Thursday, 5 September 2013

Bab 4. MENYALAKAN TERANG SEJARAH YANG SEBENARNYA (bag. 2)

Tambal Sulam Sejarah

Para penulis biografi yang terkemudian bahkan lebih mengetahui dan sering menyulam catatan-catatan Ibnu Ishaq. Sejarawan Patricia Crone mengemukakan salah satu contoh yang sangat mengerikan. Menurut catatan Ibnu Ishaq, serangan dari Kharrar tampaknya tidak pernah terjadi dalam hidup Muhammad: "Sementara Rasul Allah telah mengutus Saad b. Abi Waqqas yang ditemani oleh delapan orang dari kalangan Muhajirun tersebut. Dia pergi sejauh Kharrar di Hijaz, kemudian dia kembali tanpa pernah bentrokan dengan musuh. "13

Dua generasi kemudian, al-Waqidi (wafat 822), dalam Kitab Sejarah dan Penyerangan, sebuah kisah pertempuran Muhammad, menghiasi catatan catatan kecil di atas:
Kemudian Rasulullah (semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian) menunjuk Sa'ad b. Abi Waqqas untuk mengomandoi penyerangan terhadap bani Kharrar. Kharrar adalah bagian dari Juhfa dekat Khum-in Dhu'l-Qa'da, delapan belas bulan setelah hijrah sang Rasulullah (semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai). Abu Bakr b. Ismail b. Muhammad mengatakan, atas nama otoritas ayahnya, pada Amir b. Sa'ad atas wewenang ayahnya [yakni Saad b. Abi Waqqas]: Rasul Allah (semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian) berkata, Wahai Sa'ad, pergi ke Kharrar, sebab serombongan kafilah milik Quraisy akan melewatinya. Jadi aku pergi keluar dengan dua puluh atau dua puluh satu laki-laki, dengan berjalan kaki. Kami bersembunyi pada siang hari dan berjalan di malam hari sampai kami tiba di sana pada pagi hari kelima. Kami menemukan bahwa kafilah telah melewati hari sebelumnya. Sang Utusan telah memerintahkan kami untuk tidak pergi melampaui Kharrar. Seandainya kita tidak melakukannya, kami pasti akan mengejar ketinggalan itu. [14]
Anehnya, Al-Waqidi tahu lebih banyak tentang ekspedisi ini daripada Ibn Ishaq, dan sebagaimana Crone paparkan, dia tahu semua ini dengan sempurna atas nama pemimpin ekspedisi sendiri!”  Bagaimana mungkin jika Ibnu Ishaq sendiri menghindari penggambaran kejadian dengan rincian yang mendetil, namun al-Waqidi sekitar lima puluh tahun kemudian mampu menghadirkannya? Meskipun mungkin saja jika al-Waqidi memiliki akses ke tradisi lisan yang telah diwariskan dari orang yang dekat dengan Muhammad yang lolos dari pengamatan Ibn Ishaq, namun lebih mungkin bahwa rincian ini adalah elaborasi legendaris yang dikembangkan untuk tujuan mendramatisir cerita-cerita tersebut. [15]


Elaborasi legendaris

Seorang sarjana Islam, Gregor Schoeler, berpendapat bahwa materi Tradisi Islam tentang kehidupan & karya Muhammad secara substansial dapat diandalkan. Dia menunjukkan bahwa meskipun karya Urwah bin Az-Zubair, penulis biografi pertama Muhammad, hilang, Ibn Ishaq dan penulis Muslim awal lainnya mengutip secara ekstensif.  Karena Urwah meninggal pada tahun 712 dan mengumpulkan sebagian besar cerita tentang Muhammad dari tahun 660an sampai dengan 690an, dia memiliki banyak kesempatan untuk mengumpulkan informasi yang dapat dipercaya. Urwah, kata Schoeler,
masih memiliki kesempatan untuk berkonsultasi dengan para saksi mata dan orang-orang sezaman dari banyak peristiwa yang jadi persoalan - terlepas dari apakah ia menyebutkan informannya dalam isnad atau tidak. Untuk alasan ini, sangat mungkin jika ia meminta bibinya Aisha tentang banyak peristiwa ia saksikan .... Selain itu, ia mampu mengumpulkan laporan langsung pada berbagai insiden yang terjadi (sedikit) sebelum, selama dan setelah hijrah, misalnya hijrah itu sendiri (termasuk 'pertama hijrah' ke Abyssinia dan keadaan dan peristiwa yang mengarah ke hijrah  ke Madinah), Pertempuran Parit dan al-Hudaibiya.[16]

Semua ini adalah peristiwa penting dalam hidup Muhammad: Hijrah adalah pindahnya umat Islam dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622, ketika Muhammad menjadi untuk pertama kalinya seorang pemimpin militer dan politik serta rohani. Sebelum itu, beberapa Muslim telah melarikan diri ke Abyssinia (Ethiopia) untuk menghindari penganiayaan dari suku Quraish Mekkah. Pertempuran Parit, tahun 627, adalah pengepungan Madinah oleh pagan Arab Mekah - pengepungan yang akhirnya membuat Muslim pecah, dengan konsekuensi penting bagi semua pihak. Perjanjian Hudaibiya adalah gencatan senjata yang Muhammad capai dengan Quraish sekitar tahun 628, lewat perjanjian ini umat Muslim diizinkan untuk melakukan ziarah ke Mekah. Perjanjian ini menetapkan standar dalam hukum Islam untuk semua perjanjian antara Muslim dan non-Muslim. Jika memang Urwah benar-benar mampu mengumpulkan dan mengirimkan informasi yang dapat dipercaya tentang semua ini dari bibinya Aisyah dan lain-lain saksi mata peristiwa tersebut, maka biografi Muhammad dalam rekening Islam standar pada dasarnya dapat dipercaya.

Klaim Schoeler, bagaimanapun, terputus-putus jika dilakukan perbandingan dengan catatan Ibn Ishaq dan al-Waqidi tentang peristiwa di Kharrar yang tidak pernah kejadian. Jika materi-materi kejadian itu rentan terkena begitu banyak elaborasi legendaris dalam beberapa dekade, apa yang mencegah cerita-cerita tersebut dari versi Urwah yang kemudian berubah secara substansial? Apakah mereka melakukannya di dasarkan pada bahan lain yang telah mereka terima dari sumber yang berbeda, atau berfungsi sebagai perhitungan dalam untung rugi politik, atau keluar dari suatu kepentingan saleh untuk melebih-lebihkan kebaikan Muhammad, atau kombinasi motif tersebut? Bahkan, proses ini elaborasi legendaris sudah terjadi ketika Ibn Ishaq menyusun catatan-catatannya.

Bukti paling jelas berasal dari asumsi Al-Qur'an yang berulang-ulang menyatakan bahwa utusan yang menerima wahyu bukanlah pembuat mukjizat. Orang-orang kafir menuntut keajaiban: Dan mereka yang tidak mengetahui berkata: “Mengapa Allah tidak berbicara dengan kami atau datang dengan tanda-tanda kekuasaannya kepada kami” (2:118, lihat juga QS 6:37, 10:20, 13:07, 13:27). Allah memberitahu utusan-Nya bahwa bahkan sekalipun nabi memang datang kepada kaum kafir dengan keajaiban, mereka tetap akan menolaknya: “Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam Al Qur'an ini segala macam perumpamaan untuk manusia. Dan sesungguhnya jika kamu membawa kepada mereka suatu ayat, pastilah orang-orang yang kafir itu akan berkata,’Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang membuat kepalsuan belaka.’” (QS 30:58). 
Di tempat lain dalam Al Qur'an, Allah memberikan pesan serupa: “Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang yang diberi Kitab, semua ayat, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (2:145). Pengulangan tema ini menunjukkan bahwa salah satu kritik utama kaum penentang sang Nabi Arab ini diajukan karena tidak ada mukjizat yang ia buat, Al-Qur'an dimaksudkan untuk menjadi tanda yang cukup dalam dirinya sendiri: “Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Kitab sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (QS 29:51).

Namun Muhammad dalam biografi Ibnu Ishaq digambarkan sebagai pembuat mukjizat. Ibnu Ishaq menceritakan bahwa selama penggalian parit yang akhirnya berhasil menggagalkan pengepungan kaum Mekkah terhadap kaum muslim di Madinah, salah satu sahabat Muhammad mempersiapkan “domba betina kecil yang belum gemuk” dan mengundang Nabi untuk makan malam. Muhammad ternyata mengejutkan sang tuan rumah dengan mengundang semua orang yang sedang menggali parit untuk makan di rumah pria itu. Nabi Islam memecahkan masalah seperti Yesus dalam Injil, yakni melipatgandakan roti dan ikan: Ketika kami duduk kami mempersiapkan makanan dan ia memberkati dan memanggil nama Allah atasnya. Lalu ia makan seperti semua yang lain. Segera setelah satu nampan habis, nampan berikutnya datang sampai para penggali kekenyangan.” [17] Pada kesempatan lain Ibn Ishaq menulis, salah satu sahabat terluka parah matanya, sehingga bola matanya hampir lepas dari tempatnya, Muhammad “mengembalikan bola matanya ke tempatnya dengan tangannya dan menjadikan matanya lebih baik dan lebih tajam dari sebelumnya.” [18] Dalam cerita-cerita lainnya, Muhammad menimba air dari sumur yang kering dan mendatangkan hukan dengan doanya. [19]

Ada banyak, banyak sekali cerita dalam karya Ibnu Ishaq. Jika salah satu dari mereka telah diketahui pada saat Al Qur'an ditulis, sungguh sukar dijelaskan bahwa Muhammad sendiri tidak pernah menggambarkannya dalam Qur’an sebagai seorang nabi dengan sebuah kitab saja tanpa ada mukjizat pendukung.Sungguh luar biasa bahwa seorang pria yang bisa menyembuhkan orang sakit, memperbanyak makanan, mengambil air dari sumur kering, dan mengeluarkan petir dari hantaman linggisnya tetap digambarkan sebagai seorang nabi yang pesannya tidak didukung oleh tanda-tanda ajaib.

Ibn Ishaq juga memasukan cerita-cerita tentang bagaimana Muhammad berulang kali diramalkan sebagai seorang nabi masa depan ketika ia masih seorang kanak-kanak belaka. Dalam satu kesempatan, Muhammad dibawa ke Syria ketika ia masih kecil, di mana seorang pendeta Kristen bernama Bahira mengamatinya, melihat tubuhnya dan menemukan jejak deskripsi (dalam kitab-kitab Kristen).” Ibnu Ishaq menegaskan bahwa Bahira meramakjan anaj ini akan menjadi penegak monoteisme, meskipun kaumnya menganut politeisme, Muhammad belia mengatakan kepada sang biarawan, “Demi Allah, tiada yang lebih ku benci dari pada Al-Lat dan al-Uzza, dua dewi Quraisy. Bahira juga melihat punggung anak itu dan melihat segel kenabian di antara bahunya, di tempat yang sangat dijelaskan dalam bukunya.” Oleh karena itu sang biarawan memperingatkan pamannya Muhammad, atau meramalkan, apa yang nantinya motif mengiblis-ibliskan kaum Yahudi: “Bawalah keponakanmu ke negerinya, dan jaga-jagalah dia dair kaum Yahudi. Sebab demi Allah! Jika mereka melihat dia dan tahu apa yang aku tahu, mereka akan menjahati dia; masa depan yang besar ada di depan mata keponakanmu ini, jadi bawalah dia pulang segera. [20]

Johannes Jansen menjelaskan motivasi di balik kisah-kisah semacam ini:
Para pendongeng bermaksudkan untuk meyakinkan publik bahwa Muhammad memang seorang nabi dari Tuhan. Untuk melakukannya, mereka meyakinkan publik mereka yang sudah Kristen, bahkan para biarawan pun telah mengakui Muhamamd demikian. Mereka tidak memiliki memori nyata dari peristiwa semacam itu, tetapi mereka ingin meyakinkan masyarakat bahwa mengakui Muhammad sebagai nabi Allah adalah hal yang baik. Jika memang suatu otoritas Kristen yang netral telah mengakui Muhammad, mereka harus memaparkan argumen mereka, begitu pula otoritas kristen lainnya!
Dalam hal ini, para pendongeng hanya bisa menyampaikan pesan mereka jika mereka bisa memanggungkan cerita seakan-akan Muhammad telah benar-benar bertemu seorang biarawan. Oleh karena itu, mereka menceritakan beberapa cerita tentang bagaimana Muhammad sebagai seorang anak pergi ke Suriah, bersama dengan salah satu pamannya.
Di sana ia bertemu biarawan, dan biarawan itu mengenalinya. Banyak cerita tentang perjalanan Muhammad ke Syria bukanlah produk memori sejarah yang sebenarnya, namun samar-samar, tetapi penciptaan yang seperti itu diperlukan untuk kebutuhan teologis sehingga Muhammad diakui sebagai nabi oleh orang Kristen, bahkan oleh seorang biarawan.
Cerita tentang pertemuan Muhammad dan sang biarawan adalah mustahil. Cerita ini muncul dalam berbagai versi yang bertentangan, namun ternyata mencapai tujuannya. [21]

Cerita tersebut juga aneh jika dilihat dalam pemahaman pihak oposisi, dalam hal ini pihak Quraish yang Muhammad hadapi setelah dia menyatakan dirinya sebagai nabi; jika dia benar-benar memenuhi nubuatan dari nabi yang akan datang, mengapa orang Quraisy begitu lambat dan keras kepala menyadarinya?  Dalam hal ini kehidupan Muhammad menyerupai kehidupan Yesus, dimana Injil Matius khususnya menggambarkan pemenuhan nubuat Mesias yang akan datang namun ditolak oleh para pemimpin agama yang paling akrab dengan nubuat-nubuat. Kemiripan yang begitu dekat mengindikasikan bahwa kisah-kisah Muhammad yang diidentifikasikan sebagai nabi di masa mudanya memiliki skenario tipologis dan legendaris.

Sifat legenda dalam catatan-catatan ini benar-benar tidak cocok dengan tradisi Islam tentang bagaimana terkejutnya dan ketakutannya Muhammad ketika dikunjungi oleh Jibril untuk pertama kalinya. Ibnu Ishaq sendiri melaporkan bahwa pertemuan ini meninggalkan suatu agitasi ekstrim pada diri Muhammad sehingga ia berkata kepada istrinya: Celakalah aku jika aku seorang pelihat [yakni, seorang yang menerima visi gembira dan mungkin gila] atau kesurupan.[22]  Jika Muhammad telah berulang kali diidentifikasi sebagai nabi ketika ia masih anak-anak dan remaja, kita harusnya memahami bahwa suatu saat hal ini akan terjadi.

Atas dasar ini saja, keandalan kesejarahan dari karya Ibnu Ishaq sudah benar-benar dikompromikan. Materi-materi yang ia masukan dalam biografinya pastilah telah muncul lama setelah pengumpulan Al-Qur'an. Bahkan dalam kasus ini, adalah sungguh ane bahwa ia memasukkan begitu banyak bahan yang secara jelas bertentangan dengan kesaksian Al Qur'an, sebuah buku dengan yang Ibn Ishaq akrab, setidaknya dalam beberapa bentuk, karena ia sering mengutip ayat-ayat yang muncul dalam Qur’an.

Jika biografi Muhammad karya Ibnu Ishaq sebagian besar atau bahkan seluruhnya benar-benar fiksi, maka semua informasi tentang Muhammad yang umumnya dianggap sebagai sejarah sekarang menguap sudah. Niat menyeluruh Ibnu Ishaq adalah untuk menunjukkan kepada para pembacanya bahwa Muhammad memang seorang nabi. Tapi dalam melakukannya, ia menceritakan begitu banyak legenda yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari fiksi. Tidak ada cara yang dapat diandalkan untuk membedakan elemen-elemen mukjizati di catatan-catatan Ibnu Ishaq dari apa yang tampaknya sejarah yang sebenar-benarnya terjadi.

Jansen menantang setiap klaim bahwa karya biografi Ibn Ishaq berbasis sejarah. Dia menunjukkan bahwa untuk setiap peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan Muhammad, Ibn Ishaq dengan cermat dalam siratnya mencatat di bulan mana suatu kejadian itu terjadi,” dan “sistem penanggalan sistematis berdasarkan bulan yang Ibn Ishaq lakukan tentu saja dianggap salah satu alasan utama mengapa sejarawan Barat mengklasifikasikan bukunya sebagai historiografi dalam arti sebenarnya kata itu.Namun pencatatan rinci semacam ini ternyata benar-benar tidak sejalan dengan kalender Arab. Sistem kalender Arab Pra-Islam, seperti halnya kalender Islam saat ini, memakai penghitungan bulan, yang satu tahunnya terdiri dari 354 hari, bukan 365 hari berdasarkan kalender matahari. Untuk menyesuaikan perbedaan ini, bangsa Arab menambahkan ‘satu bulan tambahan’ untuk setiap tiga tahun surya.  Namun mereka menghentikan praktek ini di tahun 629 M, Al-Qur'an benar-benar melarang penambahan bulan lompatan (QS 9:36-37). Saat itu, Muhammad, jika memang sosok ini pernah benar-benar ada, telah bertindak sebagai nabi selama hampir dua puluh tahun, menurut catatan standar Islam.  Namun bagaimana kemudian, dari begitu banyak kejadian yang Ibnu Ishaq jelaskan dan berikan tanggal yang akurat, namun tidak pernah ada yang ia catat terjadi dalam bulan-bulan tambahan?” tanya Jansen. “Jika narasi tentang kehidupan Muhammad didasarkan pada sejarah dan kenangan pada peristiwa nyata, namun terdistorsi, namun masih diingat oleh orang-orang nyata, bagaimana bisa setengah tahun matahari (atau lebih) tetap tidak disebutkan dan telah menghilang dari catatan?


Jansen mengamati bahwa “Biografi karya Ibnu Ishaq hanya dapat menelusuri waktu hanya pada periode di mana orang sudah lupa bahwa dulu pernah ada bulan lompatan.”  [23] Periode itu pastilah terjadi jauh sesudah Muhammad konon dikabarkan pernah hidup. Jansen menyimpulkan, “Cerita-cerita yang ditulis oleh Ibnu Ishaq ini tidak mencoba untuk menjelaskan ingatan akan peristiwa yang pernah terjadi dimasa lalu, namun suatu usaha bahwa mereka ingin meyakinkan pembaca bahwa tokoh utama, Muhammad, adalah utusan Allah.