Perkembangbiakan Pemalsuan
Namun, jika imam Bukhari
dan Muslim harus bekerja keras untuk menyaring sejumlah kecil hadis yang sahih
itu, ini berarti bahwa ratusan ribu
cerita tentang Muhammad entah seutuhnya tidak bisa dipercaya atau diragukan keasliannya. Masalahnya sekarang berada di
luar kemampuan mereka, atau kemampuan siapapun untuk mengendalikannya. Ignaz
Goldziher, sejarawan perintis kritik atas hadis, mencatat bahwa “cara yang
paling sederhana yang orang jujur lakukan untuk memerangi peningkatan pesat hadis-hadis
palsu, disaat bersamaan, menjadi
fenomena luar biasa dalam sejarah dunia sastra.
Dengan niat saleh, pengarang-karangan satu hadis diperangi dengan pengarang-karangan
hadis baru yang berseberangan, dimana hadis baru yang diselundupkan dan di mana
penemuan hadis tidak sah dikutuk oleh kata-kata yang kuat yang diucapkan oleh
Nabi.” [50] Muhammad dikabarkan pernah
memperingatkan: “setelah kematianku, sejumlah ucapan yang dianggap diucapkan
olehku akan meningkat seperti halnya ucapan-ucapan yang dianggap diucapkan oleh
para nabi sebelumnya.” [51]
Dalam hadis lain ia
bernubuat, “Kelak di kemudian hari di antara umatku, akan ada orang-orang yang mengajarkan
apa yang baik kalian ataupun nenek moyangmu tidak pernah dengar.Waspadalah
terhadap mereka.” Dan bahkan lebih kuat lagi: “Pada akhir zaman akan ada
pemalsu, pembohong yang akan membawakan kepadamu hadis-hadis yang baik kalian
maupun nenek moyangmu belum pernah dengar. Waspadalah terhadap mereka sehingga
mereka tidak bisa menyesatkan kalian dan membawamu ke dalam pencobaan." [52]
Namun bagaimana seorang
Muslim yang saleh mengetahui hadis yang asli dan yang palsu? Sebuah hadis
mengutip Muhammad mengusulkan solusi: "Apapun yang dikatakan orang sebagai
perkataan dariku, kalian harus membandingkannya dengan Kitab Allah (Al-Qur'an),
dan apa yang sesuai dengan Al Qur’an, adalah sesuai dengan manusia, entah itu
telah dikatakan olehku ataupun tidak.” [53] Ibnu Abbas menambahkan
kriteria lain, yakni ‘penerimaan komunitas’. “Jika Anda mendengar dari saya
sebuah komunikasi yang menyertakan otoritas sang Nabi dan Anda menemukan bahwa hal
itu tidak sesuai dengan Kitab Allah atau tidak disukai oleh orang-orang, ketahuilah
bahwa saya telah melaporkan kebohongan tentang sang Nabi." [54]
Perhatikan bahwa dalam hadis-hadis
ini bahwa tidak Muhammad dan tidak pula Ibnu Abbas dikabarkan pernah mengatakan
bahwa umat Islam harus melakukan upaya hati-hati untuk menyaring ucapan otentik
sang nabi Islam dari ucapan-ucapan yang dianggap tidak otentik. Sebaliknya, mereka
hanya diminta untuk perlu menilai apakah ucapan yang diduga itu melawan
Al-Qur'an atau tidak, dan mengikuti ucapan-ucapan yang tidak berlawanan dengan
kitab suci mereka. Sampai hari ini,
salah satu kriteria yang Muslim lakukan untuk mengevaluasi hadis adalah
seberapa baik ucapan-ucapan itu sesuai
dengan Al Qur'an. Mereka yang bertentangan dengan Al Qur’an akan ditolak. Itu
adalah kriteria yang masuk akal, tetapi tidak membawa kita lebih dekat dengan
apa yang sebenarnya Muhammad ucapkan dan lakukan.
Meskipun demikian, Bukhari
dan kolektor hadis lainnya membuat usaha gagah berani. Mereka mengaku bisa
membedakan materi asli tentang ucapan dan tindakan Muhammad dari hadis-hadis
palsu hanya dengan memeriksa rantai perawi / periwayat (isnad), yakni daftar orang-orang
yang menyampaikan cerita tersebut dari jaman Muhammad sampai sekarang. Ulama Islam mengkategorikan satu persatu kisah
hadis berdasarkan rantai periwanya, sebagai “layak dipercaya”, “baik”, “lemah”,
“palsu”, dst. Sebuah hadis dianggap layak
dipercaya jika rantai periwayatnya memasukan prang-orang yang dipercaya dan diakui
otoritasnya.
Sebuah contoh umum rantai periwayat yang kuat dicatat oleh ulama Suni Sheikh al-Mufid (Ibnu Muallim, 948-1022) jika
ditelusuri bersumber kepada Ali. Al-Mufid berkata: “Abul Hasan Ali b. Muhammad
b. Khalid al-Maythami melaporkan kepada saya dari Abu Bakr Muhammad b.
al-Husain b. al-Mustanir, yang melaporkan dari al-Husain b. Muhammad b.
al-Husain b. Masab, yang melaporkan dari Abbad b. Yakub, yang melaporkan dari
Abu Abdil Rahman al-Masudi, dari Katsir al-Nawa, dari Abu Maryam al-Khawlani,
dari Malik b. Dhamrah, bahwa Amir ul-Mukminin [pemimpin kaum beriman] Ali b.
Abi Thalib (A.S.) mengatakan …....” [55]
Jika sebuah rantai periwayatan
memasukan orang yang tidak dapat diandalkan atau rantai yang rusak, maka para ulama
menganggap keaslian hadis tersebut diragukan. Bahkan Ibnu Maja mencatat bahwa
salah satu hadis dianggap lemah “karena menyertakan Khalid bin Ubaid,” sebagai
salah satu periwayatnya. Dia mengutip Bukhari mengatakan tentang Khalid: “Hadisnya
masih bisa diperdebatkan”, dan menunjukkan bahwa dua otoritas Islam lainnya,
Ibnu Hibban dan Hakim, “telah menyatakan bahwa ia menceritakan sesuatu yang maudu ahadith (tradisi yang mencurigakan) tentang otoritas Anas.” [56]
Keandalan dari rantai isnad
menentukan penggolongan keasliannya. Tidak peduli apakah sebuah hadis itu
saling bertentangan atau tidak masuk akal tampakannya, asalkan rantai isnad
yang jelas secara anomali, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, kisah
tersebut tidak akan menghadapai hambatan untuk diterima sebagai “yang layak
dipercaya”. [57] Bukhari dan Muslim, serta
rekan-rekan mereka, juga cenderung mendukung tradisi yang mereka terima dari
berbagai sumber, tapi kecenderungan ini hanya menunjukkan bahwa sebuah hadis tersebut
telah beredar luas, bukan karena ia otentik.
Masalahnya adalah, jika hadis
bisa dipalsukan, maka begitu pula rantai periwayatnya. Ada banyak indikasi bahwa rantai
periwayatan itu sendiri dipalsukan dengan cara yang sama hadis-hadis itu
diciptakan. Sarjana hukum Islam (fiqh),
Joseph Schacht mencatat satu hadis anomali yang menunjukkan betapa
serampangannya rantai periwayat /isnad itu dikarang. Dia menunjukkan bahwa
abu-Syafi'i, seorang ahli fiqh terkenal di awal abad kesembilan, menggambarkan sebuah hadis tertentu sebagai mursal, yang berarti “terburu-buru”, dan “umumnya tidak ditindaklanjuti.”
Penjelasan Shafii menyiratkan bahwa hadis “tidak dikonfirmasi oleh versi
manapun dengan isnad yang lengkap”, tandas Schacht. Namun ia melanjutkan bahwa hadis
yang sama “muncul dengan isnad lengkap yang berbeda, dalam koleksi Ibnu Hanbal
... dan Ibnu Maja.” [58]
Schacht mencatat banyak
contoh hadis dengan jelas dipalsukan atau isnad-nya diubah. Dia menunjukan
tentang satu hadis yang disampaikan oleh Malik dalam Muwatta-nya. Malik mendengar dari Muhammad bin Abdulrahman bin Sad bin
Zurara, yang mendengar dari salah satu istri Muhammad, Hafsa, bahwa suatu saat Hafsa
membunuh salah satu budak perempuannya yang mempraktekkan ilmu sihir dan telah
membacakan suatu mantra pada dirinya. Di
tempat lain kita belajar bahwa Malik mendengar dari Abul-Rijal Muhammad bin
Abdalrahman bin Jariya, yang mendengar dari ibunya, Amra, bahwa salah satu dari
istri Muhammad, Aisha, menjual salah satu budak perempuannya yang mempraktekkan
ilmu gaib dan telah membacakan mantra pada dirinya. “Salah satu versi ini pastilah
mencontek dari versi lainnya.” Schacht mencatat, “dan tidak satupun dari kisah
itu bisa dianggap historis.” [59]
Namun, Apakah Semua Hadis itu Bisa
Dipercaya?
Bahwa banyak hadis telah
dipalsukan telah diakui oleh para sarjana baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim.
Namun bagi cendekiawan muslim Muhammad Mustafa Azami, keberadaan isnad yang jelas-jelas
palsu itu sendiri baginya sudah cukup menentukan tingkat keandalan hadis yang selama
ini dianggap otentik. [60] Lagi pula, menurutnya, jika
isnad (rantai periwayatan) itu dipalsukan, mengapa sang pemalsu menopang
karyanya dengan rantai periwayatan yang tidak memuaskan? Jika seluruh kisah itu
semata-mata hanyalah fiksi dan dibuat karena alasan politik, mengapa tradisi
itu tidak ditujukan kepada siapapun selain orang-orang yang dihormati dalam masyarakat
Islam, dan menyampaikan ucapan Muhammad dalam rantai yang tak terputus dan
jelas dapat diandalkan? Tetapi argumen Azami segera terpatahkan akan adanya
fakta bahwa hadis memang diproduksi oleh faksi-faksi yang bersaing, dan pepatah
lama bahwa ‘sejarah ditulis oleh kaum
pemenang‘ ternyata berlaku: Jika sebuah hadis terkenal tidak mempromosikan
perspektif yang menguntungkan putusan kelompok yang berkuasa, maka mengubah isnad adalah cara mudah untuk meragukan
keasliannya. Selain itu, para periwayat yang satu faksi anggap handal dan saleh
dapat dianggap sebagai jahat dan pengarang-ngarang hadis oleh fraksi lain.
Sarjana kontemporer, Harald
Motzki, juga telah menantang idea bahwa Hadis secara keseluruhan tidak dapat
diandalkan. Dia menunjuk pada hadis yang dikumpulkan oleh sarjana Abd ar-Razzaq
(744 - 826) yang selama ini dianggap sebagai bukti bahwa hadis tersebut sudah
beredar setidaknya di awal abad kedelapan. Tapi sebenarnya, Abd ar-Razzaq
melakukan sebagian besar karyanya menjelang akhir abad delapan. [61] Seperti halnya Azami,
Motzki juga memperlihatkan adanya keberadaan isnad-isnad meragukan yang
mengklaim bahwa hadis-hadis lainnya pastilah otentik. Dia mencatat bahwa Abd ar-Razzaq
terkadang mengalamatkan sumber-sumber hadis yang dia anggap keandalan
diragukan, dan bahkan menyajikan hadis dengan tanpa sumber yang dikenal. Jika hadis
sedang diproduksi secara besar-besaran dan dilengkapi dengan isnad mengesankan,
mengapa bahkan ada hadis dengan atribusi yang lemah, atau tidak ada atribusi
sama sekali?[62]
Namun demikian, ada alasan
kuat untuk mempertanyakan ketergantungan pada isnad sebagai panduan terhadap keaslian
hadis. Para isnad sendiri tidak pernah muncul sampai hadis-hadis mulai beredar.
Tradisi Islam menceritakan sebuah kisah tentang para isnad kepada Muhammad bin
Sirin, seorang sarjana Qur'an abad kedelapan yang juga terkenal sebagai
penafsir mimpi di Irak. Sebagai pengumpul hadis, ia berkata, “Kita tidak
terbiasa mempertanyakan isnad, tetapi
ketika fitna ( perang sipil) terjadi
mereka berkata: “beritahu kami para informan kalian.” [63]
Fitna (perang sipil) biasanya
dipahami sebagai rujukan tentang kerusuhan yang diikuti pembunuhan khalifah Usman
di tahun 656-lebih dari tiga puluh tahun setelah kematian Muhammad, sang tokoh
utama dari semua hadis. Pun demikian menurut tradisi Islam, untuk jangka waktu
yang cukup panjang hadis-hadis telah beredar tanpa isnad. Sangat naïf untuk membayangkan
bahwa tiga puluh tahun setelah kematian Muhammad, kaum Muslim masih bisa mengingat
dengan persis siapa di antara para sahabat nabi yang bertanggung jawab dalam
mentransmisikan ribuan cerita tentang Muhammad.
Secara signifikan, penggunaan
isnad nampaknya menjadi suatu kewajiban di awal tahun 700 an - sekitar waktu
awal Abd al-Malik dan Hajjaj bin Yusuf, atau segera setelah itu. [64]
Bahkan gagasan bahwa isnad
merupakan indikasi keaslian bertumpu pada fondasi yang goyah. Siapapun yang
telah memainkan permainan anak-anak seperti halnya “kata berkait”, yang
melibatkan sebuah kalimat panjang yang disampaikan oleh sipembisik pertama
kepada beberapa temannya dan kemudian si penerima kalimat terakhir
dibandingkan dengan yang asli, akan tahu bagaimana tidak bisa diandalkannya
tradisi lisan itu. [65] Jika Muhammad benar-benar pernah memperingatkan umat Islam agar
mereka “harus terus membaca Al-Qur'an karena ayat-ayat Qur’an bisa mudah lolos
dari hati manusia lebih cepat daripada unta lepas dari tali ikatan,” tidakkah
akan terjadi kecenderungan yang sama berlaku meskipun pada hadis? [66]
Yang pasti, bangsa Arab memiliki
sebuah kebiasaan menghapalkan puisi, dan menghapalkan teks-teks Islam akan
sesuai dengan kebiasaan itu. Hal ini juga terjadi di jaman Yunani kuno dimana
para penyair secara terlatih membacakan kisah Iliad dan Odyssey di luar kepala. Tetapi periwayat asli dari hadis bukanlah
penyair terlatih atau pujangga, mereka hanya sahabat Muhammad yang melihatnya
melakukan atau mengatakan sesuatu pada saat tertentu. Terlebih lagi, Hadis jauh
lebih banyak jumlahnya daripada epos kuno Yunani yang para penyairnya mampu
ingat. Namun kisah-kisah kanonik asal Islam mengasumsikan bahwa para Sahabat
Muhammad memiliki ingatan keseluruhan akan ucapan dan tindakan sang nabi, dan
bahwa mereka meneruskannya dengan ketelitian tentang apa yang mereka lihat dan
dengar dari ribuan insiden.
Lebih jauh lagi tradisi
kanonik mengasumsikan bahwa para periwayat berikutnya menerapkan kehati-hatian yang sama
selama beberapa dekade, menyampaikan tradisi ini tanpa embel-embel,
klarifikasi, atau perubahan apapun sampai hadis-hadis tersebut akhirnya dikumpulkan
dan ditulis pada abad kesembilan.
Jarang sekali, jikapun
memang pernah ada , suatu ingatan seperti itu didokumentasikan.
Apa Yang Sebenarnya Muhammad Ucapkan dan
Lakukan?
Pada akhirnya, adalah
mustahil untuk mengatakan benar tidaknya Muhammad sendiri yang mengatakan ini
dan itu atau melakukan ini dan itu sesuai dengan yang dikisahkan oleh salah
satu hadis manapun, atau bahkan jika Muhammad pernah ada sama sekali.
Kita telah melihat bahwa Dinasti
Abbasiyah dalam skala besar telah mensponsori perkembang-biakan hadis dan
akhirnya pengumpulan hadis nabi. Hal ini sesuai dengan strategi oposisi mereka
terhadap Bani Umayyah pada tataran keagamaan. Ignaz Goldziher mengamati bahwa dinasti
Abbasiyah menggulingkan dinasti Umayyah karena yang Ummayah dianggap “tidak
bertuhan dan menentang agama.” Bani Abbasiyah, yang dipimpin oleh jenderal Abu
Muslim, sebagaimana Goldziher tuliskan, adalah "pria dengan 'gada untuk kaum
kafir” untuk bangkit melawan Bani
Umayyah terutama untuk membangun "pilar din [agama]." [67]
Di sisi lain, mungkin bahwa
tuduhan pendosa yang ditujukan pada Bani
Umayyah hanyalah polemik Abbasiyah belaka, hal ini dimaksudkan untuk
mendiskreditkan saingan besar mereka , bani Ummayah. Lagi pula, adalah sangat
aneh bahwa Bani Umayyah, yang mengambil alih kekhalifahan di tahun 661, setelah
pembunuhan Ali, menjadi begitu terkenal karena irrelijiusitas mereka. Pada
kenyataannya mereka mengambil alih kekuasaan kurang dari tiga dekade setelah
kematian nabi Islam, dan di antara mereka diduga banyak yang mengenalnya Muhammad
secara pribadi dan mencintainya di atas semua makhluk. Muawiyah, khalifah
Umayyah pertama, adalah sepupu dari khalifah Usman, yang dipercayakan untuk
melakukan standardisasi teks Al-Qur'an. Apakah benar-benar masuk akal bahwa
Bani Umayyah membuang dasar agamanya Muhammad begitu cepat setelah ia memberikannya
kepada mereka? Mengapa masyarakat Islam begitu cepat jatuh ke tangan penguasa yang
begitu sedikit rasa kepedulian pada prinsip dasar pengorganisasian dan alasan keberadaan
mereka sendiri?
Hal ini dimungkinkan karena
adanya pergolakan di sebuah era kekerasan, dan dari agama yang menyetujui
kekerasan tersebut. Lagi pula Muawiyah adalah anak dari Abu Sufyan, kepala suku
Quraisy yang (menurut tradisi Islam) pernah berperang melawan Muhammad dan akhirnya dengan enggan memeluk Islam
hanya karena hanya ia akhirnya dikalahkan. Ketika bertemu dengan pemimpin yg
baru ia kalahkan, Muhammad bertanya, “Celakalah kamu, Abu Sufyan, bukan sekarang
waktunya kamu mengakui bahwa aku Rasul Allah?” Abu Sufyan menjawab, “Terhadap
hal itu aku masih memiliki beberapa keraguan.” Sahabat Muhammad, Abbas, nenek
moyang dari Abbasiyah, tidak memiliki keraguan akan hal itu. Dia berkata kepada
Abu Sufyan: “Menyerahlah dan bersaksilah bahwa tidak ada Ilah lain selain Allah
dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah sebelum engkau kehilangan kepalamu.” Mau
tak mau Abu Sufyan akhirnya taat. [68]
Dalam terang pemahaman semua
ini, tidaklah mengherankan untuk mempertanyakan komitmen Muawiyah kepada Islam.
Kemudian lagi, ada hadis yang mengatakan bahwa ia benar-benar menjadi sangat
taat dan bahkan menjabat sebagai juru tulis Muhammad. Hadis tentang Abu Sufyan
bisa jadi merupakan produk polemik di masa Abbasiyah.
Bahkan jika Muawiyah bukan
seorang yang taat, sulit untuk membayangkan bahwa ia akan mewariskan sifat
irrelijiusnya kepada penerusnya, yang kemudian para penerusnya ini memerintah umat
Islam selama lebih dari seratus tahun, menurut catatan-catatan standar, mereka terinspirasi
oleh kata-kata dalam Qur 'an dan prilaku hidup Muhammad. Mungkin apa yang tradisi
Islam gambarkan sebagai sikap tak
beragamanya dinasti Umayyah hanya bisa mencerminkan waktu (periode awal Umayyah)
ketika ucapan dan prilaku Muhammad dan juga teks-teks Qur’an belum dibakukan.
Ketidakandalan hadis-hadis
menjadikannya sungguh tidak mungkin untuk mengetahui apapun secara pasti
tentang Muhammad. Keragu-raguan yang lebih mendalam justru muncul, sebagaimana
kita akan segera lihat, hanya ada bukti yang samar tentang keberadaan Mekkah
sebagai pusat perdagangan dan ziarah spiritual yang dianggap ada di jaman
Muhammad. Namun di abad delapan, biografi sang Nabi Islam baru muncul. Dan
dalam buku itu, dikombinasikan dengan permulaan usaha pengumpulan hadis-hadis
carut-marut yang bertebaran, memunculkan momen yang tepat: sosok samar dan
misterius sang nabi Islam mulai bergerak lebih meyakinkan menjadi “penuh dengan
terang sejarah.”
Catatan:
1 Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari:
The Translation of the Meanings, trans. Muhammad M. Khan (Riyadh:
Darussalam, 1997), vol. 6, book 65, no. 4584.
2 Asbab Al-Nuzul by Al-Wahidi, trans. Mokrane Guezzou,
on Qur'an 2:44, http://www.altafsir.com/AsbabAlnuzol.asp?
SoraName=2&Ayah=44&search =yes&img=A.
3 Al-Wahidi, on Qur'an 5:67.
4 Abu Dawud, 2:31 (quoted in Ignaz Goldziher, Muslim Studies, trans. C. R. Barber and
S. M. Stern, vol. 2 [New York: George
Allen & Unwin Ltd., 1971], 130).
5 Muqtedar Khan, “The Legacy of Prophet Muhammad and the Issues of
Pedophilia and Polygamy,” Ijtihad, June 9, 2003.
6 Al-Qastellani, X, 342 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 34).
7 An-Nasa'i, 1:143 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 34–35).
8 Kitab al-Kharaj, 43, 10; Muslim, 5:287;
ad-Darimi, 70; an-Nasa'i, 1:229; Ibn Maja, 18 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 37).
9 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri, Volume II: Qur'anic Commentary
and Tradition (Chicago:
University of
Chicago Press, 1967), 7–11. On the controversy
over writing down hadiths, see Michael Cook, “The Opponents of the Writing of
Traditions in Early Islam,” Arabica 44 (1977): 437–530.
10 Patricia Crone and Martin Hinds, God's Caliph:
Religious Authority in the First Centuries of Islam (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 62.
11 Al-Ya‘qubi, 2:264 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 38).
12 Safwat, Rasa'il, 2:177 (quoted in Crone and Hinds, God's Caliph, 62).
13 Crone and Hinds, God's Caliph, 64.
14 Ibid.
15 Abu Dawud, book 14, no. 2744; cf. Goldziher, Muslim Studies, 42.
16 Al-Khatib al-Baghdadi, fol. 84b, ed. Hyderabad, 309 (quoted in
Goldziher, Muslim Studies, 204–5).
17 Al-Khatib, Taqyid, 107 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 47).
18 As-Suyuti, Ta'rikh, 106, 22; 109, 17 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 106).
19 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 452; Tabari, The History of al-Tabari, trans. Michael Fishbein (Albany: State
University of
New York Press, 1997), vol. 8, 11.
20 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 452.
21 Tabari, The History of al-Tabari, vol. 8, 12.
22 Yaqut, 3:242f (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 122).
23 Ibn Maja, 102 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 45). On the value of a
prayer in Mecca, Medina, and Jerusalem, see M. J.
Kister, “You Shall Set Out for Three Mosques: A
Study of an Early Tradition,” Le Muséon 82 (1969): 173–96.
24 At-Tabari, vol. 2, 112 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 44).
25 Manaqib al-Ansar, no. 40; Riqaq, no. 51; Muslim, Iman, no. 360; Musnad Ahmad, vol. 3, 9, 50, 55 (quoted
in Goldziher, Muslim
Studies, 105).
26 Ibn Hajar, 1:59 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 110).
27 Quoted in Goldziher, Muslim Studies, 113.
28 Ad-Damiri, vol. 2, 400 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 114).
29 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 4, book 55, no. 2741; cf. Goldziher, Muslim Studies, 114.
30 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 5, book 62, no. 3675.
31 Ibid., no. 3677.
32 Agh., VII, 13 (quoted in
Goldziher, Muslim Studies, 118).
33 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 5, book 62, no. 3699.
34 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 514; cf. Goldziher, Muslim Studies, 120.
35 Agh., 19:54; Yaqut, 4:93
(quoted in Goldziher, Muslim Studies, 53–54).
36 Fragm. hist. arab., 198 (quoted in Goldziher,
Muslim Studies, 107).
37 Goldziher, Muslim Studies, 108.
38 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 1, book 4, no. 157.
39 Ibid., book 19, no. 158.
40 Ibid., no. 159.
41 Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, trans. Abdul Hamid Siddiqi (New Delhi: Kitab
Bhavan, 2000), book 23, no. 5017.
42 Ibid., no. 5023.
43 Ibid., book 19, no. 4320.
44 Ibid., no. 4321.
45 Al-Khatib al-Baghdadi, fol. 25b, ed. Hyderabad, 84 (quoted in
Goldziher, Muslim Studies, 55).
46 Agh., 9:45, 20 (quoted in
Goldziher, Muslim Studies, 63).
47 Sulaiman bin Al-Aash‘ath Al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abu Dawud,
English Translation with Explanatory Notes, trans. Ahmad
Hasan (New Delhi: Kitab Bhavan, 1990), v.
48 Muhammad Muhsin Khan, introduction to Bukhari, Sahih al-Bukhari, 18–19.
49 “Hadith & Sunnah,” www.islamonline.net.
50 Goldziher, Muslim Studies, 126–27.
51 Al-Jahiz, Bayan, fol. 114b (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 56).
52 Quoted in Goldziher, Muslim Studies, 127.
53 Al-Jahiz, Bayan, fol. 114b (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 56).
54 Ad-Darimi, 77 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 133).
55 Al-Amali: The
Dictations of Sheikh Al-Mufid, trans. Mulla Asgharali M. M. Jaffer (Middlesex, UK: World
Federation of Khoja
Shia Ithna-Asheri Muslim Communities, n.d.), 7.
56 Abu Abdullah Muhammad b. Yazid Ibn-i-Maja al-Qazwini, Sunan ibn-i-Majah, trans. Muhammad Tufail
Ansari (Lahore: Kazi
Publications, 1996), vol. 5, no. 4067.
57 Goldziher, Muslim Studies, 140–41.
58 Schacht, Origins of Muhammadan Jurisprudence, 166.
59 Ibid., 164.
60 Mohammad Mustafa Azami, Studies in Early
Hadith Literature: With a Critical Edition of Some Early Texts , third edition
(Oak Brook, IL: American Trust Publications,
1992).
61 Harald Motzki, “The Musannaf of ‘Abd al-Razzaq al-San‘ani as a Source of
Authentic ahadith of the First Century A.H.,”
Journal of Near Eastern
Studies 50 (1991): 16–20 (quoted in
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam [London:
Routledge, 2000], 37).
62 Motzki, “The Musannaf,” 2 (quoted in Berg, Development of Exegesis, 36).
63 Quoted in G. H. A. Juynboll, trans., “Muslim's Introduction to His
Sahih Translated and Annotated with an Excursus on the
Chronology of fitna and bid‘a,” Jerusalem Studies in
Arabic and Islam 5 (1984): 277 (quoted in Berg, Development of
Exegesis, 7).
64 Berg, Development of Exegesis, 28.
65 For an excellent discussion of this, see Ibn Warraq's delightful
imagined dialogue in The Quest for the Historical Muhammad,
38–43.
66 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 6, book 66, no. 5032.
67 Goldziher, Muslim Studies, 62.
68 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 547.