Bab
4
Menyalakan
Terang Sejarah Yang Sebenarnya
Penulis
Biografi Muhammad Pertama
Kisah-kisah
tentang Muhammad yang konon katanya “dipenuhi terang sejarah”
sebagian besar berasal dari seorang muslim bernama Ibnu Ishaq bin
Yasar, yang umumnya dikenal sebagai Ibnu Ishaq, yang pertama kali
menulis biografi Muhammad. Tetapi Ibnu Ishaq tidak hidup sejaman
dengan nabinya, Muhammad, yang dipercaya
meninggal
di
tahun
632. Ibnu Ishaq meninggal tahun 773, dan karyanya berkisar lebih dari
100 tahun setelah kematian sang tokoh.
Apalagi
karya Ibnu Ishaq ini, yakni Sirat
Rasul Allah – Biografi Sang
Utusan Allah
– tidak bertahan dalam bentuk aslinya. Apa yang datang pada kita
hanyalah versi yang lebih ringkas (walaupun tetap saja cukup panjang)
yang dikompilasi dikemudian hari oleh seorang sarjana Islam, Ibnu
Hisham, yang meninggal di tahun 834, atau 60 tahun setelah kematian
Ibnu Ishaq, juga beberapa fragmen yang dikutip oleh para penulis
Muslim awal lainnya, termasuk sejarawan Muhammad Ibnu Jarir at-Tabari
(839-923).
Keterlambatan
bahan ini tidak dengan sendirinya berarti bahwa ia tidak dapat
diandalkan. Sejarawan umumnya cenderung mendukung sumber-sumber yang
lebih awal ketimbang yang kemudian, tetapi sebuah sumber awal tidak
selalu lebih dapat dipercaya daripada yang datang kemudian. Sebuah
biografi seorang politisi yang ditulis terburu-buru untuk segera
masuk percetakan beberapa minggu setelah kematiannya, misalnya,
mungkin tidak akan memiliki nilai lebih besar dari catatan yang lebih
teliti yang diterbitkan beberapa tahun kemudian, setelah melewati
penelitian mendalam.
Namun
dalam kecenderungan yang sedang merajalela waktu itu untuk membentuk
materi-materi tentang ucapan dan perbuatan Muhammad, dan cara
berbagai faksi di abad kedelapan dan kesembilan menggunakan apa yang
konon katanya menjadi ucapan dan tindakan Muhammad untuk mendukung
posisi mereka, penulis biografi pertama Muhammad akan menghadapi
tantangan yang luar biasa dalam menyaring bahan-bahan dari pemalsuan
dan rekayasa.
Lagipula
Ibnu Hisham mengklaim bahwa versinya lebih handal. Ia mengatakan
bahwa ia tidak menyertakan, “hal-hal yang menjijikan untuk dibahas,
hal-hal yang akan memusingkan beberapa orang; dan semacam
laporan-laporan yang al-Bakkai [murid dari Ibnu Ishaq, yang mengedit
karyanya] katakan kepadaku yang ia tak bisa terima sebagai layak
dipercaya.”[1]
Abdallah
Ibnu Numayr, seorang pengumpul hadits yang meninggal tahun 814,
mengeluhkan bahwa walaupun karya Ibnu Ishaq berisikan apa yang
otentik, materi otentik itu bercampur dengan “ucapan-ucapan tak
berarti” yang bulan Ishaq dapatkan dari “orang-orang tak
dikenal.” [2]
Seorang spesialis hadits terkenal, Ahmad Ibnu Hanbal (w. 855), tidak
menganggap Ibnu Ishaq sebagai sumber terpercaya untuk hukum Islam.
[3]
Karena
banyak korpus hukum Islam yang didasarkan pada contoh teladan apa
yang Muhammad ucapkan, lakukan, biasa lakukan, dan
bahkan yang ia hindari
yang sangat siginifikan: kecenderungan Ibnu Hanbal dalam hal ini
menyiratkan bahwa ia menganggap sebagian besar apa yang Ibnu Ishaq
laporkan tentang Muhammad tidak dapat diandalkan.
Namun,
pada kesempatan lain, Ibnu Hanbal menjelaskan pandangannya, dengan
menyatakan bahwa sementara ia tidak percaya Ibnu Ishaq bisa dipercaya
mengenai masalah-masalah hukum, ia melihat karya Ibnu Ishaq dapat
diandalkan sebagai materi biografis Muhammad yang lebih murni,
seperti misalnya kisah-kisah pertempuran.
Sebuah
pandangan yang kurang menyenangkan datang dari ahli fiqh lain, Malik
Ibnu Anas (w. 795), yang menyebut Ibnu Ishaq sebagai “salah satu
dajjal.” [4]
Sementara
tokoh lainnya hanya menyebutnya sebagai pembohong. [5]
Membela
Ibnu Ishaq
Ibnu
Ishaq memiliki para pembelanya juga. Para
penulis Muslim awal yang mengumpulkan semua laporan yang tidak
menguntungkan tentang Ibnu Ishaq, dan banyak lainnya juga, akhirnya
menepis kritik dan menegaskan kepercayaan pada karya penulisan
biografi Ibnu Ishaq. Dan
memang, banyak dari mereka yang keberatan kepada karya Ibnu Ishaq
karena ia memiliki kecenderungan Syiah, atau menegaskan kehendak
bebas manusia, yang banyak Muslim anggap sebagai ajaran
sesat. Beberapa
percaya bahwa tulisan Ibnu Ishaq terlalu menguntungkan suku-suku
Yahudi di Arab.
Tak
satupun dari kritik ini benar-benar berkenaan pada kebenaran dari apa
yang Ibnu Ishaq laporkan, dan banyak Muslim awal menegaskan kebenaran
itu. Seorang
muslim abad ke-delapan, Shuba, menjuluki Ibnu Ishaq sebagai
“pemimpin para tradisionalis” (yakni, seorang spesialis hadist)
karena kemampuan memorinya yang luar biasa. Seorang
penulis abad sembilan akhir, Abu Zura, mengatakan bahwa karya Ibnu
Ishaq telah diteliti akurasinya dan lulus uji. Seorang ahli hukum
abad Sembilan awal, Abu-Syafi'i,
mengatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber yang sangat diperlukan
untuk kisah-kisah pertempuran Sang Nabi, dan bahkan menyerukan bahwa
“pengetahuan akan tetap ada di antara manusia sepanjang Ibnu Ishaq
hidup.” [6]
Pandangan-pandangan
yang sangat beragam ini mungkin disebabkan fakta bahwa citra Muhammad
yang muncul dari biografi Ibnu Ishaq bukanlah apa yang bisa
diharapkan dari seorang pendiri salah satu agama besar di
dunia. Citra
Muhammad yang Ibnu Ishaq tampilkan bukanlah seorang guru damai kasih
Allah dan persaudaraan manusia, melainkan seorang panglima perang
yang berjuang di berbagai pertempuran dan memerintahkan pembunuhan
musuh-musuhnya.
Seorang sejarawan abad dua puluh, David Margoliouth, mengatakan
“Karakter yang dikaitkan kepada Muhammad dalam biografi karya Ibnu
Ishaq benar-benar sangat tidak menguntungkan. Untuk
mencapai tujuannya,
ia mengambil langkah-langkah tidak bijaksana, dan ia menyetujui
keserampangan serupa pada para pengikutnya, apabila itu dilakukan
demi kepentingannya.” [7]
Namun
peperangan Muhammad yang begitu banyak tidak mempermalukan Muslim
modern di Barat. Peperangan-peperangan yang mereka sematkan kepada
nabi mereka di tempat dan waktu tertentu justru tidak mengabaikan
statusnya sebagai “panutan sempurna” (QS 33:21) bagi muslim di
sepanjang zaman
dan di seluruh tempat. Yang lebih sulit untuk dijelaskan adalah
episode “ayat-ayat setan” yang memalukan: Muhammad menerima wahyu
yang menyatakan bahwa tiga dewi kaum pagan Qurays adalah anak-anak
perempuan Allah, dan layak dimuliakan juga. Namun ketika sang nabi
Islam ini menyadari dia telah mengkompromikan pesan monoteistiknya,
ia mengklaim bahwa Setan telah menginspirasikan ayat-ayat tersebut,
dan bahwa Setan memang selalu mengganggu pesan pewahyuan kepada
semua nabi (lih. QS 22:52). Muhammad segera membatalkan ayat-ayat
yang akan mengganggu itu. Ibn Ishaq bercerita tentang kejadian ini,
yang mana para penulis sejarah awal Islam lainnya tidak sertakan ke
dalam catatan mereka.
Ibnu
Ishaq juga menceritakan kisah mengerikan dari Kinana bin ar-Rabi,
seorang pemimpin Yahudi di oasis Khaybar, yang Muhammad serbu dan
taklukan.
Karena
berpikir bahwa Kinana tahu di mana kaum Yahudi Khaybar telah
menyembunyikan harta mereka, maka nabi memerintahkan kepada anak
buahnya: “Siksa dia sampai kalian mengambil apa yang ia miliki.”
Kaum Muslim kemudian menyalakan api di dada Kinana, dan ketika Kinana
masih belum mau memberitahu mereka di mana harta karun itu, mereka
memenggal kepalanya. [8]
Seorang
apologis Islam modern bernama Ehteshaam Gulam, seorang penulis muda
di website Answering
Christian Claims,
dengan mudahnya memberikan keberatan Islam yang khas untuk cerita ini
ketika ia menolaknya karena kurang jelasnya isnad
atau rantai periwayat: “Ibn
Ishaq tidak nama sumbernya”. Gulam
juga mengatakan bahwa cerita tersebut tidak mungkin benar karena
Muhammad tidak akan bertindak dengan cara-cara seperti itu: “Bahwa
seorang pria harus disiksa dengan luka bakar di dadanya oleh percikan
batu adalah perbuatan yang terlalu keji bagi sang Nabi (semoga
berkah dan damai Allah turun atasnya) yang telah memperoleh gelar
untuk dirinya sebagai Rahma'lil
Alamin (rahmat
bagi seluruh alam). [9] Dengan
entengnya dia menyarankan
bahwa orang-orang Yahudi-lah yang mungkin telah mengarang cerita
tersebut dan meneruskannya kepada Ibnu Ishaq yang mudah percaya.
Keandalan
Ibnu
Ishaq
Jadi,
apakah semua
ini
hanyalah
“ucapan tak berharga” yang Ibnu Ishaq terima dari “orang-orang
tak dikenal”? Mungkin
saja. Namun
masih
tersisa apa yang tidak
bisa
dijelaskan
dalam kritik
ini
adalah motif dari
Ibn
Ishaq. Jika
memang ada orang-orang Yahudi musuh-musuh Islam (karena mereka
generasi
demi generasi selalu saja ditetapkan sebagai musuh Islam sesuai
dengan QS
5:82)
dan memberi
Ibnu
Ishaq informasi palsu tentang Muhammad untuk mendiskreditkan Islam,
motif mereka relatif jelas, namun tidak
demikian dengan Ibn
Ishaq.
Margoliouth
mengatakan
bahwa Ibnu Ishaq melukiskan “gambaran
yang tidak menyenangkan bagi sang
pendiri
agama,”
tetapi
gambaran
ini “tidak
dapat dianggap
sebagai gambaran
yang
diambil dari
pihak musuh.”
[10]
Bahkan
jika penggambaran
tentang Muhammad
dari
Ibnu
Ishaq dianggap
lebih
cocok
sebagai oranbg kejam
dari
pada sebagai orang
suci, justru
penghormat
sang
penulis
biografi
ini untuk
tokoh
sentral yang ia tulis sungguh jelas
dan tak habis-habisnya. Jelas
Ibn Ishaq tidak memiliki kepentingan dalam menggambarkan Muhammad
dalam
perspektif
yang
tidak menguntungkan.
Lagi pula, Ibnu
Ishaq mengakui
Muhammad sebagai kompas
moralnya,
sama
seperti
peran
Muhammad begitu
banyak umat Islam saat ini. Ibn
Ishaq tampaknya tidak terganggu oleh implikasi moral dari
cerita-cerita yang ia
tuturkan, atau
untuk menganggap
bahwa kejadian-kejadian tersebut menempatkan Muhammad
dalam cahaya yang negatif. Cerita
tersebut tidak dapat ditolak sebagai
tidak historis
hanya karena muslim modern percaya
kejadian-kejadian tersebut tidak pernah terjadi.
Sumber-sumber
Islam menyebutkan beberapa
sejarawan
sebelumnya, namun karya-karya mereka tidak bertahan
sampai ke kita,
dan apa yang kita
ketahui tentang karya-karya mereka tidaklah pasti. Sebagai
contoh, Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awwam,
pria
yang
secara umum
diakui sebagai bapak pendiri sejarah Islam, yang
menurut
tradisi Islam adalah sepupu Muhammad dan keponakan dari Aisha yang
meninggal pada 712. Ibnu
Ishaq, Tabari, dan seorang
sejarawan
Islam
Awal
lainnya,
Ibnu Sa'ad,
banyak merujuk pada namanya dalam banyaka kisah tradisi,
tetapi jika benar
Urwa bin Az-Zubair bin Al-Awwam pernah menulis
apa-apa, itu tidak sampai kepada kita. [11]
Tidak
ada cara untuk mengevaluasi kebenaran berbagai rekening Ibn Ishaq
Muhammad. Material
yang beredar secara lisan untuk sebanyak 125 tahun, di tengah
lingkungan di mana pemalsuan materi tersebut merajalela, sangat tidak
mungkin untuk mempertahankan setiap tingkat signifkan keandalan
historisnya.
Terlebih
lagi, sebagaimana
Johannes
JG Jansen,
seorang akademisi kajian-kajian Islam dari Belanda,
mengamati:
Tidak
satupun
dari kisah-kisah dalam karya
Ibnu
Ishaq yang
dapat dikonfirmasi
oleh prasasti atau temuan
arkeologi
lainnya. Kita
tidak mendapati kesaksian
sejaman
dengan kejadian-kejadian yang digambarkan dalam cerita-cerita
tersebut dari
pihak
non-Muslim. Sumber-sumber
berbahasa Yunani,
Armenia, Syriak
dan sumber lainnya tentang asal-usul
Islam
di
jaman itu sangat
sulit dilacak,
namun
tidak satupun dari mereka yang
secara meyakinkan sejaman dengan Sang Nabi
Islam. Dalam
keadaan seperti itu, tidak ada karya
biografi
yang
bisa dianggap sebagai karya ilmiah dalam
pemahaman
modern,
bahkan tidak
pula dengan
bantuan Ibn Ishaq
yang serba “maha tahu”. [12]