Thursday, 15 August 2013

Bab 3. MENGARANG-NGARANG MUHAMMAD (bag. 4 selesai)

Perkembangbiakan Pemalsuan

Namun, jika imam Bukhari dan Muslim harus bekerja keras untuk menyaring sejumlah kecil hadis yang sahih itu, ini berarti bahwa  ratusan ribu cerita tentang Muhammad entah seutuhnya tidak bisa dipercaya atau diragukan  keasliannya. Masalahnya sekarang berada di luar kemampuan mereka, atau kemampuan siapapun untuk mengendalikannya. Ignaz Goldziher, sejarawan perintis kritik atas hadis, mencatat bahwa “cara yang paling sederhana yang orang jujur lakukan untuk memerangi peningkatan pesat hadis-hadis palsu, disaat bersamaan,  menjadi fenomena luar biasa dalam sejarah dunia  sastra. Dengan niat saleh, pengarang-karangan satu hadis diperangi dengan pengarang-karangan hadis baru yang berseberangan, dimana hadis baru yang diselundupkan dan di mana penemuan hadis tidak sah dikutuk oleh kata-kata yang kuat yang diucapkan oleh Nabi.” [50] Muhammad dikabarkan pernah memperingatkan: “setelah kematianku, sejumlah ucapan yang dianggap diucapkan olehku akan meningkat seperti halnya ucapan-ucapan yang dianggap diucapkan oleh para nabi sebelumnya.” [51]

Dalam hadis lain ia bernubuat, “Kelak di kemudian hari di antara umatku, akan ada orang-orang yang mengajarkan apa yang baik kalian ataupun nenek moyangmu tidak pernah dengar.Waspadalah terhadap mereka.” Dan bahkan lebih kuat lagi: “Pada akhir zaman akan ada pemalsu, pembohong yang akan membawakan kepadamu hadis-hadis yang baik kalian maupun nenek moyangmu belum pernah dengar. Waspadalah terhadap mereka sehingga mereka tidak bisa menyesatkan kalian dan membawamu ke dalam pencobaan." [52]

Namun bagaimana seorang Muslim yang saleh mengetahui hadis yang asli dan yang palsu? Sebuah hadis mengutip Muhammad mengusulkan solusi: "Apapun yang dikatakan orang sebagai perkataan dariku, kalian harus membandingkannya dengan Kitab Allah (Al-Qur'an), dan apa yang sesuai dengan Al Qur’an, adalah sesuai dengan manusia, entah itu telah dikatakan olehku ataupun tidak.”  [53] Ibnu Abbas menambahkan kriteria lain, yakni ‘penerimaan komunitas’. “Jika Anda mendengar dari saya sebuah komunikasi yang menyertakan otoritas sang Nabi dan Anda menemukan bahwa hal itu tidak sesuai dengan Kitab Allah atau tidak disukai oleh orang-orang, ketahuilah bahwa saya telah melaporkan kebohongan tentang sang Nabi." [54]

Perhatikan bahwa dalam hadis-hadis ini bahwa tidak Muhammad dan tidak pula Ibnu Abbas dikabarkan pernah mengatakan bahwa umat Islam harus melakukan upaya hati-hati untuk menyaring ucapan otentik sang nabi Islam dari ucapan-ucapan yang dianggap tidak otentik. Sebaliknya, mereka hanya diminta untuk perlu menilai apakah ucapan yang diduga itu melawan Al-Qur'an atau tidak, dan mengikuti ucapan-ucapan yang tidak berlawanan dengan kitab suci mereka.  Sampai hari ini, salah satu kriteria yang Muslim lakukan untuk mengevaluasi hadis adalah seberapa baik ucapan-ucapan itu  sesuai dengan Al Qur'an. Mereka yang bertentangan dengan Al Qur’an akan ditolak. Itu adalah kriteria yang masuk akal, tetapi tidak membawa kita lebih dekat dengan apa yang sebenarnya Muhammad ucapkan dan lakukan.

Meskipun demikian, Bukhari dan kolektor hadis lainnya membuat usaha gagah berani. Mereka mengaku bisa membedakan materi asli tentang ucapan dan tindakan Muhammad dari hadis-hadis palsu hanya dengan memeriksa rantai perawi  / periwayat (isnad), yakni daftar orang-orang yang menyampaikan cerita tersebut dari jaman Muhammad sampai sekarang.  Ulama Islam mengkategorikan satu persatu kisah hadis berdasarkan rantai periwanya, sebagai “layak dipercaya”, “baik”, “lemah”, “palsu”, dst. Sebuah hadis dianggap layak dipercaya jika rantai periwayatnya memasukan prang-orang yang dipercaya dan diakui otoritasnya.

Sebuah contoh umum rantai periwayat yang kuat dicatat oleh ulama Suni Sheikh al-Mufid (Ibnu Muallim, 948-1022) jika ditelusuri bersumber kepada Ali. Al-Mufid berkata: “Abul Hasan Ali b. Muhammad b. Khalid al-Maythami melaporkan kepada saya dari Abu Bakr Muhammad b. al-Husain b. al-Mustanir, yang melaporkan dari al-Husain b. Muhammad b. al-Husain b. Masab, yang melaporkan dari Abbad b. Yakub, yang melaporkan dari Abu Abdil Rahman al-Masudi, dari Katsir al-Nawa, dari Abu Maryam al-Khawlani, dari Malik b. Dhamrah, bahwa Amir ul-Mukminin [pemimpin kaum beriman] Ali b. Abi Thalib (A.S.) mengatakan …....” [55]

Jika sebuah rantai periwayatan memasukan orang yang tidak dapat diandalkan atau rantai yang rusak, maka para ulama menganggap keaslian hadis tersebut diragukan. Bahkan Ibnu Maja mencatat bahwa salah satu hadis dianggap lemah “karena menyertakan Khalid bin Ubaid,” sebagai salah satu periwayatnya. Dia mengutip Bukhari mengatakan tentang Khalid: “Hadisnya masih bisa diperdebatkan”, dan menunjukkan bahwa dua otoritas Islam lainnya, Ibnu Hibban dan Hakim, “telah menyatakan bahwa ia menceritakan sesuatu yang maudu ahadith (tradisi yang mencurigakan)  tentang otoritas Anas.” [56]

Keandalan dari rantai isnad menentukan penggolongan keasliannya. Tidak peduli apakah sebuah hadis itu saling bertentangan atau tidak masuk akal tampakannya, asalkan rantai isnad yang jelas secara anomali, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, kisah tersebut tidak akan menghadapai hambatan untuk diterima sebagai “yang layak dipercaya”. [57] Bukhari dan Muslim, serta rekan-rekan mereka, juga cenderung mendukung tradisi yang mereka terima dari berbagai sumber, tapi kecenderungan ini hanya menunjukkan bahwa sebuah hadis tersebut telah beredar luas, bukan karena ia otentik.

Masalahnya adalah, jika hadis bisa dipalsukan, maka begitu pula rantai periwayatnya. Ada banyak indikasi bahwa rantai periwayatan itu sendiri dipalsukan dengan cara yang sama hadis-hadis itu diciptakan. Sarjana hukum Islam (fiqh), Joseph Schacht mencatat satu hadis anomali yang menunjukkan betapa serampangannya rantai periwayat /isnad itu dikarang. Dia menunjukkan bahwa abu-Syafi'i, seorang ahli fiqh terkenal  di awal abad kesembilan,  menggambarkan sebuah hadis tertentu sebagai mursal, yang berarti “terburu-buru”,  dan “umumnya tidak ditindaklanjuti.” Penjelasan Shafii menyiratkan bahwa hadis “tidak dikonfirmasi oleh versi manapun dengan isnad yang lengkap”, tandas Schacht. Namun ia melanjutkan bahwa hadis yang sama “muncul dengan isnad lengkap yang berbeda, dalam koleksi Ibnu Hanbal ... dan Ibnu Maja.” [58]

Schacht mencatat banyak contoh hadis dengan jelas dipalsukan atau isnad-nya diubah. Dia menunjukan tentang satu hadis yang disampaikan oleh Malik dalam Muwatta-nya. Malik mendengar dari Muhammad bin Abdulrahman bin Sad bin Zurara, yang mendengar dari salah satu istri Muhammad, Hafsa, bahwa suatu saat Hafsa membunuh salah satu budak perempuannya yang mempraktekkan ilmu sihir dan telah membacakan suatu  mantra pada dirinya. Di tempat lain kita belajar bahwa Malik mendengar dari Abul-Rijal Muhammad bin Abdalrahman bin Jariya, yang mendengar dari ibunya, Amra, bahwa salah satu dari istri Muhammad, Aisha, menjual salah satu budak perempuannya yang mempraktekkan ilmu gaib dan telah membacakan mantra pada dirinya. “Salah satu versi ini pastilah mencontek dari versi lainnya.” Schacht mencatat, “dan tidak satupun dari kisah itu bisa dianggap historis.” [59]



Namun, Apakah Semua Hadis itu Bisa Dipercaya?

Bahwa banyak hadis telah dipalsukan telah diakui oleh para sarjana baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. Namun bagi cendekiawan muslim Muhammad Mustafa Azami, keberadaan isnad yang jelas-jelas palsu itu sendiri baginya sudah cukup menentukan tingkat keandalan hadis yang selama ini dianggap otentik. [60]  Lagi pula, menurutnya, jika isnad (rantai periwayatan) itu dipalsukan, mengapa sang pemalsu menopang karyanya dengan rantai periwayatan yang tidak memuaskan? Jika seluruh kisah itu semata-mata hanyalah fiksi dan dibuat karena alasan politik, mengapa tradisi itu tidak ditujukan kepada siapapun selain orang-orang yang dihormati dalam masyarakat Islam, dan menyampaikan ucapan Muhammad dalam rantai yang tak terputus dan jelas dapat diandalkan? Tetapi argumen Azami segera terpatahkan akan adanya fakta bahwa hadis memang diproduksi oleh faksi-faksi yang bersaing, dan pepatah lama bahwa ‘sejarah ditulis oleh kaum pemenang‘ ternyata berlaku: Jika sebuah hadis terkenal tidak mempromosikan perspektif yang menguntungkan putusan kelompok yang berkuasa, maka mengubah isnad adalah cara mudah untuk meragukan keasliannya. Selain itu, para periwayat yang satu faksi anggap handal dan saleh dapat dianggap sebagai jahat dan pengarang-ngarang hadis oleh fraksi lain.

Sarjana kontemporer, Harald Motzki, juga telah menantang idea bahwa Hadis secara keseluruhan tidak dapat diandalkan. Dia menunjuk pada hadis yang dikumpulkan oleh sarjana Abd ar-Razzaq (744 - 826) yang selama ini dianggap sebagai bukti bahwa hadis tersebut sudah beredar setidaknya di awal abad kedelapan. Tapi sebenarnya, Abd ar-Razzaq melakukan sebagian besar karyanya menjelang akhir abad delapan. [61] Seperti halnya Azami, Motzki juga memperlihatkan adanya keberadaan isnad-isnad meragukan yang mengklaim bahwa hadis-hadis lainnya pastilah  otentik. Dia mencatat bahwa Abd ar-Razzaq terkadang mengalamatkan sumber-sumber hadis yang dia anggap keandalan diragukan, dan bahkan menyajikan hadis dengan tanpa sumber yang dikenal. Jika hadis sedang diproduksi secara besar-besaran dan dilengkapi dengan isnad mengesankan, mengapa bahkan ada hadis dengan atribusi yang lemah, atau tidak ada atribusi sama sekali?[62]

Namun demikian, ada alasan kuat untuk mempertanyakan ketergantungan pada isnad sebagai panduan terhadap keaslian hadis. Para isnad sendiri tidak pernah muncul sampai hadis-hadis mulai beredar. Tradisi Islam menceritakan sebuah kisah tentang para isnad kepada Muhammad bin Sirin, seorang sarjana Qur'an abad kedelapan yang juga terkenal sebagai penafsir mimpi di Irak. Sebagai pengumpul hadis, ia berkata, “Kita tidak terbiasa mempertanyakan  isnad, tetapi ketika fitna ( perang sipil) terjadi mereka berkata: “beritahu kami para informan kalian.” [63]  

Fitna (perang sipil) biasanya dipahami sebagai rujukan tentang kerusuhan yang diikuti pembunuhan khalifah Usman di tahun 656-lebih dari tiga puluh tahun setelah kematian Muhammad, sang tokoh utama dari semua hadis. Pun demikian menurut tradisi Islam, untuk jangka waktu yang cukup panjang hadis-hadis telah beredar tanpa isnad. Sangat naïf untuk membayangkan bahwa tiga puluh tahun setelah kematian Muhammad, kaum Muslim masih bisa mengingat dengan persis siapa di antara para sahabat nabi yang bertanggung jawab dalam mentransmisikan ribuan cerita tentang Muhammad.

Secara signifikan, penggunaan isnad nampaknya menjadi suatu kewajiban di awal tahun 700 an - sekitar waktu awal Abd al-Malik dan Hajjaj bin Yusuf, atau segera setelah itu. [64]

Bahkan gagasan bahwa isnad merupakan indikasi keaslian bertumpu pada fondasi yang goyah. Siapapun yang telah memainkan permainan anak-anak seperti halnya “kata berkait”, yang melibatkan sebuah kalimat panjang yang disampaikan oleh sipembisik pertama kepada beberapa temannya dan kemudian si penerima kalimat terakhir dibandingkan dengan yang asli, akan tahu bagaimana tidak bisa diandalkannya tradisi lisan itu. [65]  Jika Muhammad benar-benar pernah memperingatkan umat Islam agar mereka “harus terus membaca Al-Qur'an karena ayat-ayat Qur’an bisa mudah lolos dari hati manusia lebih cepat daripada unta lepas dari tali ikatan,” tidakkah akan terjadi kecenderungan yang sama berlaku meskipun pada hadis? [66]

Yang pasti, bangsa Arab memiliki sebuah kebiasaan menghapalkan puisi, dan menghapalkan teks-teks Islam akan sesuai dengan kebiasaan itu. Hal ini juga terjadi di jaman Yunani kuno dimana para penyair secara terlatih membacakan kisah Iliad dan Odyssey di luar kepala. Tetapi periwayat asli dari hadis bukanlah penyair terlatih atau pujangga, mereka hanya sahabat Muhammad yang melihatnya melakukan atau mengatakan sesuatu pada saat tertentu. Terlebih lagi, Hadis jauh lebih banyak jumlahnya daripada epos kuno Yunani yang para penyairnya mampu ingat. Namun kisah-kisah kanonik asal Islam mengasumsikan bahwa para Sahabat Muhammad memiliki ingatan keseluruhan akan ucapan dan tindakan sang nabi, dan bahwa mereka meneruskannya dengan ketelitian tentang apa yang mereka lihat dan dengar dari ribuan insiden.

Lebih jauh lagi tradisi kanonik mengasumsikan bahwa para periwayat  berikutnya menerapkan kehati-hatian yang sama selama beberapa dekade, menyampaikan tradisi ini tanpa embel-embel, klarifikasi, atau perubahan apapun sampai hadis-hadis tersebut akhirnya dikumpulkan dan ditulis pada abad kesembilan.

Jarang sekali, jikapun memang pernah ada , suatu ingatan seperti itu didokumentasikan.


Apa Yang Sebenarnya Muhammad Ucapkan dan Lakukan?

Pada akhirnya, adalah mustahil untuk mengatakan benar tidaknya Muhammad sendiri yang mengatakan ini dan itu atau melakukan ini dan itu sesuai dengan yang dikisahkan oleh salah satu hadis manapun, atau bahkan jika Muhammad pernah ada sama sekali.

Kita telah melihat bahwa Dinasti Abbasiyah dalam skala besar telah mensponsori perkembang-biakan hadis dan akhirnya pengumpulan hadis nabi. Hal ini sesuai dengan strategi oposisi mereka terhadap Bani Umayyah pada tataran keagamaan. Ignaz Goldziher mengamati bahwa dinasti Abbasiyah menggulingkan dinasti Umayyah karena yang Ummayah dianggap “tidak bertuhan dan menentang agama.” Bani Abbasiyah, yang dipimpin oleh jenderal Abu Muslim, sebagaimana Goldziher tuliskan, adalah "pria dengan 'gada untuk kaum kafir”  untuk bangkit melawan Bani Umayyah terutama untuk membangun "pilar din [agama]." [67]

Di sisi lain, mungkin bahwa tuduhan pendosa yang  ditujukan pada Bani Umayyah hanyalah polemik Abbasiyah belaka, hal ini dimaksudkan untuk mendiskreditkan saingan besar mereka , bani Ummayah. Lagi pula, adalah sangat aneh bahwa Bani Umayyah, yang mengambil alih kekhalifahan di tahun 661, setelah pembunuhan Ali, menjadi begitu terkenal karena irrelijiusitas mereka. Pada kenyataannya mereka mengambil alih kekuasaan kurang dari tiga dekade setelah kematian nabi Islam, dan di antara mereka diduga banyak yang mengenalnya Muhammad secara pribadi dan mencintainya di atas semua makhluk. Muawiyah, khalifah Umayyah pertama, adalah sepupu dari khalifah Usman, yang dipercayakan untuk melakukan standardisasi teks Al-Qur'an. Apakah benar-benar masuk akal bahwa Bani Umayyah membuang dasar agamanya  Muhammad begitu cepat setelah ia memberikannya kepada mereka? Mengapa masyarakat Islam begitu cepat jatuh ke tangan penguasa yang begitu sedikit rasa kepedulian pada prinsip dasar pengorganisasian dan alasan keberadaan mereka sendiri?

Hal ini dimungkinkan karena adanya pergolakan di sebuah era kekerasan, dan dari agama yang menyetujui kekerasan tersebut. Lagi pula Muawiyah adalah anak dari Abu Sufyan, kepala suku Quraisy yang (menurut tradisi Islam) pernah berperang melawan  Muhammad dan akhirnya dengan enggan memeluk Islam hanya karena hanya ia akhirnya dikalahkan. Ketika bertemu dengan pemimpin yg baru ia kalahkan, Muhammad bertanya, “Celakalah kamu, Abu Sufyan, bukan sekarang waktunya kamu mengakui bahwa aku Rasul Allah?” Abu Sufyan menjawab, “Terhadap hal itu aku masih memiliki beberapa keraguan.” Sahabat Muhammad, Abbas, nenek moyang dari Abbasiyah, tidak memiliki keraguan akan hal itu. Dia berkata kepada Abu Sufyan: “Menyerahlah dan bersaksilah bahwa tidak ada Ilah lain selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah sebelum engkau kehilangan kepalamu.” Mau tak mau Abu Sufyan akhirnya taat.  [68]

Dalam terang pemahaman semua ini, tidaklah mengherankan untuk mempertanyakan komitmen Muawiyah kepada Islam. Kemudian lagi, ada hadis yang mengatakan bahwa ia benar-benar menjadi sangat taat dan bahkan menjabat sebagai juru tulis Muhammad. Hadis tentang Abu Sufyan bisa jadi merupakan produk polemik di masa Abbasiyah.

Bahkan jika Muawiyah bukan seorang yang taat, sulit untuk membayangkan bahwa ia akan mewariskan sifat irrelijiusnya kepada penerusnya, yang kemudian para penerusnya ini memerintah umat Islam selama lebih dari seratus tahun, menurut catatan-catatan standar, mereka terinspirasi oleh kata-kata dalam Qur 'an dan prilaku hidup Muhammad. Mungkin apa yang tradisi Islam gambarkan  sebagai sikap tak beragamanya dinasti Umayyah hanya bisa mencerminkan waktu (periode awal Umayyah) ketika ucapan dan prilaku Muhammad dan juga teks-teks Qur’an belum dibakukan.

Ketidakandalan hadis-hadis menjadikannya sungguh tidak mungkin untuk mengetahui apapun secara pasti tentang Muhammad. Keragu-raguan yang lebih mendalam justru muncul, sebagaimana kita akan segera lihat, hanya ada bukti yang samar tentang keberadaan Mekkah sebagai pusat perdagangan dan ziarah spiritual yang dianggap ada di jaman Muhammad. Namun di abad delapan, biografi sang Nabi Islam baru muncul. Dan dalam buku itu, dikombinasikan dengan permulaan usaha pengumpulan hadis-hadis carut-marut yang bertebaran, memunculkan momen yang tepat: sosok samar dan misterius sang nabi Islam mulai bergerak lebih meyakinkan menjadi “penuh dengan terang sejarah.”


Catatan:

1 Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari: The Translation of the Meanings, trans. Muhammad M. Khan (Riyadh:
Darussalam, 1997), vol. 6, book 65, no. 4584.
2 Asbab Al-Nuzul by Al-Wahidi, trans. Mokrane Guezzou, on Qur'an 2:44, http://www.altafsir.com/AsbabAlnuzol.asp?
SoraName=2&Ayah=44&search =yes&img=A.
3 Al-Wahidi, on Qur'an 5:67.
4 Abu Dawud, 2:31 (quoted in Ignaz Goldziher, Muslim Studies, trans. C. R. Barber and S. M. Stern, vol. 2 [New York: George
Allen & Unwin Ltd., 1971], 130).
5 Muqtedar Khan, “The Legacy of Prophet Muhammad and the Issues of Pedophilia and Polygamy,” Ijtihad, June 9, 2003.
6 Al-Qastellani, X, 342 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 34).
7 An-Nasa'i, 1:143 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 34–35).
8 Kitab al-Kharaj, 43, 10; Muslim, 5:287; ad-Darimi, 70; an-Nasa'i, 1:229; Ibn Maja, 18 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 37).
9 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri, Volume II: Qur'anic Commentary and Tradition (Chicago: University of
Chicago Press, 1967), 7–11. On the controversy over writing down hadiths, see Michael Cook, “The Opponents of the Writing of
Traditions in Early Islam,” Arabica 44 (1977): 437–530.
10 Patricia Crone and Martin Hinds, God's Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 62.
11 Al-Ya‘qubi, 2:264 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 38).
12 Safwat, Rasa'il, 2:177 (quoted in Crone and Hinds, God's Caliph, 62).
13 Crone and Hinds, God's Caliph, 64.
14 Ibid.
15 Abu Dawud, book 14, no. 2744; cf. Goldziher, Muslim Studies, 42.
16 Al-Khatib al-Baghdadi, fol. 84b, ed. Hyderabad, 309 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 204–5).
17 Al-Khatib, Taqyid, 107 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 47).
18 As-Suyuti, Ta'rikh, 106, 22; 109, 17 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 106).
19 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 452; Tabari, The History of al-Tabari, trans. Michael Fishbein (Albany: State University of
New York Press, 1997), vol. 8, 11.
20 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 452.
21 Tabari, The History of al-Tabari, vol. 8, 12.
22 Yaqut, 3:242f (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 122).
23 Ibn Maja, 102 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 45). On the value of a prayer in Mecca, Medina, and Jerusalem, see M. J.
Kister, “You Shall Set Out for Three Mosques: A Study of an Early Tradition,” Le Muséon 82 (1969): 173–96.
24 At-Tabari, vol. 2, 112 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 44).
25 Manaqib al-Ansar, no. 40; Riqaq, no. 51; Muslim, Iman, no. 360; Musnad Ahmad, vol. 3, 9, 50, 55 (quoted in Goldziher, Muslim
Studies, 105).
26 Ibn Hajar, 1:59 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 110).
27 Quoted in Goldziher, Muslim Studies, 113.
28 Ad-Damiri, vol. 2, 400 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 114).
29 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 4, book 55, no. 2741; cf. Goldziher, Muslim Studies, 114.
30 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 5, book 62, no. 3675.
31 Ibid., no. 3677.
32 Agh., VII, 13 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 118).
33 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 5, book 62, no. 3699.
34 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 514; cf. Goldziher, Muslim Studies, 120.
35 Agh., 19:54; Yaqut, 4:93 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 53–54).
36 Fragm. hist. arab., 198 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 107).
37 Goldziher, Muslim Studies, 108.
38 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 1, book 4, no. 157.
39 Ibid., book 19, no. 158.
40 Ibid., no. 159.
41 Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, trans. Abdul Hamid Siddiqi (New Delhi: Kitab Bhavan, 2000), book 23, no. 5017.
42 Ibid., no. 5023.
43 Ibid., book 19, no. 4320.
44 Ibid., no. 4321.
45 Al-Khatib al-Baghdadi, fol. 25b, ed. Hyderabad, 84 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 55).
46 Agh., 9:45, 20 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 63).
47 Sulaiman bin Al-Aash‘ath Al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, English Translation with Explanatory Notes, trans. Ahmad
Hasan (New Delhi: Kitab Bhavan, 1990), v.
48 Muhammad Muhsin Khan, introduction to Bukhari, Sahih al-Bukhari, 18–19.
49 “Hadith & Sunnah,” www.islamonline.net.
50 Goldziher, Muslim Studies, 126–27.
51 Al-Jahiz, Bayan, fol. 114b (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 56).
52 Quoted in Goldziher, Muslim Studies, 127.
53 Al-Jahiz, Bayan, fol. 114b (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 56).
54 Ad-Darimi, 77 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 133).
55 Al-Amali: The Dictations of Sheikh Al-Mufid, trans. Mulla Asgharali M. M. Jaffer (Middlesex, UK: World Federation of Khoja
Shia Ithna-Asheri Muslim Communities, n.d.), 7.
56 Abu Abdullah Muhammad b. Yazid Ibn-i-Maja al-Qazwini, Sunan ibn-i-Majah, trans. Muhammad Tufail Ansari (Lahore: Kazi
Publications, 1996), vol. 5, no. 4067.
57 Goldziher, Muslim Studies, 140–41.
58 Schacht, Origins of Muhammadan Jurisprudence, 166.
59 Ibid., 164.
60 Mohammad Mustafa Azami, Studies in Early Hadith Literature: With a Critical Edition of Some Early Texts , third edition
(Oak Brook, IL: American Trust Publications, 1992).
61 Harald Motzki, “The Musannaf of ‘Abd al-Razzaq al-San‘ani as a Source of Authentic ahadith of the First Century A.H.,”
Journal of Near Eastern Studies 50 (1991): 16–20 (quoted in Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam [London:
Routledge, 2000], 37).
62 Motzki, “The Musannaf,” 2 (quoted in Berg, Development of Exegesis, 36).
63 Quoted in G. H. A. Juynboll, trans., “Muslim's Introduction to His Sahih Translated and Annotated with an Excursus on the
Chronology of fitna and bid‘a,” Jerusalem Studies in Arabic and Islam 5 (1984): 277 (quoted in Berg, Development of Exegesis, 7).
64 Berg, Development of Exegesis, 28.
65 For an excellent discussion of this, see Ibn Warraq's delightful imagined dialogue in The Quest for the Historical Muhammad,
38–43.
66 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 6, book 66, no. 5032.
67 Goldziher, Muslim Studies, 62.

68 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 547.

Bab 3. MENGARANG-NGARANG MUHAMMAD (bag. 3)

Faksionalisme dan Hadis

Terkadang hadis dikarang dalam rangka untuk mendukung salah satu pihak diantara faksi-faksi Muslim awal. Khalifah Muawiyah yang menggantikan  Ali bin Abu Talib, anak menantu Muhammad, yang juga Kalifah terakhir dari Kalifah al Rasyidun, dan Husain, putra Ali yang terpilih untuk menggantikannya, dan Muawiyah terus berjuang melawan kelompok yang baru lahir ini, yaitu kaum Ali , yang akhirnya menjadi kelompok Syiah. Muawiya dihadirkan dalam sebuah hadis ketika ia memberi perintah seorang kepala tentaranya, al-Mughira: "Janganlah engkau bosan menyesah dan menghina Ali dan menyerukan sifat murah hati Allah bagi Usman [Kalifah yang digantikan oleh Ali, dan juga sepupu Muawiyah], dan memfitnah para sahabat Ali, singkirkan mereka dan abaikan perkataan mereka. Dan sebaliknya pujilah klan Usman, dekaplah mereka dan dengarkanlah mereka.” [24] Oleh karena itu, muncullah sebuah Hadis dimana Muhammad menyatakan bahwa ayah Ali, yang juga wali Muhammad, Abu Thalib, terbakar di neraka: “mungkin doa syafaatku akan berguna baginya di hari kebangkitan, sehingga ia dapat dipindahkan ke dalam kolam api yang mencapai sampai pergelangan kaki, tetapi masih cukup panas untuk membakar otaknya.” [25]

Sebaliknya kelompok Ali menuliskan bahwa Muhammad-lah yang menunjuk Ali sebagai penjamin pemahaman yang benar atas kitab suci umat Islam: “Aku pergi berperang bagi pengakuan Quran, dan Ali akan berjuang bagi penafsiran quran.” [26] Dalam hadis lain yang disukai kaum Syiah, Muhammad menyatakan, “Mereka yang mengetahui guru dari siapakah aku, maka mereka akan menjadi murid-murid Ali.” lalu Muhammad mengambil tangannya dan berdoa, “Ya Allah, lindungi dia yang mengakui Ali dan jadilah Engkau musuh bagi semua yang menentang Ali.”  Mendengar itu, Umar (yang kemudian menjadi khalifah, setelah kematian Abu Bakar pada tahun 634), berkata kepada Ali: “Semoga engkau beruntung, putra Abu Thalib, sejak saat ini engkau  ditunjuk sebagai penguasa atas semua pria dan wanita Muslim.” [27] Di hadis lain yang pro-Ali, Muhammad berseru ke salah satu sahabatnya: “Oh Anas! Adakah orang lain di antara kaum Anshar  yang lebih baik dari atau lebih cakap dari Ali?” [28] Kaum Ansar, atau ‘para penolong’ adalah orang-orang Madinah yang telah masuk Islam setelah Muhammad hijrah ke sana dari Mekah, dua belas tahun setelah karirnya sebagai seorang nabi.

Kaum Ummayah berbalik melawan dengan mengarang-ngarang hadis baru berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Menurut Aisha, (salah satu istri favorit nabi, yang membenci Ali karena ia pernah menghasut Muhammad untuk menceraikan Aisha dan mengambil istri yang baru ketika Aisha dituduh berselingkuh) ia diberitahu setelah kematian sang nabi bahwa Muhammad menunjuk Ali sebagai penggantinya dalam suatu surat waris. Aisha bereaksi keras: “Kapan Muhammad mengangkat dia lewat surat waris? Sesungguhnya, ketika ia mati ia berbaring dalam dadaku (atau katakanlah: dalam pangkuanku) dan ia meminta baskom untuk mencuci wajah dan jatuh terkulai pada saat itu, dan aku bahkan tidak menyangka ia telah meninggal, jadi kapan Muhammad mengangkat dia lewat surat waris?” [29]

Dalam sebuah hadis lainnya, Muhammad memuji tiga laki-laki yang akan segera menggantikannya: Abu Bakar, Umar dan Usman, masing-masing darinya dipilih sebagai Kalifah dan bukannya Ali. Setelah Muhammad memanjat gunung Uhud dengan tiga penggantinya, gunung itu mulai goncang dan ia berbicara: “Tenanglah, oh gunung Uhud, sebab bagimu ada tiga orang lain yang melebihi seorang nabi, seorang Siddiq dan dua orang syuhada.” [30] Siddiq, atau “yang benar” adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang benar-benar dapat dipercaya.

Kaum Ummayah bahkan menuliskan bahwa Ali mengucapkan kata-kata yang memuji dua pesaingnya sebagai sahabat terdekat Muhammad. Dalam sebuah hadis, Ibnu Abbas mengingat:
Pada saat aku sedang berdiri di antara orang-orang yang berdoa kepada Allah bagi Umar bin Al-Khattab yang tengah sakratul di tempat tidurnya, seorang laki-laki dibelakangku meletakan sikunya di pundakku dan berseru, “ (O Umar!) Semoga Allah melimpahkan ampunan kepadaku. Aku selalu berharap bahwa Allah akan menjagamu bersama dengan dua sahabat lainnya, sebab aku sering mendengar Rasul Allah berkata, ‘Aku, Abu Bakar dan Umar berada di suatu tempat. Aku, Abu Bakar dan Umar melakukan sesuatu. Aku, Abu Bakar dan Umar pergi ke suatu tempat.’ Jadi aku berharap Allah akan menjagamu bersama kedua orang lainnya.” Aku (Ibnu Abbas) berpaling untuk melihat siapa yang berbicara tersebut, dan ia ternyata Ali bin Abi Talib. [31]    

Para pendukung Ali mengejek Usman karena telah melarikan diri selama beberapa pertempuran awal Muslim. Salah satu pengikut Ali mengejek Usman dalam ayat: “Engkau boleh menuduh aku dosa yang lebih parah dari pada dia yang lari terbirit-birit dari Khaybar. Aku sebut dia yang lari dari Marhab bagaikan seekor keledai yang lari dari singa.” [32]

Usman berkelit dari situasi ini dengan mengacu pada kata-kata Muhammad. Salah satu hadis menceritakan kisah seorang Mesir yang telah datang ke Mekkah untuk haji dan meminta seorang Muslim tua, Abdullah bin Umar, putra khalifah kedua: “Apakah Anda tahu bahwa Usman berhasil melarikan diri di hari perang Uhud?” Ketika Ibnu Umar mengatakan bahwa ya, dia tahu itu, orang Mesir itu ternyata memiliki sesuatu yang lebih: “Apakah Anda tahu bahwa Usman tidak hadir pada hari (perang) Badar dan ia tidak bergabung?”

Ketika Ibnu Umar kembali mengatakan ya, orang Mesir itu kembali dengan pertanyaan ketiga: “Apakah Anda tahu bahwa ia gagal untuk menghadiri perjanjian Ar-Ridwan dan tidak menyaksikan janji itu?” Janji ini adalah sebuah deklarasi kesetiaan kepada Muhammad yang para sahabatnya terdekatnya buat setelah nabi Islam menyimpulkan sebuah perjanjian dengan kaum Quraish pagan; perjanjian Hudaibiya, seperti yang dikenal dalam tradisi Islam, adalah merugikan pihak Muslim, khususnya dalam berbagai hal.

Untuk ketiga kalinya, Ibnu Umar berkata, “Ya.” Kemudian orang Mesir itu menjawab, “Allahu akbar!”- Dalam hal ini, sebuah ekspresi marah dan cemas. Kemudian Ibnu Umar menjelaskan dengan mengatakan bahwa Allah “memaafkan” Usman karena absen dari Uhud, meskipun ia tidak menjelaskan ketidakhadirannya. Adapun tentang perang Badar, Ibnu Umar mengatakan bahwa Usman tidak ada di sana karena ia menaati Muhammad: “Putri Rasulullah adalah istrinya dan dia sakit saat itu. Rasul Allah berkata kepadanya, ‘Anda akan menerima pahala dan bagian (barang jarahan) yang saa sebagai salah satu dari mereka yang berpartisipasi dalam perang Badar (jika Anda tinggal dengan Aisyah).’” Akhirnya, Ibnu Umar menjelaskan ketidakhadiran Usman pada saat Perjanjian Kesetiaan Ar-Ridwan dengan mengatakan bahwa Muhammad mengirim Usman ke tempat lain, dan “seandainya  ada orang di Mekah yang lebih terhormat daripada Usman (yang akan dikirim sebagai wakil), Rasul Allah akan mengirim dia bukannya Usman.” Pada kenyataannya, pada saat Usman tidak hadir, Muhammad “mengulurkan tangan kanannya dan berkata, 'ini adalah tangan Usman." Dia mengelus tangan ainnya dengan tangan yang tadi dan berkata,’ Ini (janji setia) adalah atas nama Usman.’” Ibnu Umar menceritakan kepada orang Mesir itu: “Ingatlah alasan-alasan ini dalam pikiranmu.” [33]

Kisah ini tidak hanya membebaskan Usman dengan melibatkan Muhammad sendiri, tetapi juga meninggikan Usman melampaui semua saingannya sebagai “yang lebih terhormat,” dan bahkan menunjukkan Muhammad bertindak sebagai kuasanya. Bagaimana, kemudian, orang bisa mendukung klaim Ali sebagai Khalifah di atas Usman? Demikianlah, setidaknya sampai kelompok Ali menemukan hadis lain yang mendukung ia sebagai pemenangnya. Hadis ini menjelaskan pengepungan oasis Khaybar, permukiman Yahudi terakhir di Arab setelah Muhammad (menurut hadis lain masih) mengasingkan dua dari tiga suku Yahudi Madinah dan membantai yang ketiga. Muhammad mengirimkan Abu Bakar, Umar, Usman dan-sini lagi, tiga khalifah pertama dan saingan Ali, secara bergiliran menyerang salah satu benteng Khaybar, tetapi mereka tidak dapat memenangkannya. Ketika ia mengirimkan Usman, Muhammad ingat akan reputasi Usman yang pengecut, dan menyemangatinya: “Besok aku akan memberikan bendera kepada seorang pria yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan menaklukkan musuh dengan cara-Nya,. Ia tidak melarikan diri” Tetapi bahkan Usman gagal, sehingga Muhammad memanggil Ali, menyembuhkan dia secara ajaib dari penyakit mata, dan mengirimkan dia untuk menaklukan benteng tersebut. Ali, tentu saja, berhasil. [34]

Berbagai faksi Islam menggelontorkan hadis-hadis yang membela pemimpin mereka atau menyerang orang-orang dari lawan-lawan mereka. Kaum Umayyah menciptakan hadis yang membela gubernur Umayyah di Irak, Khalid al-Qasri (w.743), yang dibenci oleh para  Muslim saleh karena kebrutalannya dalam pemerintahan. Khalid dibebaskan dalam sebuah hadis dimana Muhammad dibuat untuk mengatakan, “Ya Allah, biarkan kemenanganmu dan kemenangan agama-Mu terjadi melalui keturunan Asad bin Kurz,” yakni nenek moyang dari Khalid. [35] Namun  para penentang Bani Umayyah menciptakan hadis dimana Nabi Muhammad meremehkan Khalifah al-Walid (705-715). Dalam hadis tersebut, Muhammad bertemu seorang pria yang baru saja menamai anaknya yang baru lahir al-Walid: “Engkau menamai anak-anakmu dengan nama Firaun. Sesungguhnya, seorang pria dengan nama al-Walid akan datang dan  akan menimbulkan cedera yang lebih besar pada komunitasku dari pada yang sebelumnya Firaun kenakan kepada kaumnya.” [36] Kelak seorang periwa dari hadis ini mencatat bahwa sementara hadis ini awalnya diyakini merujuk pada al-Walid I, setelah al-Walid II (743-744) mulai melakukan kekejaman sendiri, mulailah hadis ini ditafsirkan bahwa Muhammad sebenarnya mengacu al-Walid II. [37]


Penuh Dengan Kontradiksi

Tak pelak lagi bahwa konsekuensi dari semua ini adalah kebingungan semata. Karena pihak yang bertikai mengarang-ngarang semua hadis yang mendukung posisi mereka, maka hadis menjadi  penuh dengan kontradiksi. Banyak dari hadis, tetapi tidak berarti semuanya, berisi perbedaan-perbedaan dalam praktek ritual Islam, mungkin mencerminkan variasi regional. Misalnya, di antara hadis-hadis yang disusun oleh seorang imam terkenal di abad 9, Imam Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, ada salah satu catatan, yang menurut Ibnu Abbas, “Nabi melakukan wudhu dengan mencuci bagian tubuh hanya sekali.” [38] Tetapi Bukhari sendiri melaporkan bahwa Sahabat lain dari Muhammad, Abdullah bin Zaid, mengatakan bahwa “Nabi melakukan wudhu dengan mencuci bagian tubuhnya dua kali.” [39]  Namun hadis lain yang dikumpulkan oleh Bukhari sendir mengisahkan Muhammad memuji Usman yang melakukan wudhu tidak sekali atau dua kali tetapi tiga kali, dengan mengatakan bahwa jika dia seperti itu sambil menghindari gangguan, “dosa-dosa di masa lalunya akan diampuni.” [40]  Bukhari menempatkan ketiga hadis tersebut bersama-sama tanpa komentar atau upaya harmonisasi.

Dalam sebuah hadis lain yang ditulis oleh seorang imam abad kesembilan, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, kita diberitahu bahwa Muhammad “menolak minum air sambil berdiri.” [41] Namun Muslim juga melaporkan bahwa ketika Ibnu Abbas memberi Muhammad air suci dari sumur Zamzam di Mekah, Muhammad-yang perilakunya selalu jadi teladan bagi umat Islam –“meminumnya sambil berdiri.” [42]   

Seorang apologis Islam kontemporer menunjukan sebuah hadis di mana Muhammad “melarang pembunuhan perempuan dan anak-anak” sebagai bukti kemanusiaan dari hukum Islam tentang peperangan,hal mana tidak biasa untuk jaman itu. [43]  Namun segera setelah mengikuti larangan tersebut, Muslim memasukan hadis lain di mana Muhammad, “ketika ditanya tentang para wanita dan anak-anak kaum musyrik yang mati dibunuh dalam suatu penyerangan malam hari, ia berkata, ‘Mereka (para perempuan dan anak-anak) adalah bagian dari mereka (kaum Musyrikun).’” [43]   Dengan kata lain, anak-anak kaum musyrik adalah bagian kaum musyrik dan layak untuk berbagi nasib yang sama, yakni dibunuh. Kontradiksi lain melibatkan rincian kehidupan Muhammad sendiri, skema eskatologis Islam, dan banyak lagi. Akibatnya, seorang sarjana abad kesembilan Asim an-Nabil (w. 827) mengangkat tangannya dalam keputusasaan : “Aku telah sampai pada kesimpulan bahwa seorang saleh tidak akan pernah begitu siap untuk berbohong seperti halnya dalam hadis.” [45]    



Pengumpulan dan Kodefikasi Hadis

Otoritas Islam menyadari bahwa suatu upaya harus dilakukan untuk keluar dari semua kekacauan ini. Di  paruh akhir abad kedelapan, Bani Abbasiyah memulai pengumpulan dan kodifikasi Hadis. Dengan demikian mereka secara eksponensial memperluas pengetahuan spesifik tentang apa yang nabi Islam telah perintahkan dan kecam, apa yang ia setujui dan ia tolak. Penyair Marwan bin Abi Hafsa tentu saja memuliakan khalifah Abbasiyah Muhammad bin Mansur al-Mahdi (775 -785) dari dinasti Abbasiah dengan menuliskan: “Sang amirul  Mukminin [pemimpin kaum beriman], Muhammad [yakni Muhamad bin Mansur al-Mahdi] telah menghidupkan kembali sunnah Nabi berkaitan dengan apa yang diijinkan, apa yang dilarang.” [46]

Upaya besar ini berbuah penuh di abad berikutnya, dengan munculnya enam koleksi Hadis yang paling penting, yang mana tidak ada satupun dari keenam kumpulan hadis itu yang berasal dari dua abad pertama sejak kematian Muhammad. Bersama-sama keenam kumpulan hadis ini dikenal sebagai as-Sahih as-Sittah: yang otentik dan dapat dipercaya (sahih berarti “benar” atau “bisa diandalkan”). Ini termasuk Sahih Bukhari,, dalam rangka pentingnya reputasi untuk dianggap sebagai yang andal atau bisa dipercayai. Sahih Bukhari dianggap sebagai koleksi hadis yang paling dihormati dan berwibawa, yang disusun oleh Bukhari (810-870), Sahih Muslim, Muslim bin al-Hajjaj (821-875), Hadis oleh Sunan Abu Dawud as-Sijistani (818-889); As-Sunan as-Sughra oleh Ahmad bin an-Nasai Shuayb (829-915), Jami oleh Abu Isa Muhammad At-Tirmidzi (824-892), dan Sunan oleh Muhammad Ibnu Maja (824-887).

Meskipun kaum Muslim menganggap Hadis koleksi Bukhari dan Muslim yang paling dapat dipercaya, namun koleksi hadis lain juga tetap dihormati. Abu Dawud as-Sijistani, misalnya, dilaporkan melakukan perjalanan ke Saudi, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Iran, dan ke tempat-tempat lain guna mengumpulkan hadis. Seorang imam yang dihormati, Zakariya bin Yahya as-Saji, menyatakan: “ Al Qur'an adalah dasar dari Islam dan Sunan Abu Dawud adalah tiangnya.” Imam lain, Ibnu al-Arabi, menambahkan: “Tidak perlu pengenalan pengetahuan apa pun setelah memperoleh pengetahuan tentang Al-Qur'an dan Sunan Abu Dawud.” [47]

Koleksi hadis yang paling dihormati, Hadis Bukhari, dimulai dengan mimpi, menurut Dr Muhammad Muhsin Khan, seorang sarjana Islam Saudi dan penerjemah Qur'an penerjemah. Dr Khan menulis bahwa Bukhari bermimpi ia “sedang berdiri” di depan Nabi Muhammad dan ia sedang memegang kipas angin di tangannya untuk mengusir lalat dari  sang Nabi.” Imam Bukhari menafsirkan mimpi ini sebagai tanda ilahi bahwa ia akan “mengusir kepalsuan yang disisipkan dalam ajaran-ajaran Muhammad.” Oleh karena itu, ia menghabiskan hidupnya mencoba untuk membedakan mana hadis yang sahih dari yang palsu. Menurut tradisi Islam, Bukhari melintasi dunia Islam mengumpulkan cerita tentang ucapan dan tindakan Muhammad sampai 300.000 hadis ! [48]  Akhirnya ia menolak hampir 293.000 darinya sebagai hadis yang dibuat-buat, atau setidaknya keandalan hadis-hadis tersebut tidak mungkin untuk dievaluasi.

Dia memilih dan menerbitkan 7.563 hadis, meskipun koleksi ini ada termasuk pengulangan di dalamnya; akhirnya ia memisahkan 2.602 hadis yang ia dianggap otentik. Bahkan koleksi ini setebal  sembilan volume dalam edisi bahasa Inggris-Arab modern yang diterbitkan di Arab Saudi !

Imam Muslim bin al-Hajjaj adalah murid Bukhari. Lahir di Nishapur di tempat yang sekarang jadi Iran, ia dikatakan telah melakukan perjalanan ke Saudi, Mesir, Suriah, dan Irak untuk mengumpulkan hadis. Menurut tradisi Islam, ia juga mengumpulkan 300.000 hadis, yang memelihara 4.000 dari sebagai yang otentik dalam Sahih karyanya.


Kebanyakan sarjana muslim menganggap koleksinya, beserta dengan koleksi Bukhari, hampir sepenuhnya dapat diandalkan, Muslim hampir tidak pernah mempertanyakan hal ihwal otentisitas tradisi yang muncul baik dalam muncul baik dalam Sahih Bukhari maupun Sahih Muslim – yang mana sebenarnya banyak (diskrepansi dan kontradiksinya). Dalam satu situs Internet yang berisi pengenalan iman dan praktekIslam, disana mereka menjamin para pembaca bahwa “tidak ada dalam situs ini yang melanggar prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam hukum Islam,” dan meringkas pendapat umum di kalangan Muslim Islam bahwa: "Sahih Bukhari benar-benar spesial dengan keandalannya yang kuat.” Situs ini juga menambahkan bahwa Imam Muslim memilih hadis yang ia masukan dalam Sahih Muslim “berdasarkan atas kriteria penerimaan yang ketat.” [49]