Bab 1
SANG TOKOH YANG TIDAK PERNAH
BENAR-BENAR HADIR
Sumber-sumber
Kita mungkin
beranggapan bahwa sumber pertama dan terkemuka bagi informasi tentang kehidupan
Muhammad adalah Qur’an, kitab suci Islam. Namun kitab itu hanya menyingkapkan
sedikit saja tentang kehidupan figur sentral Islam ini. Di dalamnya, Allah
seringkali berbicara pada Sang Nabi dan mengatakan padanya apa yang harus
dikatakan pada kaum beriman dan kaum tak beriman. Para komentator dan pembaca
biasanya beranggapan bahwa Muhammad bukanlah orang yang dituju dalam
kasus-kasus ini, tetapi anggapan ini bukanlah sebuah kepastian, seperti halnya
contoh lain dalam kajian ini.
Nama Muhammad muncul di Qur’an hanya 4 kali penyebutan, dan 3
diantaranya, kata ini bisa dianggap sebagai sebuah gelar – “yang terpuji” atau “yang terpilih” – bukannya sebagai nama seorang nabi. Kita
bandingkan dengan nama Musa yang disebut sebanyak 136 kali, dan Abraham /
Ibrahim 74 kali. Bahkan Firaun disebutkan 74 kali. Sementara “rasul Allah” atau utusan Allah muncul dalam
berbagai bentuk sejumlah 300 kali, dan kata “nabi” muncul 43 kali. [1] Apakah semua itu merujuk pada Muhammad, sang Nabi Arab abad ke-7?
Barangkali saja. Pastilah anggapan itu dipercaya oleh pembaca Qur’an di
sepanjang jaman selama ini. Namun jikapun demikian, semua penyebutan itu tidak
menceritakan kepada kita tentang kejadian-kejadian, tempat dan waktu
kehidupannya.
Alih-alih
di seluruh Qur’an utamanya tidak ada
informasi apa-apa tentang sang Utusan ini diluar penonjolan berkali-kali
akan statusnya sebagai seorang wakil Alah dan meminta para pemercaya untuk
menaatinya. Di tiga dari empat kali nama Muhammad
disebutkan, tak satupun mengungkapkan kehidupannya.
Yang
pertama dari keempat penyebutan nama Muhammad muncul surah ketiga, “Muhammad itu tidak lain
hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul”
(QS 3:144). Kemudian Qur’an mengatakan bahwa “Al Masih putera Mayram itu
hanyala seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul
(QS 5:75). [2] Bahasa identik mengindikasikan bahwa ayat dalam QS 3:144
Yesus adalah tokoh yang dirujuk sebagai “yang terpuji” – yakni Muhammad.
Dalam surah 33 kita membaca bahwa “ Muhammad itu sekali-kali
bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu” (33:40).[3]
Ayat ini hampir pasti khusus merujuk kepada nabi Islam dan bukan
kepada seorang figur kenabian dengan gelar “yang
terpuji.” Ayat ini pula menjadi sebuah ayat yang teramat penting bagi
teologi Islam: para cendikia Muslim telah menafsirkan status Muhammad sebagai
“Penutup dari pada Nabi” yang berarti bahwa Muhammad adalah nabi terakhir yang
dikirim Allah dan setiap orang yang mengaku-aku sebagai nabi setelah Muhammad
dianggap sebagai nabi palsu. Doktrin ini menorehkan antipati yang dalam, bahkan
sering diekspresikan dengan kekerasan, sebagaimana perlakuan para muslim
tradisional terhadap gerakan profetik yang timbul di dalam lingkungan Islam
seperti halnya kaum Baha’i dan Ahmadiyah.
Yang
kurang spesifik adalah QS 47:2 “Dan orang-orang mu’min dan beramal soleh serta
beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang haq dari
Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki
keadaan mereka.” Dalam ayat ini “Muhammad”
adalah seseorang yang kepadanya Allah telah berikan pewahyuan, namun ayat ini
dapat diterapkan kepada nabi siapa saja yang ditunjuk Qur’an selain juga kepada
Muhammad secara khusus.
Sementara
QS 48:29 mungkin mengacu hanya kepada sang Nabi Islam: “Muhammad itu adalah
utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” Sekalipun kata “sang
terpuji” disini bisa saja merujuk kepada sosok nabi lainnya, bahasa “Muhammad
adalah utusan Allah” (Muhammadun rasulu Allahi) dalam syahadat Islam membuat QS 48:29 secara khusus mungkin
merujuk pada sang Nabi Islam.
Sejauh
itulah penyebutan-penyebutan Muhammad dalam Qur’an. Dalam banyak rujukan lain
kepada utusan Allah, sang utusan ini tidak diberi nama, dan hanya sedikit
disebutkan tentang tindakan-tindakan spesifiknya. Sebagai hasilnya, kita tidak
bisa mengumpulkan banyak hal tentang biografi Muhammad. Tidak pula bisa
diyakinkan atas dasar teks-teks Qur’an saja bahwa teks-teks tersebut merujuk
pada Muhammad atau bersumber darinya.
Rincian
melimpah tentang ucapan dan perbuatan Muhammad terkandung dalam Hadis, yang berisi
koleksi tradisi Islam yang tebal dan memusingkan yang membentuk dasar bagi
hukum Islam. Hadis
merincikan
kejadian-kejadian bagi pewahyuan di setiap bacaan dalam Qur’an. Namun
(sebagaimana kita akan lihat di bab berikutnya) ada alasan yang cukup kuat untuk
percaya bahwa sebagian besar hadis tentang kata-kata Muhammad dan perbuatannya
berasal dari jaman yang jauh terkemudian dari saat kematian Muhammad yaitu
tahun 632 M.
Kemudian ada Sira, biografi Nabi Islam. Biografi Muhammad yang
paling awal ditulis oleh Ibnu Ishaq (w. 773), yang menulis di bagian akhir abad
kedelapan, setidaknya 125 tahun setelah kematian sang tokoh utama, dalam suatu
panggung dimana materi legendaris tentang Muhammad telah berkembang biak.
Dan bahkan biografi Ibnu Ishaq bahkan sudah tidak ada, yang datang
kepada kita hanyalah fragmen-fragmen cukup panjang yang direproduksi oleh
penulis sejarah di kemudian hari, Ibnu Hisham, yang menulis di kwartal pertama abad
kesembilan, dan oleh sejarawan lain yang mereproduksinya, dan dengan demikian diberi
catatan-catatan tambahan. Materi biografi lainnya tentang Muhammad bahkan berasal
dari jaman-jaman terkemudian.
Hanya sebegitulah materi yang membuat gegap gempitanya apa yang
disebut-sebut Ernest Renan tentang kehidupan dan karya Muhammad sebagai “yang
dipenuhi terang sejarah.” Pada faktanya bisa dikatakan bahwa tidak ada rincian
biografis Muhammad yang berasal dari abad di mana karir kenabiannya diberitakan
dan diungkap.
Catatan-catatan Paling Awal Tentang Sang Nabi Arab
Tetapi
bukankah seharusnya ada catatan berlimpah yang menyebutkan tokoh yang hidup dan
karyanya konon “dipenuhi oleh terang sejarah” yang tercatat dalam
tulisan-tulisan sejamannya baik oleh teman-teman maupun musuh-musuhnya?
Itulah
paling tidak apa yang kita bisa harapkan. Setelah semuanya,
ia
menyatukan suku-suku Arab yang selalu berperang. Ia menempanya menjadi mesin
peperangan yang, hanya selang beberapa tahun setelah kematiannya,
mengguncangkan dan menciderai dua kekuatan besar di jaman itu, Kekaisaran
Romawi Timur (Byzantium) dan Kekaisaran Persia, kemudian berkembang pesat di wilayah
keduanya. Akan sepenuhnya masuk akal untuk mengharapkan bahwa para penulis
sejarah abad ketujuh di Byzantium dan Persia serta dari kalangan Muslim untuk
menuliskan semua pengaruh dan prestasi luar biasa dari tokoh ini.
Namun
ternyata catatan-catatan paling awal justru menawarkan lebih banyak pertanyaan
dari pada jawaban. Salah satu yang paling awal dan nampaknya jelas merujuk pada
seseorang seperti Muhammad berasal dari sebuah dokumen yang dikenal sebagai
Jacobi Doctrina, yang mungkin ditulis oleh seorang Kristen dari Palestina
antara tahun 634 dan 640 M, yakni pada saat penaklukan awal Yerusalem oleh kaum
Arab dan setelah tahun 632 yang dianggap sebagai tahun kematian Muhammad.
Dokumen ini ditulis dalam bahasa Yunani dari perspektif seorang Yahudi yang
percaya bahwa Mesias dari Kristen adalah yang benar dan juga ia menderang
tentang seorang nabi yang muncul di tanah Arab.
Ketika sang kandidatus [yakni
seorang anggota serdadu pengawas kekaisaran Byzantium] terbunuh oleh kaum
Saraken [Sarakenoi], aku sedang berada di Kaesarea dan segera
berangkat ke Sykamina dengan perahu. Orang-orang berkata “sang kandidatus telah
terbunuh,” dan kami orang-orang Yahudi bergembira. Dan mereka berkata bahwa
seorang nabi telah muncul, datang bersama kamu Saraken, dan bahwa ia memproklamasikan
kedatangan yang terpilih, kristus yang akan segera datang. Setelah tiba di
Sykamina, aku berhenti dan bertanya kepada seorang lelaki tua yang cakap dalam
Kitab Suci, dan aku bertanya kepada beliau: “Apa yang anda bisa ceritakan
tentang seorang nabi yang muncul dari kaum Saraken?” Ia menjawab dengan
mengerang dalam-dalam, “Ia palsu, sebab para nabi tidak datang dengan pedang.
Benar-benar mereka hanyalah kaum anarkis yang tengah beraksi jaman sekarang,
dan aku takut bahwa Kristus pertama yang telah datang, yang kaum Kristen puja,
adalah dia yang diutus oleh Allah, dan sekarang justru kita sedang bersiap-siap
menyambut Antikris. Memang nabi Yesaya pernah berkata bahwa bangsa Yahudi akan
tetap sesat dan berkeras hati sampai seluruh bumi dihancurkan. Tetapi anda,
Tuan Abraham, pergilah dan cari tahu tentang nabi yang telah muncul.” Sehingga
aku, Abraham, berniat mencari dan mendengar dari mereka yang telah bertemu
dengannya bahwa tidak ada kebenaran yang bisa ditemukan dari ia yang disebut
nabi, hanya pertumpahan darah manusia. Ia juga berkata tentang kunci firdaus
yang merupakan hal berlebihan. [4]
Dalam
kasus ini kata “berlebihan” (incredible)
artinya “tidak bisa dipercaya” (not
credible). Satu hal yang bisa
diyakinkan dari sini adalah bahwa para kaum Arab penyerbu (kaum Saraken) yang
menaklukan Palestina di tahun 635 datang dengan membawa berita tentang seorang
nabi baru, seseorang yang “datang dengan senjata.” Namun catatan Doctrina
Jacobi ini tidak menyebutkan nama nabi yang masih hidup itu, yang tengah
berkeliling bersama tentaranya, sedangkan Muhammad dikabarkan telah mati tahun
632. Terlebih lagi, nabi kaum Saraken ini bukannya memproklamasikan dirinya
sebagai nabi Allah terakhir (lihat QS 33:40) malahan ia “memproklamirkan
kedatangan ia yang terpilih, Kristus yang akan segera datang.” Ini adalah
rujukan kepada mesias kaum Yahudi, bukan kepada Yesus Kristus dalam keimanan
Kristen (Kristus berarti : ia yang diurapi/ terpilih / Mesias dalam bahasa
Yunani).
Perlu dicatat bahwa Qur'an menggambarkan Yesus yang
menyatakan akan munculnya sosok yang Tradisi Islam identifikasikan sebagai
Muhammad: "Hai Bani Israel, sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat,
dan memberikan khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang
sesudahku, yang namanya Ahmad"(QS 61:6). Kata “Ahmad” berarti "yang
terpuji," yang para ulama Islam identifikasi sebagai Muhammad: Nama
Ahmad adalah varian dari Muhammad (karena kedua kata ini berbagi trilateral akar
h-m-d). Mungkin baik Jacobi Doctrina maupun QS 61:6 dengan cara yang
berbeda memelihara kenangan akan figur profetik yang memproklamasikan dirinya sebagai
“yang terpuji” atau “yang terpilih” - ahmad atau Muhammad.
Dikatakan
bahwa nabi yang digambarkan dalam Doctrina
Jacobi “juga berkata tentang kunci firdaus,” yang dianggap “berlebihan”.
Namun ini tidak hanya berlebihan, tetapi juga sama sekali tidak pernah ada
dalam tradisi Islam, yang tidak pernah mengklaim bahwa Muhammad memiliki kunci
firdaus. Namun Yesus mempercayakan kunci-kunci surgawi itu kepada Petrus
berdasarkan Matius 16:19, yang mungkin mengindikasikan bahwa sosok yang
memproklamirkan kejadian eskatologis ini memiliki hubungan dengan tradisi
Kristen, dan juga ekspektasi mesias dalam Yudaisme. Dan sepanjang berkaitan dengan “kunci
firdaus” maka ini lebih mirip dengan “kunci kerajaan surga” dalam kekristenan
dari pada apapun dalam pesan-pesan Muhammad. Sang Nabi dalam Doctrina Jacobi nampaknya lebih dekat
dengan kaum Kristen atau kaum penanti mesianik yang terpengaruh oleh
kekristenan dari pada tentang seorang nabi Islam sebagaimana yang digambarkan
dalam literatur sastra Islam.
Apakah Sosok Itu Muhammad?
Sederhananya,
dapatkah dikatakan bahwa Doctrina Jacobi merujuk pada Muhammad sang Nabi Islam?
Nampaknya sukar untuk membayangkan ini merujuk pada sosok yang lain, sebab para
nabi lain yang memegang pedang penaklukan Tanah Suci dan tentara yang beraksi
atas dasar inspirasi dari nabinya – tidak pernah terjadi di tahun 630. Dokumen-dokumen yang berangkat dari tradisi
Islam yang menyoal kematian Muhammad dan isi ajarannya dapat dipahami dengan
mudah sebagai kesalahpahaman seorang penulis Byzantium yang meneliti apa yang
tengah terjadi dari jarak yang aman, dan bukan sebagai bukti bahwa Muhammad dan
Islam adalah 2 entitas yang berbeda pada saat itu dengan adanya mereka
sekarang.
Pada
saat yang bersamaan tidak ada satu catatanpun yang berasal di jaman dimana
Doctrina Jacobi ditulis yang meneguhkan kisah kanonikal Islam tentang Muhammad
dan asal-usul Islam. Satu kemungkinan lain bahwa nabi tak bernama dalam
Doctrina Jacobi adalah satu dari beberapa figur, yang sebagian dari atribut
historisnya kemudian dibenamkan kedalam figur Nabi Islam dibawah salah satu
namanya adalah Muhammad. Sebab tidak ada satu halpun yang berasal dari jaman
Muhammad beraksi atau dari perioda yang tak lama setelah itu yang memberi kita
kesaksian tentang seperti apa dia dan apa yang dia lakukan.
Satu penyebutan nyata tentang namanya dapat ditemukan disebuah
koleksi beragam tulisan bahasa Syriak (sebuah dialek bahasa Aramaik yang umum
diwilayah dan jaman itu) yang secara umum dirujuk sebagai tulisan seorang imam
Kristen bernama Tomas dan bertanggal pada awal tahun 640an. Namun beberapa
bukti mengindikasikan bahwa tulisan-tulisan ini telah direvisi di pertengahan
abad kedelapan, sehingga bisa jadi ini sama sekali bukanlah rujukan awal
tentang Muhammad. [5] Namun
demikian Tomas merujuk pada “sebuah pertempuran antara tentara Roma dengan “tayyaye d-Mhmt” di timur Gaza di tahun
634. [6] Kata tayyaye
atau taiyaye berarti kaum nomad, dan
catatan sejarah lain menggunakan kata ini untuk merujuk kepada kaum penakluk.
Sehingga salah seorang sejarawan Robert G. Hoyland telah menerjemahkan tayyaye d-Mhmt sebagai
“kaum Arab Muhammad”; terjemahan
ini dan terjemahan yang serupa dengannya secara relatif sama artinya. Namun
bahasa Syriak membedakan antara t dan d, sehingga tidaklah pasti (sekalipun
mungkin saja) bahwa dengan kata Mhmt ,
Tomas memaksudkan Mhmd- Muhammad.
Bahkan jika “Kaum Arab Muhammad” benar-benar terjemahan yang tepat bagi tayyaye d-Mhmt, tetap saja
kita masih jauh dari figur nabi Islam, nabi poligami pengobar perang, penerima
Qur’an, penyandang pedang terhadap kaum kafir. Tidak satupun dalam
tulisan-tulisan atau catatan-catatan kaum Arab lainnya, atau orang-orang yang
mereka taklukan yang berasal dari pertengahan abad ketujuh yang menyebutkan
elemen apapun tentang biografinya.
Dipuncak penaklukan oleh bangsa Arab, sumber-sumber non-Muslim tetap tidak
menuliskan apa-apa tentang sang nabi, sama halnya dengan pihak Muslim sendiri
tentang nabinya dan kitab suci yang konon katanya telah menginspirasi
penaklukan itu.
Tomas
mungkin saja bermaksud untuk menggunakan Mhmt bukan sebagai nama perorangan,
namun sebagai sebuah gelar, “yang terpuji”
atau “yang terpilih” tanpa ada
rujukan pasti. Di kasus-kasus lainnya, Muhammad yang Tomas rujuk tidak memiliki
kesamaan apapun dengan Islam kecuali hanya dari namanya saja.
Sophronius dan Umar
Tak satupun yang berinteraksi dengan mereka yang menaklukan Timur
Tengah di pertengahan abad ketujuh nampaknya mendapat kesan bahwa seorang nabi
bernama Muhammad, yang para pengikutnya menyerbu keluar dari Arabia membawa
sebuah kitab suci dan pengakuan iman yang baru dibelakang penaklukan itu. [7]
Pertimbangkanlah contoh berikut, sebuah catatan dari seorang
Kristen abad ketujuh tentang penaklukan Yerusalem, nampaknya ditulis dalam
beberapa tahun setelah penaklukan (sumbernya ditulis dalam bahasa Yunani, namun
yang bertahan hanyalah terjemahannya ke dalam bahasa Geogia). Berdasarkan
catatan ini, “kaum tak bertuhan Saraken memasuki Kota Suci dari Tuan kita Yesus
Kristus, Yerusalem, atas perijinan Allah dan sebagai hukuman atas kelalaian
kita.” [8] Sebuah homili (catatan kotbah) Koptik dari jaman
yang sama menggambarkan kaum “Saraken” sebagai “penindas, yang menyerahkan diri
mereka pada prostitusi, pembantaian dan membawa kepada penahanan anak-anak
manusia, dengan mengatakan:’kita sama-sama berpuasa dan berdoa.” [9]
Sophronius, patriakh Yerusalem yang menyerahkan kota ke tangan
Umar setelah penaklukan oleh Arab di tahun 637, mengeluhkan kedatangan “ kaum
Saraken yang, oleh karena dosa-dosa kita, sekarang telah bangkit melawan
kita secara tidak terduga dan membinasakan dengan segala kekejaman dan rencana
jahat, dengan keberanian tak beriman dan tak bertuhan.” [10] Dalam kotbah Natal tahun 634 M, Sophronius
mendeklarasikan bahwa, “Namun karena
dosa-dosa kita yang tak terhitung, kita tidak mampu melihat hal-hal ini, dan
dilarang memasuki jalan menuju Betlehem. Diluar kemauan kita, bertentangan
dengan keinginan kita, kita diminta untuk tetap tinggal di rumah, tidak
dirantai oleh beban ragawi, tetapi diikat oleh ketakutan akan kaum Saracen.”
Ia mengeluhkan bahwa “sebagaimana dulu
oleh kaum Filistin, demikian sekarang kaum Saraken yang tak bertuhan telah
merebut Betlehem yang suci dan menghalangi jalan kita menuju sana, mengancam
untuk menyembelih dan merusak jika kita meninggalkan kota suci dan berani
mendekati Betlehem kita yang suci dan tercinta.” [11]
Tidaklah
mengherankan apabila seorang Kristen abad 7 M seperti Sophronius akan merujuk
para penyerbu sebagai “kaum tak bertuhan.” Lagipula, seandainya para penyerbu
ini telah datang dengan mengacung-acungkan kitab suci dari Ilah yang mereka
proklamasikan sebagai penguasa tunggal dari segala sesuatu, Sophronius tentu
saja akan menolak keberadaan Allah mereka. Tetap saja, ia tidak menyebutkan bahkan
tentang polemik diantara mereka, Allah dari para penakluk, nabi mereka dan
kitab suci mereka.
Di
semua diskusinya tentang “kaum Saraken,” Sophronius memperlihatkan suatu
keakraban dengan kebencian mereka akan salib dan doktrin Kristen Ortodoks akan
Kristus, tetapi ia tidak pernah menyebut para penyerbu ini “Muslim” dan tidak
pernah merujuk pada Muhammad, Qur’an, atau Islam. Di sebuah kotbah dari
Desember 636 atau 637, Sophronius membicarakan dengan panjang lebar tentang
brutalitas para penakluk, dan dalam melakukannya ia membuat beberapa rujukan
terhadap kepercayaan mereka:
Tetapi keadaan
saat ini memaksaku untuk berpikir berbeda tentang cara hidup kita, sebab
mengapa ada banyak peperangan di antara kita? Mengapa kaum barbar menjarah
kita? Mengapa ada banyak kehancuran dan perampasan? Mengapa ada banyaknya
pertumpahan darah yang tiada putus-putusnya? Mengapa burung-burung langit
melahap mayat-mayat manusia?
Para
penyerbu tidak ganas secara serampangan, namun nampaknya mereka memiliki
kejijikan dan kebencian khusus kepada kekristenan:
Mengapa
gereja-gereja dirobohkan? Mengapa salib diejek? Mengapa Kristus, yang adalah
penebar segala kebaikan dan pemberi kebahagiaan kita, dihujat oleh mulut-mulut
pagan (ethnikois tois stomasi) sehingga ia menangis kepada kita: “karena engkau maka
namaku dihujat di antara kaum pagan,” dan inilah yang terburuk dari semua hal
buruk yang tengah terjadi kepada kita.
Kotbah
Sophronius tepat dengan penolakan kaum Islam terhadap salib – sebuah penolakan
yang juga tertulis di Qur’an, yang menegaskan bahwa kaum Yahudi “tidak
membunuhnya dan tidak menyalibnya,
tetapi orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS 4:157). Dan ketika berbicara tentang
penghujatan kepada Kristus dari kaum Pagan, Sophronius mungkin merujuk penolakan
keilahian kristus dan pengorbanan demi keselamatan – penolakan yang menjadi
bagian dari doktrin Islam.
Sophronius
menganggap kaum Saraken sebagai alat dari amarah Allah terhadap kaum Kristen
yang telah menjadi lemah, sekalipun ia menjelaskan kaum Saraken sebagai
“pembenci Allah” dan “musuh Allah” dan pemimpin mereka sebagai “si jahat.”
Tidak jelas apakah Sophronius merujuk kepada Iblis itu sendiri atau kepada
Kalifah Umar, yang menaklukan Yerusalem, atau kepada Muhammad, atau kepada
seseorang lain. Sophronius menyatakan:
Itulah kenapa kaum Saraken
yang penuh dendam dan pembenci Allah, saat-saat terkutuk yang telah dinubuatkan
oleh para nabi, dibanjirinya tempat-tempat yang tidak diperbolehkan bagi
mereka, mereka menjarah kota-kota, merusak lading-ladang, membakar desa-desa, membakar
gereja-gereja suci, menjungkirbalikan biara-biara kudus, melawan tentara
Byzantium yang berjajar melawan mereka, dan ketika bertempur mereka meninggikan
piala-piala [peperangan] dan menambahkan kemenangan demi kemenangan. Lebih
lagi, mereka terus menerus menentang kita dan meningkatkan penghinaan kepada
Kristus dan gereja, dan sama sekali suatu penghinaan terhadap Allah. Para penentang
Allah itu membual kemenangan mereka diatas segalanya terus menerus tidak bisa
dikendalikan meniru-niru pemimpin mereka yang adalah iblis, dan menyamai
kesombongannya yang karenanya ia telah diusir dari surga dan ditempatkan di
tempat suram. Namun segala kebusukan ini tidak akan terjadi, tidak pula sampai
pada derajat kekuasaan seperti sekarang dan tanpa hukum di semua hal, sandainya kita dulu tidak
menghinakan karunia [baptisan] dan
mengotori kemurnian, yang mana dengan cara ini mendukakan Kristus, pemberi segala
karunia, dan membuat ia marah kepada kita. Namun ia masih tetap baik, ia tidak
menyukai kekerasan, menjadi sumber dari kebaikang dan tidak berharap melihat
keruntuhan dan kerusakan manusia. Kita sendiri, dalam kebenaran, bertanggung
jawab untuk semuanya ini, dan tidak ada kata-kata yang perlu diungkapkan demi
pembelaan kita. Kata-kata apa dan posisi apa akan diberikan kepada kita sebagai
pembelaan ketika kita telah menyia-nyiakan semua karunia darinya, mengotorinya
dan mencemarkan segalanya dengan perbuatan kita yang jahat? [12]
Penggambaran
kekerasan dan brutalitas semacam itu sukar sekali diperdamaikan dengan
catatan-catatan yang lebih umum dikenal tentang catatan penaklukan Arab atas
Yerusalem. Catatan-catatan tersebut mencitrakan Umar menemui Sophronius dan
memperlakukannya dengan hormat, bahkan secara baik hati menolak melakukan
shalat di Gereja Kubur Suci agar pengikutnya tidak mengepung gereja itu dan
mengubahnya menjadi mesjid. [13] Umar dan Sophronius membuat pakta / kesepakatan yang
melarang kaum Kristen membangun gereja-gereja baru, membawa senjata, atau
menaiki kuda, dan diharuskan membayar pajar, jizya, kepada kaum Muslim, namun
kaum Kristen secara umum diijinkan untuk mempraktekan agama mereka dan hidup
secara relatif dalam damai. [14] Ini adalah fondasi dari superstruktur hukum dhimmi yang
menolak kesetaraan hak bagi Non-muslim di dalam negara Islam dan bertentangan
dalam banyak hal dengan standar-standar modern, tetapi di abad ketujuh secara
komparatif dianggap toleran.
Apa yang disebut “Pakta Umar” sebenarnya secara historical
diragukan otentisitasnya. [15] Rujukan
paling awal kepadanya datang dari karya sejarawan Muslim, Tabari, yang
meninggal hampir tiga abad kemudian, yakni tahun 923. Menurut Tabari Umar
menulis kepada provinsi-provinsi tetangganya tentang bagaimana ia memperlakukan
orang-orang di Yerusalem yang baru saja ditaklukan:
Demi nama Allah yang pengasih lagi penyayang. Ini adalah jaminan
keamanan yang hamba Allah, Umar, Pemimpin kaum Beriman, telah menjamin penduduk
Yerusalem. Ia telah memberikan kepada mereka jaminan keamanan untuk mereka,
harta benda, salib-salib, kaum sakit dan kaum kaya di kota tersebut, dan atas
semua ritual agama mereka. Gereja-gereja mereka tidak akan diambil oleh pihak
muslim dan tidak akan diruntuhkan. Tidak mereka, tidak pula tanah dimana mereka
berdiri, tidak pula salib mereka, tidak pula harta benda mereka akan dirusak.
Mereka tidak akan dipaksa untuk beralih agama. Penduduk Yerusalem harus
membayar pajak perkepala (jizya) seperti halnya penduduk di Byzantium dan para
perampok. Sedangkan bagi mereka yang meninggalkan kota, nyawa dan harta benda
mereka akan aman sampai mereka tiba di tempat aman. Mereka harus membayar pajak
per kepala seperti halnya penduduk Yerusalem yang ingin pindah bersama kaum
Byzantium, mengambil harta benda mereka, dan meninggalkan gereja-gereja dan
salib mereka akan aman sampai mereka mencapai tempat aman. Jika mereka membayar
pajak per kepala sesuai dengan kewajiban mereka. Isi dari surat ini berada di
bawah perjanjian dengan Allah, dan tanggungjawab Nabinya, Kalifah, dan kaum
beriman. [16]
Atmosfir
isi dari surat Umar dan catatan Sophronius jelas tidak bisa dipersandingkan.
Umar berjanji memelihara gereja-gereja dan membiarkan kaum Kristen bergerak
bebas, bahkan untuk mengambil property dan meninggalkan tempat tinggalnya,
sekalipun dia tidak sepenuhnya toleran, mengatakan bahwa ia akan membatasi kaum
Yahudi dari Yerusalem. Sophronius, sebaliknya, mengeluhkan perusakan
gereja-gereja dan pembatasan kaum Kristen untuk bepergian. Perbedaan yang
paling mencolok adalah bahwa surat sang Kalifah tidak salah lagi ternyata
ditulis dalam lingkungan Islami. Surat itu dimulai dengan pujian kepada Allah
yang maha pengasih lagi penyayang, dan merujuk pada “nabiNya.” Sedangkan
Sophronius, yang menulis pada saat Umar menaklukan Yerusalem, tidak
memperlihatkan adanya kesan bahwa kaum Arab memiliki seorang nabi sama sekali,
atau bahkan menyebut mereka sebagai Muslim.