Memahami
Segalanya Tentang Ibnu Ishaq
Meskipun
demikian, cendekiawan
kajian Islam abad
20,
W.
Montgomery Watt (1909-2006) mengajukan
untuk memisahkan
sejarah dari legendaris Ibnu Ishaq dalam bukunya dua jilid biografi
nabi Islam, Muhammad
di Mekah dan Muhammad
di Medina. Dia
melakukannya hanya dengan mengabaikan
cerita-cerita yang memuat keajaiban dari karya Ibnu
Ishaq dan menyajikan
sisanya sebagai akurat secara historis
akurat, sebuah prosedur yang, dalam analisis akhir, benar-benar
sewenang-wenang: Tidak ada alasan untuk
lebih mempercayai
cerita-cerita tanpa unsur mukjizat sebagai kejadian faktual dari pada
cerita-cerita dengan unsur mukjizat dalam karya biografi
Ibnu
Ishaq ini.
Baik
cerita-cerita
tanpa unsur mukjizat maupun dengan unsur mukjizat harus dibuktikan
oleh sumber-sumber
sejaman lainnya,
atau sumber yang
lebih
dekat ke masa Muhammad
yang sebenarnya.
Patricia
Crone menjelaskan sebagian dari apa yang salah dengan metodologi
Watt: "Dia menerima sesuatu
sebagai benar secara historis
klaim bahwa Muhammad berdagang
di
Suriah sebagai agen Khadijah, meskipun satu-satunya cerita di mana
kita diberitahu selama
ini - sebenarnya banyak
yang fiktif.
Hal
serupa
terjadi pada Waat,
ia menganggap bahwa kisah Abd
al-Muthalib menggali sumur Zamzam di Mekah
sebagai fakta historis,
meskipun informasi tersebut juga berasal dari cerita-cerita
mukjizat.”
[24] Watt
menginformasikan pembacanya dengan mengesankan bahwa
“ pengepungan
Madinah, dikenal umat Islam sebagai ekspedisi Khandaq atau
Pertempuran Parit,
dimulai pada tanggal 31 Maret 627 (8/xi/5) dan berlangsung sekitar
dua minggu.”
[25] Namun
di sisi lain ia tidak
mengatakan apa-apa tentang petir yang keluar
dari
linggis Muhammad
ketika ia sedang menggali parit.
Juga Watt tidak mengatakan bahwa
sumber tentang tanggal pengepungan itu berasal dari al-Waqidi, yang
catatn-catatannya dikenal sebagai elaborasi ahistoris atas karya
–karya Ibnu Ishaq yang bersifat legenda sebagaimana yang kita telah
lihat. Mengapa
Watt percaya tanggal
saat memulai
pengepungan sebagai
sesuatu yang historis, tetapi ia tidak percaya tentang petir yang
menakjubkan yang keluar dari linggis Muhammad? Ia tidak menjelaskan
apa-apa tentangnya.
Baik
Watt maupun sejarawan lain yang bergantung pada Ibn Ishaq untuk
pengetahuan mereka tentang Muhammad dapat memiliki kedua-duanya. Dan
jika Ibn Ishaq tidak dapat diandalkan sebagai sumber sejarah yang
dapat dipercaya, tidak ada yang lain. Pada
dasarnya setiap biografi Muhammad sampai hari ini tergantung
setidaknya pada tingkat tertentu pada Ibn Ishaq. Johannes
Jansen mengamati: "buku-buku tentang Muhammad Kemudian pada
dasarnya membatasi diri untuk menceritakan kembali kisah Ibnu
Ishaq. Kadang-kadang
mereka sedikit lebih rinci dari Ibn Ishaq, tapi rincian tambahan
mereka menyediakan tidak menginspirasi banyak keyakinan dalam skeptis
modern. Biografi
Barat modern Muhammad, juga, semua benar-benar tergantung pada Ibn
Ishaq. Sama,
semua artikel ensiklopedia tentang Muhammad, apakah populer atau
akademik, hanyalah ringkasan narasi Ibn Ishaq.”
[26]
Jadi
jika Ibnu
Ishaq bukanlah sumber historis yang
dapat
dipercaya, apa yang tersisa dari kehidupan Muhammad? Jika
tidak ada
satupun yang pasti yang dapat diketahui tentang
dirinya, maka
pembentukan Islam-lah
yang menyebabkan penciptaan tokoh legenda Muhammad (bukan sebaliknya
bahwa dari Muhammadlah Islam lahir).
Jika memang tidak ada sang nabi pemimpin perang yang mengajarkan
jihad terhadap kaum tak percaya dan ajaran yang dipercaya sebagai
firman yang abadi dan sempurna dari satu-satunya Tuhan, lalu
bagaimana dan mengapa para petinggi kaum Arab Penakluk di abad 7 dan
sesudahnya menciptakannya? Apa
kekuatan yang
berada di
belakang mereka, jika mereka sebenarnya
tidak
terinspirasi oleh janji seorang nabi yang berapi-api tentang pahala
di dunia ini dan di
dunia yang akan datang untuk para pejuangnya? Jika
Islam tidak berkembang sebagaimana
Muslim
percayai
dan sebagaimana sumber-sumber Islam
awal kisahkan,
maka
sebenarnya bagaimana
dan mengapa hal itu berkembang?
Sebuah
petunjuk untuk
hal ini datang dari
anomali-anomali
yang mengitari panggung Arab Islam.
Muhammad:
Sang Nabi Arab?
Muhammad
adalah seorang utusan dari tanah Arab, lahir di Mekkah, berbahasa
Arab, dan membawa pesan dari Allah kepada orang-orang Arab (lih.
Qur'an 41:44) dan dari situ melebar ke dunia luas.
Setiap
elemen dari kalimat di atas terdengar wajar sehingga baik kaum Muslim
dan non-Muslim mempercayainya begitu saja; namun setiap elemen ,
ketika diselidiki lebih dekat , ternyata mulai goyah. Dari catatan
sejarah yang masih ada, sama sekali tidak jelas bahwa ada seorang
nabi Arab bernama Muhammad di sekitar Mekkah, yang membawa sejenis
pesan kepada dunia. Atau
setidaknya, catatan-catatan menunjukkan bahwa jika memang ada
Muhammad, dia tidak hidup di Mekah dan tidak memberitakan sesuatu
yang mirip Islam – sampai lama setelah kematiannya, ketika
biografinya dan kitab suci seperti yang kita tahu mereka mulai
dibangun.
Sentralitas
Arab dan bahasa Arab dalam ajaran Islam Islam tidak dapat
dilebih-lebihkan.
Meskipun
Islam diklaim hadir sebagai agama universal bagi semua insane di
bumi, namun ia memiliki karakter jelas Arab.
Berpindak
keyakinan pada Islam, apapun kebangsaan mereka, biasanya mengambil
nama Arab. Dimanapun
mereka berada di dunia, dan apa pun bahasa asli mereka, umat Islam
harus berdoa dalam bahasa Arab dan membaca Qur'an dalam bahasa Arab.
Banyak
mualaf di negara-negara non-Muslim mengadopsi pakaian tradisional
Arab.
Kebudayaan
Arab memiliki tempat kebanggaan di dunia Islam yang sering
menimbulkan ketegangan antara Muslim Arab dan non-Arab. Supremasi
Arab baru-baru ini di jaman kita sendiri menelurkan peperangan
terhadap Muslim non-Arab di wilayah Darfur, Sudan. Konflik tersebut
adalah fitur yang terus berulang dalam sejarah Islam.
[27]
Dan
yang menjadi pisat dari ajaran Islam, karena itu, adalah kisah
tradisional bagaimana Muhammad, seorang pedagang Arab , menerima Al
Qur’an melalui malaikat Jibril dari Allah, pertama di Mekkah dan
kemudian di Madinah.
Menurut
catatan-catatan kanonik Islam, karena dipersenjatai dengan pesan
ilahi, Muhammad menyatukan seluruh Semenanjung Arab di bawah bendera
Islam pada saat kematiannya pada tahun 632. Itu
bukan tugas yang mudah, menurut sumber-sumber Islam standar.
Nabi
dan agama barunya menghadapi perlawanan keras dari sukunya sendiri,
Quraish, yang kafir dan musyrik. ,
Menurut cerita asal-usul agama Islam, suku Quraish tinggal di Mekah,
yang merupakan pusat perdagangan dan haji, sehingga orang pergi ke
sana dari seluruh tanah Arab dan di luar Arab juga. Dan
menurut sumber-sumber Islam juga, suku Quraish mendapatkan keuntungan
dari orang-orang yang melakukan ziarah ke Ka'bah (kuil berbentuk
kubus di Mekah) untuk menyembah banyak berhalanya. Mekkah,
menurut tradisi Islam, adalah titik pusat baik agama maupun
perdagangan di wilayah itu juga.
Catatan
kanonik tentang asal-usul Islam meyakini bahwa suku Quraish pada
awalnya menolak klaim kenabian Muhammad lebih karena alasan ekonomi
dari pada spiritual. Montgomery Watt mencatat bahwa “pada akhir
abad 6 M,” kaum Quraish “telah menguasai sebagian besar
perdagangan dari Yaman ke Suriah – sebuah jalur penting di mana
Barat mendapat barang mewah India sedangkan bangsa Arab Selatan
mendapat kemenyan.” [28]
Sebagian
besar perdagangan ini bergantung pada orang-orang Arab yang datang ke
Mekkah sebagai peziarah. Dengan
orang-orang Arab pagan yang bepergian dari seluruh Jazirah Arab
untuk menyembah dewa-dewi mereka di Ka'bah, suatu proklamasi bahwa
semua dewa-dewi itu tidak hanyalah sebentuk setan – apapun tepatnya
yang Muhammad khotbahkan dengan monoteisme yang tanpa kompromi –
tidak hanya akan mengakibatkan bisnis ziarah kaum Quraish merugi,
tetapi juga usaha kepentingan usaha perdagangan mereka terancam.
Konon,
selama
dua belas tahun menetap
di Mekah, Muhammad menarik beberapa pengikut tetapi membangkitkan
antagonisme terhadapa
suku Quraisy.
Antagonisme
yang dikobar-kobarkan
itu ditujukan pada para berhala
di Ka'bah dan bisnis
kafilah
Quraisy. Ibn
Ishaq mengatakan bahwa ketika Muhammad bermigrasi ke Madinah dua
belas tahun dalam karir kenabiannya, ia memerintahkan umat Islam
untuk menyerang kafilah Quraisy yang kembali dari Suriah
yang
sarat dengan barang. Nabi
sendiri memimpin banyak penyerangan
ini, yang membuat
pergerakan
Islam semakin
berkembang . Meskipun
didorong oleh kebutuhan ekonomi, penjarahan
menjadi
elemen tertentu dari teologi Islam , menurut tradisi Islam. Dalam
satu insiden terkenal, sekelompok Muslim menyerang kafilah Quraish
dalam salah satu dari empat bulan suci dalam kalender Arab
pra-Islam. Ini
adalah bulan di mana pertempuran dilarang, berarti bahwa perampok
Muslim telah melanggar prinsip-prinsip
suci. Tetapi
Qur'an mengatakan bahwa Allah mengijinkan kaum
Muslim
untuk melanggar bulan suci jika mereka dianiaya-dengan kata lain,
untuk menyisihkan prinsip moral
demi kebaikan
umat
Islam:
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram
(suci). Katakanlah “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar,
tetapi menghalangi dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi
masuk) Masjid il Haram dan mengusir penduduk sekitarnya, lebih besar
(dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya)
daripada membunuh.
(QS
2:217). ‘Masjidil
Haram’ atau Masjid Suci menurut
tradisi Islam
merujuk ke Kabbah.
Kejadian
ini menjadi kunci untuk
pengembangan etika Islam, yakni
menetapkan
bahwa sesuatu
itu baik
jika
memberi manfaat bagi Islam,
dan apa pun dianggap
jahat
jika
merugikan
Islam. Hal
ini juga menjadi
code
of conduct
dalam mengatur
hubungan antara muslim dan Quraisy dalam
hal peperangan. Pertempuran
mereka, sesuai dengan kisah-kisah
standar
Islam,
menjadi kesempatan bagi Allah untuk mengungkapkan kepada Muhammad
banyak ayat-ayat Al-Qur'an kunci mengenai perang melawan kafir.
Oleh
karena itu, dibuatnya
Arab
Hejaz sebagai panggung bagi
Al-Qur'an dan antagonisme dari Quraisy terhadap
pesan
Muhammad menjadi
sangat
penting untuk sejarah dan teologi Islam. Ini
adalah konteks di mana beberapa ajaran Islam yang paling penting
tidak
bisa ditawar-tawar. Tradisi
Islam menetapkan bahwa pada akarnya,
Quraisy menentang pesan kenabian Muhammad karena bisa mengakhiri
ziarah
ke Mekah dan mengganggu bisnis
mereka.
Sama
seperti identitas Arab merupakan pusat Islam, kota paling suci dalam
Islam, Mekkah, adalah pusat identitas Islam. Namun
anehnya,
sekalipun
sebagai pusat bagi Islam,
Mekkah disebutkan namanya hanya sekali dalam Al-Qur'an:
“Dan
Dialah yang menahan tangan mereka dari kamu,
dan tangan kamu
dari
mereka, di lembah Mekah, sesudah
Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan (QS 48:24).
Namun
terhadap kejadian
apa
ayat ini rujuk -
seperti
yang sering terjadi dalam Qur'an-
benar-benar
tidak
jelas.
Komentator
Qur’an abad
pertengahan,
Ibnu
Katsir,
menjelaskan ayat dengan cara ini: “Imam
Ahmad mencatat bahwa Anas bin Malik berkata,
‘Pada
hari Hudaibiya, delapan puluh orang bersenjata dari Makkah turun
lembah yang berasal dari Gunung At-Tan'im untuk menyergap Rasulullah
saw. Rasulullah
meminta Allah
untuk mengalahkan mereka,
dan musuh
itupun dibawa
sebagai
tahanan.’
Affan
menambahkan, 'Rasulullah mengampuni
mereka, dan
kemudian ayah ini [“tanda”,
atau ayat Al-Qur'an] diturunkan.’”
[29]
Tetapi
Qur'an sendiri tidak
mengatakan
apa-apa tentang Hudaibiya dalam ayat yang
dipersoalkan tersebut. Terlebih
lagi, sekalipun
Perjanjian
Hudaibiya dijadikan
sebagai doktrin
Islam tentang perjanjian dan gencatan senjata dengan pasukan
non-Muslim, faktanya
tidak
ada catatan di luar sumber-sumber Islam yang
memverifikasi
bahwa perjanjian itu pernah terjadi
sama sekali
!
Inilah
yang terjadi di banyak bagian dalam sejarah asal-usul Islam, yakni
semakin
jauh kita
mencari
sumber-sumber yang
relevan tentang pentingnya
kota Mekkah
di Arab pada masa Muhammad, semakin
sukar kita menemukannya. Jika
Watt benar bahwa Mekah mengendalikan kerajaan perdagangan penting
yang termasuk rute dari Eropa ke India, maka
seharusnya kita sudah menemukan beberapa
indikasi dalam sastra jaman
itu. Sebagaimana
Crone
katakan, "Sudah jelas bahwa jika Mekah memang
berfungsi sebagai
perantara dalam perdagangan jarak jauh beberapa
jenis
barang
seperti yang
diuraikan dalam literature-literatur
sekunder
(yaitu,
karya-karya
Watt
dan sejarawan lain yang begitu
saja percaya akan kisah-kisah tradisional Islam), maka seharusnya
sudah ada beberapa catatan yang menyebutkan kota Mekkah dalam catatan
perdagangan mereka. Lagian, para penulis dalam bahasa Yunani dan
Latin telah banyak menulis tentang Arabia Selatan yang menyuplai
mereka dengan barang-barang aromatik di masa lalu, yang memberikan
catatan tentang kota-kota mereka, suku-suku mereka, organisasi
politik dan kafilah-kafilah mereka.” [30]
Tetapi
dari
semua
sumber tersebut, yang
ada hanya keheningan. Tidak
pernah
ada penyebutan tentang Mekah,
tentang penampilan kotanya, tentang natur
dari bisnis yang dilakukan di sana, tentang
sikap
umum
kaum
Quraish
–
suatu detil umum yang kita akan temukan dalam tulisan-tulisan sejarah
para pelancong dan pedagang dari jaman klasik hingga Abad
Pertengahan. Sebaliknya,
ada kesenjangan yang
lebar.
Para
penulis
Muslim sering
menyangkut-nyangkutkan Ptolemy, seorang matematikawan
dan astrologer,
yang pernah menyebutkan suatu tempat di Arabia yang disebut Macoraba,
tapi bahkan jika hal ini merujuk ke Mekah (yang mana
Crone
sendiri menyangsikannya),
Ptolemy sendiri
meninggal
di
tahun 168
SM. [31]
Hal
ini sama naifnya dengan mengambil catatan seorang pelancong di kota
Konstantinopel di tahun 1400an sebagai bukti bahwa kota itu merupakan
pusat kekristenan yg berkembang di pertengahan abad 19 ! Sehingga
orang akan enggan menganggap tulisan Ptolemy tentang Makaroba sebagai
Mekkah dan sebagai bukti bahwa kota itu adalah pusat perdagangan yang
berkembang hampir lima abad setelah kematiannya.
Sebaliknya,
Procopius Kaisarea (w. 565), sejarawan terkemuka dari abad keenam,
tidak menyebutkan Mekah-
suatu
hal yang
sangat
aneh memang
jika
Mekkah benar-benar
menjadi pusat perdagangan di Arabia dan antara Barat dan India pada
masa Muhammad , yang diduga lahir hanya lima tahun setelah kematian
Procopius itu. [32]
Padahal
pusat-pusat
perdagangan
tidak bertumbuh secara instan.
Tidak
ada sejarawan non-Muslim yang
pernah menyebutkan
Mekkah dalam catatan-catatan
tentang perdagangan
pada abad keenam dan ketujuh. (Juga,
dalam hal ini, pernah
dilakukan
oleh
sejarawan
Muslim: Tidak ada catatan Islam
yang bertahan berkenaan dengan perdagangan
sebelum
abad
kedelapan.) Crone
mencatat:
“Kepentingan
politik
dan Gerejawi
akan jazirah Arab di abad 6 begitu mencolok sehingga perhatian penuh
diberikan terhadap urusan-urusan dunia Arab, namun tidak pernah ada
penyebutan tentang suku Quraish dan perdagangan mereka baik itu dalam
bahasa Yunani, Latin, Syriak, Aramaik, Koptik, atau sastra lainnya di
luar Arabia sebelum serangkaian penaklukan Arab. Hal ini sangat
mencolok dan signifikan.” [33]
Secara
khusus, Crone
menyebutkan, “ Tidak pernah ada dikatakan tentang Qurash, atau
‘raja-raja Arab’ seandainyapun orang-orang pernah menyuplai
barang dagangan ini-itu untuk tujuan wilayah ini-itu; hanyalah
Muhammad sendiri saja yang dikenal sebagai seorang pedagang.” [34]
Dan itu pun hanya diketahui dari sumber-sumber yang ditulis lama
setelah kematiannya.
Ada
lagi
aspek lainnya. Lokasi
Mekkah pun
salah
jika tempat
itu berfungsi sebagai pusat perdagangan. Mekkah terletak
di bagian barat Arab,
sehingga, dalam kata-kata sejarawan Richard Bulliet, “hanya
dengan pembacaan peta yang dipaksakan saja Mekkah bisa di gambarkan
sebagai persimpangan antara rute utara-selatan dan timur-barat.”
[35]
Montgomery
Watt membayangkan bahwa para pelancong sepanjang
rute
antara
Yaman dan Suriah, mungkin punya alasan untuk berhenti di Mekah, tapi
anggapan
Watt bahwa
Mekkah adalah pusat “jalur
penting dimana Barat mendapat barang mewah dari
India
serta Arab Selatan mendapat
kemenyan”
adalah tidak didukung oleh bukti kontemporer dan mungkin secara
geografis.
Hal
yang sama berlaku untuk gagasan Mekah sebagai tempat ziarah utama di
awal abad ketujuh. Bukti
kontemporer menunjukkan bahwa ziarah dilakukan untuk setidaknya
di
tiga lokasi di Arabia,
yakni: Ukaz,
Dhu'l-Majaz, dan Majanna-tapi tidak ke Mekah. [36] Crone
juga mencatat bahwa Mekah berbeda
dari
situs-situs lain karena
menjadi
sebuah kota berpenduduk,
sedangkan tempat yang didirikan untuk di
Arabia
tidak berpenghuni
kecuali selama masa peziarahan.
Dia
menambahkan, “Ibadah
haji adalah ritual yang dilakukan pada waktu dan tempat di mana
setiap orang meletakan
senjata
dan tak seorang pun berada dalam control.
Suatu tempat ibadah yang dimiliki
oleh suku tertentu,
yakni ‘Quraish’
tidak
termasuk dalam kerangka
ini.”
[37]
Signifikansi
dari
hal
ini sangatlah
besar. Jika
Mekah hanyalah
pusat perdagangan skala kecil lokal dan sebuah peziarahan lokal di
awal
abad ketujuh, maka kisah kanonik seluruh asal-usul Islam jatuh
dalam keraguan. Jika
suku
Quraisy
tidak keberatan dengan pesan Muhammad dengan alasan bahwa hal itu
akan membahayakan perdagangan dan bisnis haji, atas dasar apa yang
mereka keberatan dengan pesannya?
Jika
Muhammad tidak menemui perlawanan keras dari suku
Quraish
selama dua belas tahun pertama karir kenabiannya, yang memberitakan
pesannya tauhid kepada audiens Mekkah
yang
menutup diri, lalu apa yang terjadi?
Tanpa
Mekkah sebagai pusat perdagangan dan ziarah, tidak ada dasar bagi
cerita tentang pertentangan antara Muhammad dan Quraish di Mekah.
Juga tidak ada dasar bagi kisah Muhammad yang nantinya bermigrasi ke
Madinah dan berperang melawan kaum Quraish.
Demikian
juga betapa tidak berdasarnya kisah tentang bagaimana ia mengalahkan
suku Quraish, kembali ke Mekah menjelang akhir hidupnya, dan mengubah
Ka'bah menjadi tempat suci bagi kaum Muslim, suatu pusat yang tadinya
situs milik kaum pagan dan ritual ziarah mereka, menjadi pusat Islam
untuk selama-lamanya.
Saat
ini, banyak peziarah Muslim berduyun-duyun ke Mekkah untuk menunaikan
ibadah haji, seperti yang telah dilakukan selama berabad-abad.
Namun
ternyata seluruh kisah asal-usul Islam yang berakar di Mekah ternyata
berdiri di atas fondasi goyah. Meskipun
ada bukti bahwa sejenis
pernah ada
di Mekah, namun tampaknya tidak pernah menjadi
yang
utama. [38]
Entah
Muhammad atau kaum Muslim di kemudian hari mengubah kuil tersebut
menjadi pusat peziarahan Islam seperti saat ini. Dalam melakukannya,
mereka meninggikan posisi Mekkah sehingga menjadi begitu penting
seperti saat ini, bahkan nampaknya pada saat Muhammad dianggap pernah
hidup,
jika kita benar-benar meneliti perkembangannya.
Islam
semakin
berkurang
elemen
bahasa Arab (Arabik) dan budaya Arabnya (Arabian) dari
menit ke menit.
Seperti
yang
telah
kita lihat,
Qur’an mengandung
unsur-unsur non-Arabik
yang signifikan. Sekarang
telah
nyata bahwa
salah satu bagian kunci
untuk menyatukan kepingan-kepingan asal-usul
Islam
di
tanah Arabia, yakni interaksi Muhammad yang semakin
antagonistik
dengan suku Quraish
karena
cemburu
dengan hak prerogatif dalam bidang agama dan ekonomi, ternyata
tampak
semakin tidak didukung oleh bukti-bukti historis.
Jika
itu yang
sebenarnya terjadi,
bagaimana kisah Muhammad bisa
muncul,
dan untuk alasan apa? Mengapa
kisah-kisah
awal Islam tampaknya
dilemparkan asal-usulnya
ke
tanah
Arabia
yang bukan
tanah air bagi suku pagannya dan juga bukan pusat perdagangan
dan bisnis
peziarah
yang
berkembang
subur,
begitu telitikah
kisah-kisah yang diceritakan
dalam teks-teks Islam?
1
Alfred
Guillaume, “Ibn Hisham's Notes,” in Ibn Ishaq, The
Life of Muhammad,
691.
2
Ibn
Ishaq, The
Life of Muhammad,
xxxvi.
3
Ibid.
4
Ibid.,
xxxvii.
5
Ibid.,
xxxvii.
6
Ibid.,
xxxv.
7
Arthur
Jeffery, “The Quest of the Historical Muhammad,” in Ibn Warraq,
The
Quest for the Historical Muhammad,
340.
8
Ibn
Ishaq, The
Life of Muhammad,
515.
9
Ehteshaam
Gulam, “The Problems with Ibn Ishaq's Sirat Rasoul Allah (Arabic
for The Life of Messenger of Allah) and Other
Early
Sources of Islam and Prophet Muhammad (2009),” Answering Christian
Claims, http://www.answering-christian-claims.com/The-
Problems-With-Ibn-Ishaq.html.
The Arabic for “mercy for all the worlds” is more properly
transliterated as Rahmatan
lil Alamin.
10
Jeffery,
“The Quest of the Historical Muhammad,” 340.
11
Ibn
Warraq, “Studies on Muhammad and the Rise of Islam: A Critical
Survey,” in Ibn Warraq, The
Quest for the Historical
Muhammad,
25.
12
Johannes
J. G. Jansen, “The Gospel According to Ibn Ishaq (d. 773),” paper
for the “Skepticism and Scripture” Conference,
Center
for Inquiry, Davis, California, January 2007.
13
Patricia
Crone, Meccan
Trade and the Rise of Islam (Princeton:
Princeton University Press, 1987), 223.
14
Ibid.,
224.
15
For
a related phenomenon, see Daniel Pipes, Slave
Soldiers and Islam (New
Haven: Yale University Press, 1981), 205–14. Note how the origins
of military slavery, a secular event that took place two hundred
years after Muhammad's supposed life, is variously handled in
forty-four different Arabic and Persian sources. In this case, new
information kept turning up many centuries after the events took
place—about a political event in the early ninth century. How much
more easily, then, could such a process unfold regarding religious
events in the seventh century that were far more central to the lives
of the believers?
16
Gregor
Schoeler, The
Biography of Muhammad: Nature and Authenticity (New
York: Routledge, 2010), 16.
17
Ibn
Ishaq, The
Life of Muhammad,
452. I am indebted to Jansen's “Gospel According to Ibn Ishaq”
for this discussion.
18
Ibid.
381.
19
Ibid.,
501, 605.
20
Ibid.,
81.
21
Johannes
J. G. Jansen, “The Historicity of Muhammad, Aisha and Who Knows Who
Else,” Tidsskriftet Sappho, May 16,
2011,http://www.sappho.dk/blog/335/The-historicity-of-Muhammad-Aisha-and-who-knows-who-else.htm.
22
Ibn
Ishaq, The
Life of Muhammad,
106.
23
Jansen,
“The Gospel According to Ibn Ishaq (d. 773).”
24
Crone,
Meccan
Trade,
220.
25
W.
Montgomery Watt, Muhammad
at Medina (Oxford:
Oxford University Press, 1956), 35–36.
26
Jansen,
“The Gospel According to Ibn Ishaq.”
27
The
Sunni-Shiite conflict has in many instances evolved into a conflict
between Arabs and non-Arabs: Sunni Arabs versus Shiite Persians
(although there are, to be sure, many Shiite Arabs). This came to a
head in modern times in the violence between Shiite Iranian pilgrims
and Sunni Saudi security forces in Mecca during the hajj in 1987.
28
Quoted
in Crone, Meccan
Trade,
7.
29
Ibn
Kathir, Tafsir
Ibn Kathir (abridged),
vol. 9 (Riyadh: Darussalam, 2000), 153–54.
30
Crone,
Meccan
Trade,
134.
31
Crone
disputes the identification by pointing out that the two words
actually have quite different roots and that the location Ptolemy
gives for Macoraba does not correspond to the site of Mecca. (See
Crone, Meccan
Trade,
135–36.)
32
Crone,
Meccan
Trade,
137.
33
Ibid.,
134.
34
Ibid.,
137.
35
Richard
W. Bulliet, The
Camel and the Wheel (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1975), 105 (quoted in Crone, Meccan
Trade,
6).
36
Crone
notes that according to the medieval Islamic historian al-Azraqi (d.
1072), trade was conducted in pre-Islamic Arabic at “pilgrim
stations” including Mina, Arafa, Ukaz, Majanna, and Dhul-Majaz.
“That Mecca itself is supposed to have been a pilgrim station,”
Crone observes, “is here totally forgotten” (Crone, Meccan
Trade,
175).
37
Crone,
Meccan
Trade,
174.
38
See
Ibid., 172–76. She notes that Mecca was “added by way of
afterthought only” in al-Azraqi's account of pilgrimages in pre-
Islamic Arabia. She declares, “It is thus reasonable to conclude
with [biblical scholar Julius] Wellhausen that Mecca was not an
object of pilgrimage in pre-Islamic times” (Crone, Meccan
Trade,
176).