelas bertentangan dengan kesaksian
Al Qur'an, sebuah buku dengan yang Ibn Ishaq akrab,
setidaknya dalam beberapa bentuk, karena ia sering mengutip
ayat-ayat
yang muncul dalam
Qur’an.
Jika
biografi
Muhammad
karya Ibnu
Ishaq sebagian
besar atau bahkan seluruhnya benar-benar
fiksi,
maka
semua
informasi tentang Muhammad yang umumnya dianggap sebagai sejarah
sekarang
menguap
sudah. Niat
menyeluruh Ibnu
Ishaq adalah untuk menunjukkan kepada para
pembacanya
bahwa Muhammad memang seorang nabi. Tapi
dalam melakukannya, ia menceritakan begitu banyak legenda yang
sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari fiksi. Tidak
ada cara yang dapat diandalkan untuk membedakan
elemen-elemen mukjizati di catatan-catatan Ibnu
Ishaq dari apa yang tampaknya sejarah
yang sebenar-benarnya terjadi.
Jansen
menantang
setiap klaim bahwa karya
biografi
Ibn Ishaq berbasis sejarah. Dia
menunjukkan bahwa “untuk
setiap peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan Muhammad, Ibn Ishaq
dengan
cermat dalam siratnya mencatat di bulan
mana
suatu kejadian itu
terjadi,”
dan
“sistem
penanggalan
sistematis berdasarkan bulan yang Ibn Ishaq lakukan
tentu
saja
dianggap
salah satu alasan utama mengapa sejarawan Barat mengklasifikasikan
bukunya sebagai historiografi dalam arti sebenarnya
kata
itu.”
Namun
pencatatan
rinci semacam ini ternyata
benar-benar
tidak
sejalan dengan kalender Arab. Sistem
kalender Arab Pra-Islam,
seperti
halnya kalender
Islam
saat ini,
memakai
penghitungan bulan,
yang satu
tahunnya terdiri
dari 354 hari,
bukan 365
hari berdasarkan kalender matahari.
Untuk
menyesuaikan
perbedaan ini,
bangsa
Arab
menambahkan ‘satu
bulan tambahan’ untuk setiap tiga
tahun surya.
Namun
mereka
menghentikan
praktek ini
di tahun 629
M,
Al-Qur'an benar-benar melarang penambahan
bulan
lompatan
(QS
9:36-37). Saat
itu, Muhammad,
jika memang sosok ini pernah benar-benar ada, telah
bertindak sebagai nabi selama hampir dua puluh tahun, menurut catatan
standar Islam.
“Namun
bagaimana
kemudian,
dari begitu banyak kejadian yang Ibnu Ishaq jelaskan dan berikan
tanggal yang akurat, namun tidak pernah ada yang ia catat terjadi
dalam bulan-bulan tambahan?” tanya Jansen. “Jika
narasi tentang kehidupan Muhammad didasarkan pada sejarah dan
kenangan pada peristiwa nyata, namun terdistorsi, namun masih
diingat
oleh orang-orang nyata, bagaimana bisa setengah tahun matahari (atau
lebih) tetap tidak disebutkan dan telah menghilang dari catatan?”
Jansen
mengamati bahwa
“Biografi
karya
Ibnu
Ishaq
hanya
dapat menelusuri
waktu hanya pada periode
di mana orang sudah lupa bahwa dulu
pernah ada bulan
lompatan.”
[23]
Periode
itu pastilah
terjadi jauh sesudah Muhammad konon dikabarkan pernah hidup.
Jansen menyimpulkan, “Cerita-cerita
yang
ditulis oleh Ibnu
Ishaq
ini tidak mencoba untuk menjelaskan ingatan akan peristiwa yang
pernah terjadi dimasa lalu, namun suatu usaha bahwa mereka ingin
meyakinkan
pembaca bahwa tokoh
utama,
Muhammad, adalah utusan Allah.”