Thursday 5 September 2013

Bab 4. MENYALAKAN TERANG SEJARAH YANG SEBENARNYA (bag. 1)

Bab 4

Menyalakan Terang Sejarah Yang Sebenarnya



Penulis Biografi Muhammad Pertama


Kisah-kisah tentang Muhammad yang konon katanya “dipenuhi terang sejarah” sebagian besar berasal dari seorang muslim bernama Ibnu Ishaq bin Yasar, yang umumnya dikenal sebagai Ibnu Ishaq, yang pertama kali menulis biografi Muhammad. Tetapi Ibnu Ishaq tidak hidup sejaman dengan nabinya, Muhammad, yang dipercaya meninggal di tahun 632. Ibnu Ishaq meninggal tahun 773, dan karyanya berkisar lebih dari 100 tahun setelah kematian sang tokoh.

Apalagi karya Ibnu Ishaq ini, yakni Sirat Rasul Allah – Biografi Sang Utusan Allah – tidak bertahan dalam bentuk aslinya. Apa yang datang pada kita hanyalah versi yang lebih ringkas (walaupun tetap saja cukup panjang) yang dikompilasi dikemudian hari oleh seorang sarjana Islam, Ibnu Hisham, yang meninggal di tahun 834, atau 60 tahun setelah kematian Ibnu Ishaq, juga beberapa fragmen yang dikutip oleh para penulis Muslim awal lainnya, termasuk sejarawan Muhammad Ibnu Jarir at-Tabari (839-923).

Keterlambatan bahan ini tidak dengan sendirinya berarti bahwa ia tidak dapat diandalkan. Sejarawan umumnya cenderung mendukung sumber-sumber yang lebih awal ketimbang yang kemudian, tetapi sebuah sumber awal tidak selalu lebih dapat dipercaya daripada yang datang kemudian. Sebuah biografi seorang politisi yang ditulis terburu-buru untuk segera masuk percetakan beberapa minggu setelah kematiannya, misalnya, mungkin tidak akan memiliki nilai lebih besar dari catatan yang lebih teliti yang diterbitkan beberapa tahun kemudian, setelah melewati penelitian mendalam.

Namun dalam kecenderungan yang sedang merajalela waktu itu untuk membentuk materi-materi tentang ucapan dan perbuatan Muhammad, dan cara berbagai faksi di abad kedelapan dan kesembilan menggunakan apa yang konon katanya menjadi ucapan dan tindakan Muhammad untuk mendukung posisi mereka, penulis biografi pertama Muhammad akan menghadapi tantangan yang luar biasa dalam menyaring bahan-bahan dari pemalsuan dan rekayasa.

Lagipula Ibnu Hisham mengklaim bahwa versinya lebih handal. Ia mengatakan bahwa ia tidak menyertakan, “hal-hal yang menjijikan untuk dibahas, hal-hal yang akan memusingkan beberapa orang; dan semacam laporan-laporan yang al-Bakkai [murid dari Ibnu Ishaq, yang mengedit karyanya] katakan kepadaku yang ia tak bisa terima sebagai layak dipercaya.”[1] Abdallah Ibnu Numayr, seorang pengumpul hadits yang meninggal tahun 814, mengeluhkan bahwa walaupun karya Ibnu Ishaq berisikan apa yang otentik, materi otentik itu bercampur dengan “ucapan-ucapan tak berarti” yang bulan Ishaq dapatkan dari “orang-orang tak dikenal.” [2] Seorang spesialis hadits terkenal, Ahmad Ibnu Hanbal (w. 855), tidak menganggap Ibnu Ishaq sebagai sumber terpercaya untuk hukum Islam. [3] Karena banyak korpus hukum Islam yang didasarkan pada contoh teladan apa yang Muhammad ucapkan, lakukan, biasa lakukan, dan bahkan yang ia hindari yang sangat siginifikan: kecenderungan Ibnu Hanbal dalam hal ini menyiratkan bahwa ia menganggap sebagian besar apa yang Ibnu Ishaq laporkan tentang Muhammad tidak dapat diandalkan.  Namun, pada kesempatan lain, Ibnu Hanbal menjelaskan pandangannya, dengan menyatakan bahwa sementara ia tidak percaya Ibnu Ishaq bisa dipercaya mengenai masalah-masalah hukum, ia melihat karya Ibnu Ishaq dapat diandalkan sebagai materi biografis Muhammad yang lebih murni, seperti misalnya kisah-kisah pertempuran.  Sebuah pandangan yang kurang menyenangkan datang dari ahli fiqh lain, Malik Ibnu Anas (w. 795), yang menyebut Ibnu Ishaq sebagai “salah satu dajjal.” [4]  Sementara tokoh lainnya hanya menyebutnya sebagai pembohong. [5]

Membela Ibnu Ishaq

Ibnu Ishaq memiliki para pembelanya juga. Para penulis Muslim awal yang mengumpulkan semua laporan yang tidak menguntungkan tentang Ibnu Ishaq, dan banyak lainnya juga, akhirnya menepis kritik dan menegaskan kepercayaan pada karya penulisan biografi Ibnu Ishaq. Dan memang, banyak dari mereka yang keberatan kepada karya Ibnu Ishaq karena ia memiliki kecenderungan Syiah, atau menegaskan kehendak bebas manusia, yang banyak Muslim anggap sebagai ajaran sesat. Beberapa percaya bahwa tulisan Ibnu Ishaq terlalu menguntungkan suku-suku Yahudi di Arab.

Tak satupun dari kritik ini benar-benar berkenaan pada kebenaran dari apa yang Ibnu Ishaq laporkan, dan banyak Muslim awal menegaskan kebenaran itu. Seorang muslim abad ke-delapan, Shuba, menjuluki Ibnu Ishaq sebagai “pemimpin para tradisionalis” (yakni, seorang spesialis hadist) karena kemampuan memorinya yang luar biasa. Seorang penulis abad sembilan akhir, Abu Zura, mengatakan bahwa karya Ibnu Ishaq telah diteliti akurasinya dan lulus uji. Seorang ahli hukum abad Sembilan awal, Abu-Syafi'i, mengatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber yang sangat diperlukan untuk kisah-kisah pertempuran Sang Nabi, dan bahkan menyerukan bahwa “pengetahuan akan tetap ada di antara manusia sepanjang Ibnu Ishaq hidup.” [6]

Pandangan-pandangan yang sangat beragam ini mungkin disebabkan fakta bahwa citra Muhammad yang muncul dari biografi Ibnu Ishaq bukanlah apa yang bisa diharapkan dari seorang pendiri salah satu agama besar di dunia. Citra Muhammad yang Ibnu Ishaq tampilkan bukanlah seorang guru damai kasih Allah dan persaudaraan manusia, melainkan seorang panglima perang yang berjuang di berbagai pertempuran dan memerintahkan pembunuhan musuh-musuhnya.  Seorang sejarawan abad dua puluh, David Margoliouth, mengatakan “Karakter yang dikaitkan kepada Muhammad dalam biografi karya Ibnu Ishaq benar-benar sangat tidak menguntungkan. Untuk mencapai tujuannya, ia mengambil langkah-langkah tidak bijaksana, dan ia menyetujui keserampangan serupa pada para pengikutnya, apabila itu dilakukan demi kepentingannya.” [7]

Namun peperangan Muhammad yang begitu banyak tidak mempermalukan Muslim modern di Barat. Peperangan-peperangan yang mereka sematkan kepada nabi mereka di tempat dan waktu tertentu justru tidak mengabaikan statusnya sebagai “panutan sempurna” (QS 33:21) bagi muslim di sepanjang zaman dan di seluruh tempat. Yang lebih sulit untuk dijelaskan adalah episode “ayat-ayat setan” yang memalukan: Muhammad menerima wahyu yang menyatakan bahwa tiga dewi kaum pagan Qurays adalah anak-anak perempuan Allah, dan layak dimuliakan juga. Namun ketika sang nabi Islam ini menyadari dia telah mengkompromikan pesan monoteistiknya, ia mengklaim bahwa Setan telah menginspirasikan ayat-ayat tersebut, dan bahwa Setan memang selalu mengganggu pesan pewahyuan kepada semua nabi (lih. QS 22:52). Muhammad segera membatalkan ayat-ayat yang akan mengganggu itu. Ibn Ishaq bercerita tentang kejadian ini, yang mana para penulis sejarah awal Islam lainnya tidak sertakan ke dalam catatan mereka.

Ibnu Ishaq juga menceritakan kisah mengerikan dari Kinana bin ar-Rabi, seorang pemimpin Yahudi di oasis Khaybar, yang Muhammad serbu dan taklukan. Karena berpikir bahwa Kinana tahu di mana kaum Yahudi Khaybar telah menyembunyikan harta mereka, maka nabi memerintahkan kepada anak buahnya: “Siksa dia sampai kalian mengambil apa yang ia miliki.” Kaum Muslim kemudian menyalakan api di dada Kinana, dan ketika Kinana masih belum mau memberitahu mereka di mana harta karun itu, mereka memenggal kepalanya. [8]

Seorang apologis Islam modern bernama Ehteshaam Gulam, seorang penulis muda di website Answering Christian Claims, dengan mudahnya memberikan keberatan Islam yang khas untuk cerita ini ketika ia menolaknya karena kurang jelasnya isnad atau rantai periwayat: “Ibn Ishaq tidak nama sumbernya”. Gulam juga mengatakan bahwa cerita tersebut tidak mungkin benar karena Muhammad tidak akan bertindak dengan cara-cara seperti itu: “Bahwa seorang pria harus disiksa dengan luka bakar di dadanya oleh percikan batu adalah perbuatan yang terlalu keji bagi sang Nabi (semoga berkah dan damai Allah turun atasnya) yang telah memperoleh gelar untuk dirinya sebagai  Rahma'lil Alamin (rahmat bagi seluruh alam). [9] Dengan entengnya dia menyarankan bahwa orang-orang Yahudi-lah yang mungkin telah mengarang cerita tersebut dan meneruskannya kepada Ibnu Ishaq yang mudah percaya.


Keandalan Ibnu Ishaq

Jadi, apakah semua ini hanyalah “ucapan tak berharga” yang Ibnu Ishaq terima dari “orang-orang tak dikenal”?  Mungkin saja. Namun masih tersisa apa yang tidak bisa dijelaskan dalam kritik ini adalah motif dari Ibn Ishaq. Jika memang ada orang-orang Yahudi musuh-musuh Islam (karena mereka generasi demi generasi selalu saja ditetapkan sebagai musuh Islam sesuai dengan QS 5:82) dan memberi Ibnu Ishaq informasi palsu tentang Muhammad untuk mendiskreditkan Islam, motif mereka relatif jelas, namun tidak demikian dengan Ibn Ishaq.  Margoliouth mengatakan bahwa Ibnu Ishaq melukiskan “gambaran yang tidak menyenangkan bagi sang pendiri agama,tetapi gambaran ini “tidak dapat dianggap sebagai gambaran yang diambil dari pihak musuh.[10]  

Bahkan jika penggambaran tentang Muhammad dari Ibnu Ishaq dianggap lebih cocok sebagai oranbg kejam dari pada sebagai orang suci, justru penghormat sang penulis biografi ini untuk tokoh sentral yang ia tulis sungguh jelas dan tak habis-habisnya. Jelas Ibn Ishaq tidak memiliki kepentingan dalam menggambarkan Muhammad dalam perspektif yang tidak menguntungkan. Lagi pula, Ibnu Ishaq mengakui Muhammad sebagai kompas moralnya, sama seperti peran Muhammad begitu banyak umat Islam saat ini. Ibn Ishaq tampaknya tidak terganggu oleh implikasi moral dari cerita-cerita yang ia tuturkan, atau untuk menganggap bahwa kejadian-kejadian tersebut menempatkan Muhammad dalam cahaya yang negatif. Cerita tersebut tidak dapat ditolak sebagai tidak historis hanya karena muslim modern percaya kejadian-kejadian tersebut tidak pernah terjadi.

Sumber-sumber Islam menyebutkan beberapa sejarawan sebelumnya, namun karya-karya mereka tidak bertahan sampai ke kita, dan apa yang kita ketahui tentang karya-karya mereka tidaklah pasti.  Sebagai contoh, Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awwam, pria yang secara umum diakui sebagai bapak pendiri sejarah Islam, yang menurut tradisi Islam adalah sepupu Muhammad dan keponakan dari Aisha yang meninggal pada 712. Ibnu Ishaq, Tabari, dan seorang sejarawan Islam Awal lainnya, Ibnu Sa'ad, banyak merujuk pada namanya dalam banyaka kisah tradisi, tetapi jika benar Urwa bin Az-Zubair bin Al-Awwam pernah menulis apa-apa, itu tidak sampai kepada kita. [11]

Tidak ada cara untuk mengevaluasi kebenaran berbagai rekening Ibn Ishaq Muhammad. Material yang beredar secara lisan untuk sebanyak 125 tahun, di tengah lingkungan di mana pemalsuan materi tersebut merajalela, sangat tidak mungkin untuk mempertahankan setiap tingkat signifkan keandalan historisnya.

Terlebih lagi, sebagaimana Johannes JG Jansen, seorang akademisi kajian-kajian Islam dari Belanda, mengamati:
Tidak satupun dari kisah-kisah dalam karya Ibnu Ishaq yang dapat dikonfirmasi oleh prasasti atau temuan arkeologi lainnya. Kita tidak mendapati kesaksian sejaman dengan kejadian-kejadian yang digambarkan dalam cerita-cerita tersebut dari pihak non-Muslim. Sumber-sumber berbahasa Yunani, Armenia, Syriak dan sumber lainnya tentang asal-usul Islam di jaman itu sangat sulit dilacak, namun tidak satupun dari mereka yang secara meyakinkan sejaman dengan Sang Nabi Islam. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada karya biografi yang bisa dianggap sebagai karya ilmiah dalam pemahaman modern, bahkan tidak pula dengan bantuan Ibn Ishaq yang serba “maha tahu”. [12]