Saturday 3 August 2013

Bab 1 SANG TOKOH YANG TIDAK PERNAH BENAR-BENAR HADIR (Bagian 1 dari 2)

Bab 1 

SANG TOKOH YANG TIDAK PERNAH 
BENAR-BENAR HADIR   


Sumber-sumber

Kita mungkin beranggapan bahwa sumber pertama dan terkemuka bagi informasi tentang kehidupan Muhammad adalah Qur’an, kitab suci Islam. Namun kitab itu hanya menyingkapkan sedikit saja tentang kehidupan figur sentral Islam ini. Di dalamnya, Allah seringkali berbicara pada Sang Nabi dan mengatakan padanya apa yang harus dikatakan pada kaum beriman dan kaum tak beriman. Para komentator dan pembaca biasanya beranggapan bahwa Muhammad bukanlah orang yang dituju dalam kasus-kasus ini, tetapi anggapan ini bukanlah sebuah kepastian, seperti halnya contoh lain dalam kajian ini.

Nama Muhammad muncul di Qur’an hanya 4 kali penyebutan, dan 3 diantaranya, kata ini bisa dianggap sebagai sebuah gelar – “yang terpuji” atau “yang terpilih” – bukannya sebagai nama seorang nabi. Kita bandingkan dengan nama Musa yang disebut sebanyak 136 kali, dan Abraham / Ibrahim 74 kali. Bahkan Firaun disebutkan 74 kali. Sementara “rasul Allah” atau utusan Allah muncul dalam berbagai bentuk sejumlah 300 kali, dan kata “nabi” muncul 43 kali. [1] Apakah semua itu merujuk pada Muhammad, sang Nabi Arab abad ke-7? Barangkali saja. Pastilah anggapan itu dipercaya oleh pembaca Qur’an di sepanjang jaman selama ini. Namun jikapun demikian, semua penyebutan itu tidak menceritakan kepada kita tentang kejadian-kejadian, tempat dan waktu kehidupannya.

Alih-alih di seluruh Qur’an utamanya tidak ada  informasi apa-apa tentang sang Utusan ini diluar penonjolan berkali-kali akan statusnya sebagai seorang wakil Alah dan meminta para pemercaya untuk menaatinya. Di tiga dari empat kali nama Muhammad disebutkan, tak satupun mengungkapkan kehidupannya.  

Yang pertama dari keempat penyebutan nama Muhammad muncul  surah ketiga, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul” (QS 3:144). Kemudian Qur’an mengatakan bahwa “Al Masih putera Mayram itu hanyala seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul (QS 5:75).  [2] Bahasa identik mengindikasikan bahwa ayat dalam QS 3:144 Yesus adalah tokoh yang dirujuk sebagai “yang terpuji” – yakni Muhammad.

Dalam surah 33 kita membaca bahwa “ Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (33:40).[3]

Ayat ini hampir pasti khusus merujuk kepada nabi Islam dan bukan kepada seorang figur kenabian dengan gelar “yang terpuji.” Ayat ini pula menjadi sebuah ayat yang teramat penting bagi teologi Islam: para cendikia Muslim telah menafsirkan status Muhammad sebagai “Penutup dari pada Nabi” yang berarti bahwa Muhammad adalah nabi terakhir yang dikirim Allah dan setiap orang yang mengaku-aku sebagai nabi setelah Muhammad dianggap sebagai nabi palsu. Doktrin ini menorehkan antipati yang dalam, bahkan sering diekspresikan dengan kekerasan, sebagaimana perlakuan para muslim tradisional terhadap gerakan profetik yang timbul di dalam lingkungan Islam seperti halnya kaum Baha’i dan Ahmadiyah.

Yang kurang spesifik adalah QS 47:2 “Dan orang-orang mu’min dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka.” Dalam ayat ini “Muhammad” adalah seseorang yang kepadanya Allah telah berikan pewahyuan, namun ayat ini dapat diterapkan kepada nabi siapa saja yang ditunjuk Qur’an selain juga kepada Muhammad secara khusus.

Sementara QS 48:29 mungkin mengacu hanya kepada sang Nabi Islam: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” Sekalipun kata “sang terpuji” disini bisa saja merujuk kepada sosok nabi lainnya, bahasa “Muhammad adalah utusan Allah” (Muhammadun rasulu Allahi) dalam syahadat Islam membuat QS 48:29 secara khusus mungkin merujuk pada sang Nabi Islam.

Sejauh itulah penyebutan-penyebutan Muhammad dalam Qur’an. Dalam banyak rujukan lain kepada utusan Allah, sang utusan ini tidak diberi nama, dan hanya sedikit disebutkan tentang tindakan-tindakan spesifiknya. Sebagai hasilnya, kita tidak bisa mengumpulkan banyak hal tentang biografi Muhammad. Tidak pula bisa diyakinkan atas dasar teks-teks Qur’an saja bahwa teks-teks tersebut merujuk pada Muhammad atau bersumber darinya.

Rincian melimpah tentang ucapan dan perbuatan Muhammad terkandung dalam Hadis, yang berisi koleksi tradisi Islam yang tebal dan memusingkan yang membentuk dasar bagi hukum Islam. Hadis
merincikan kejadian-kejadian bagi pewahyuan di setiap bacaan dalam Qur’an. Namun (sebagaimana kita akan lihat di bab berikutnya) ada alasan yang cukup kuat untuk percaya bahwa sebagian besar hadis tentang kata-kata Muhammad dan perbuatannya berasal dari jaman yang jauh terkemudian dari saat kematian Muhammad yaitu tahun 632 M.

Kemudian ada Sira, biografi Nabi Islam. Biografi Muhammad yang paling awal ditulis oleh Ibnu Ishaq (w. 773), yang menulis di bagian akhir abad kedelapan, setidaknya 125 tahun setelah kematian sang tokoh utama, dalam suatu panggung dimana materi legendaris tentang Muhammad telah berkembang biak.

Dan bahkan biografi Ibnu Ishaq bahkan sudah tidak ada, yang datang kepada kita hanyalah fragmen-fragmen cukup panjang yang direproduksi oleh penulis sejarah di kemudian hari, Ibnu Hisham, yang menulis di kwartal pertama abad kesembilan, dan oleh sejarawan lain yang mereproduksinya, dan dengan demikian diberi catatan-catatan tambahan. Materi biografi lainnya tentang Muhammad bahkan berasal dari jaman-jaman terkemudian.

Hanya sebegitulah materi yang membuat gegap gempitanya apa yang disebut-sebut Ernest Renan tentang kehidupan dan karya Muhammad sebagai “yang dipenuhi terang sejarah.” Pada faktanya bisa dikatakan bahwa tidak ada rincian biografis Muhammad yang berasal dari abad di mana karir kenabiannya diberitakan dan diungkap.


Catatan-catatan Paling Awal Tentang Sang Nabi Arab

Tetapi bukankah seharusnya ada catatan berlimpah yang menyebutkan tokoh yang hidup dan karyanya konon “dipenuhi oleh terang sejarah” yang tercatat dalam tulisan-tulisan sejamannya baik oleh teman-teman maupun musuh-musuhnya?

Itulah paling tidak apa yang kita bisa harapkan. Setelah semuanya,
ia menyatukan suku-suku Arab yang selalu berperang. Ia menempanya menjadi mesin peperangan yang, hanya selang beberapa tahun setelah kematiannya, mengguncangkan dan menciderai dua kekuatan besar di jaman itu, Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) dan Kekaisaran Persia, kemudian berkembang pesat di wilayah keduanya. Akan sepenuhnya masuk akal untuk mengharapkan bahwa para penulis sejarah abad ketujuh di Byzantium dan Persia serta dari kalangan Muslim untuk menuliskan semua pengaruh dan prestasi luar biasa dari tokoh ini.

Namun ternyata catatan-catatan paling awal justru menawarkan lebih banyak pertanyaan dari pada jawaban. Salah satu yang paling awal dan nampaknya jelas merujuk pada seseorang seperti Muhammad berasal dari sebuah dokumen yang dikenal sebagai Jacobi Doctrina, yang mungkin ditulis oleh seorang Kristen dari Palestina antara tahun 634 dan 640 M, yakni pada saat penaklukan awal Yerusalem oleh kaum Arab dan setelah tahun 632 yang dianggap sebagai tahun kematian Muhammad. Dokumen ini ditulis dalam bahasa Yunani dari perspektif seorang Yahudi yang percaya bahwa Mesias dari Kristen adalah yang benar dan juga ia menderang tentang seorang nabi yang muncul di tanah Arab.


Ketika sang kandidatus [yakni seorang anggota serdadu pengawas kekaisaran Byzantium] terbunuh oleh kaum Saraken [Sarakenoi], aku sedang berada di Kaesarea dan segera berangkat ke Sykamina dengan perahu. Orang-orang berkata “sang kandidatus telah terbunuh,” dan kami orang-orang Yahudi bergembira. Dan mereka berkata bahwa seorang nabi telah muncul, datang bersama kamu Saraken, dan bahwa ia memproklamasikan kedatangan yang terpilih, kristus yang akan segera datang. Setelah tiba di Sykamina, aku berhenti dan bertanya kepada seorang lelaki tua yang cakap dalam Kitab Suci, dan aku bertanya kepada beliau: “Apa yang anda bisa ceritakan tentang seorang nabi yang muncul dari kaum Saraken?” Ia menjawab dengan mengerang dalam-dalam, “Ia palsu, sebab para nabi tidak datang dengan pedang. Benar-benar mereka hanyalah kaum anarkis yang tengah beraksi jaman sekarang, dan aku takut bahwa Kristus pertama yang telah datang, yang kaum Kristen puja, adalah dia yang diutus oleh Allah, dan sekarang justru kita sedang bersiap-siap menyambut Antikris. Memang nabi Yesaya pernah berkata bahwa bangsa Yahudi akan tetap sesat dan berkeras hati sampai seluruh bumi dihancurkan. Tetapi anda, Tuan Abraham, pergilah dan cari tahu tentang nabi yang telah muncul.” Sehingga aku, Abraham, berniat mencari dan mendengar dari mereka yang telah bertemu dengannya bahwa tidak ada kebenaran yang bisa ditemukan dari ia yang disebut nabi, hanya pertumpahan darah manusia. Ia juga berkata tentang kunci firdaus yang merupakan hal berlebihan.  [4]

Dalam kasus ini kata “berlebihan” (incredible) artinya “tidak bisa dipercaya” (not credible).  Satu hal yang bisa diyakinkan dari sini adalah bahwa para kaum Arab penyerbu (kaum Saraken) yang menaklukan Palestina di tahun 635 datang dengan membawa berita tentang seorang nabi baru, seseorang yang “datang dengan senjata.” Namun catatan Doctrina Jacobi ini tidak menyebutkan nama nabi yang masih hidup itu, yang tengah berkeliling bersama tentaranya, sedangkan Muhammad dikabarkan telah mati tahun 632. Terlebih lagi, nabi kaum Saraken ini bukannya memproklamasikan dirinya sebagai nabi Allah terakhir (lihat QS 33:40) malahan ia “memproklamirkan kedatangan ia yang terpilih, Kristus yang akan segera datang.” Ini adalah rujukan kepada mesias kaum Yahudi, bukan kepada Yesus Kristus dalam keimanan Kristen (Kristus berarti : ia yang diurapi/ terpilih / Mesias dalam bahasa Yunani).  

Perlu dicatat bahwa Qur'an menggambarkan Yesus yang menyatakan akan munculnya sosok yang Tradisi Islam identifikasikan sebagai Muhammad:  "Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberikan khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad"(QS 61:6). Kata “Ahmad” berarti "yang terpuji," yang para ulama Islam identifikasi sebagai Muhammad: Nama Ahmad adalah varian dari Muhammad (karena kedua kata ini berbagi trilateral akar h-m-d). Mungkin baik Jacobi Doctrina maupun QS 61:6 dengan cara yang berbeda memelihara kenangan akan figur profetik yang memproklamasikan dirinya sebagai “yang terpuji” atau “yang terpilih”  - ahmad atau Muhammad.

Dikatakan bahwa nabi yang digambarkan dalam Doctrina Jacobi “juga berkata tentang kunci firdaus,” yang dianggap “berlebihan”. Namun ini tidak hanya berlebihan, tetapi juga sama sekali tidak pernah ada dalam tradisi Islam, yang tidak pernah mengklaim bahwa Muhammad memiliki kunci firdaus. Namun Yesus mempercayakan kunci-kunci surgawi itu kepada Petrus berdasarkan Matius 16:19, yang mungkin mengindikasikan bahwa sosok yang memproklamirkan kejadian eskatologis ini memiliki hubungan dengan tradisi Kristen, dan juga ekspektasi mesias dalam Yudaisme.  Dan sepanjang berkaitan dengan “kunci firdaus” maka ini lebih mirip dengan “kunci kerajaan surga” dalam kekristenan dari pada apapun dalam pesan-pesan Muhammad. Sang Nabi dalam Doctrina Jacobi nampaknya lebih dekat dengan kaum Kristen atau kaum penanti mesianik yang terpengaruh oleh kekristenan dari pada tentang seorang nabi Islam sebagaimana yang digambarkan dalam literatur sastra Islam.


Apakah Sosok Itu Muhammad?

Sederhananya, dapatkah dikatakan bahwa Doctrina Jacobi merujuk pada Muhammad sang Nabi Islam? Nampaknya sukar untuk membayangkan ini merujuk pada sosok yang lain, sebab para nabi lain yang memegang pedang penaklukan Tanah Suci dan tentara yang beraksi atas dasar inspirasi dari nabinya – tidak pernah terjadi di tahun 630.   Dokumen-dokumen yang berangkat dari tradisi Islam yang menyoal kematian Muhammad dan isi ajarannya dapat dipahami dengan mudah sebagai kesalahpahaman seorang penulis Byzantium yang meneliti apa yang tengah terjadi dari jarak yang aman, dan bukan sebagai bukti bahwa Muhammad dan Islam adalah 2 entitas yang berbeda pada saat itu dengan adanya mereka sekarang.

Pada saat yang bersamaan tidak ada satu catatanpun yang berasal di jaman dimana Doctrina Jacobi ditulis yang meneguhkan kisah kanonikal Islam tentang Muhammad dan asal-usul Islam. Satu kemungkinan lain bahwa nabi tak bernama dalam Doctrina Jacobi adalah satu dari beberapa figur, yang sebagian dari atribut historisnya kemudian dibenamkan kedalam figur Nabi Islam dibawah salah satu namanya adalah Muhammad. Sebab tidak ada satu halpun yang berasal dari jaman Muhammad beraksi atau dari perioda yang tak lama setelah itu yang memberi kita kesaksian tentang seperti apa dia dan apa yang dia lakukan.

Satu penyebutan nyata tentang namanya dapat ditemukan disebuah koleksi beragam tulisan bahasa Syriak (sebuah dialek bahasa Aramaik yang umum diwilayah dan jaman itu) yang secara umum dirujuk sebagai tulisan seorang imam Kristen bernama Tomas dan bertanggal pada awal tahun 640an. Namun beberapa bukti mengindikasikan bahwa tulisan-tulisan ini telah direvisi di pertengahan abad kedelapan, sehingga bisa jadi ini sama sekali bukanlah rujukan awal tentang Muhammad. [5]   Namun demikian Tomas merujuk pada “sebuah pertempuran antara tentara Roma dengan “tayyaye d-Mhmt” di timur Gaza di tahun 634. [6] Kata tayyaye atau taiyaye berarti kaum nomad, dan catatan sejarah lain menggunakan kata ini untuk merujuk kepada kaum penakluk. Sehingga salah seorang sejarawan Robert G. Hoyland telah menerjemahkan   tayyaye d-Mhmt sebagai  “kaum Arab  Muhammad”; terjemahan ini dan terjemahan yang serupa dengannya secara relatif sama artinya. Namun bahasa Syriak membedakan antara t dan d, sehingga tidaklah pasti (sekalipun mungkin saja) bahwa dengan kata Mhmt , Tomas memaksudkan Mhmd- Muhammad. Bahkan jika “Kaum Arab Muhammad” benar-benar terjemahan yang tepat bagi     tayyaye d-Mhmt, tetap saja kita masih jauh dari figur nabi Islam, nabi poligami pengobar perang, penerima Qur’an, penyandang pedang terhadap kaum kafir. Tidak satupun dalam tulisan-tulisan atau catatan-catatan kaum Arab lainnya, atau orang-orang yang mereka taklukan yang berasal dari pertengahan abad ketujuh yang menyebutkan elemen  apapun tentang biografinya. Dipuncak penaklukan oleh bangsa Arab, sumber-sumber non-Muslim tetap tidak menuliskan apa-apa tentang sang nabi, sama halnya dengan pihak Muslim sendiri tentang nabinya dan kitab suci yang konon katanya telah menginspirasi penaklukan itu.

Tomas mungkin saja bermaksud untuk menggunakan Mhmt bukan sebagai nama perorangan, namun sebagai sebuah gelar, “yang terpuji” atau “yang terpilih” tanpa ada rujukan pasti. Di kasus-kasus lainnya, Muhammad yang Tomas rujuk tidak memiliki kesamaan apapun dengan Islam kecuali hanya dari namanya saja. 


Sophronius dan Umar

Tak satupun yang berinteraksi dengan mereka yang menaklukan Timur Tengah di pertengahan abad ketujuh nampaknya mendapat kesan bahwa seorang nabi bernama Muhammad, yang para pengikutnya menyerbu keluar dari Arabia membawa sebuah kitab suci dan pengakuan iman yang baru dibelakang penaklukan itu. [7]

Pertimbangkanlah contoh berikut, sebuah catatan dari seorang Kristen abad ketujuh tentang penaklukan Yerusalem, nampaknya ditulis dalam beberapa tahun setelah penaklukan (sumbernya ditulis dalam bahasa Yunani, namun yang bertahan hanyalah terjemahannya ke dalam bahasa Geogia). Berdasarkan catatan ini, “kaum tak bertuhan Saraken memasuki Kota Suci dari Tuan kita Yesus Kristus, Yerusalem, atas perijinan Allah dan sebagai hukuman atas kelalaian kita.”  [8]  Sebuah homili (catatan kotbah) Koptik dari jaman yang sama menggambarkan kaum “Saraken” sebagai “penindas, yang menyerahkan diri mereka pada prostitusi, pembantaian dan membawa kepada penahanan anak-anak manusia, dengan mengatakan:’kita sama-sama berpuasa dan berdoa.” [9]

Sophronius, patriakh Yerusalem yang menyerahkan kota ke tangan Umar setelah penaklukan oleh Arab di tahun 637, mengeluhkan kedatangan  “ kaum  Saraken yang, oleh karena dosa-dosa kita, sekarang telah bangkit melawan kita secara tidak terduga dan membinasakan dengan segala kekejaman dan rencana jahat, dengan keberanian tak beriman dan tak bertuhan.”  [10] Dalam kotbah Natal tahun 634 M, Sophronius mendeklarasikan bahwa, “Namun karena dosa-dosa kita yang tak terhitung, kita tidak mampu melihat hal-hal ini, dan dilarang memasuki jalan menuju Betlehem. Diluar kemauan kita, bertentangan dengan keinginan kita, kita diminta untuk tetap tinggal di rumah, tidak dirantai oleh beban ragawi, tetapi diikat oleh ketakutan akan kaum Saracen.” Ia mengeluhkan bahwa “sebagaimana dulu oleh kaum Filistin, demikian sekarang kaum Saraken yang tak bertuhan telah merebut Betlehem yang suci dan menghalangi jalan kita menuju sana, mengancam untuk menyembelih dan merusak jika kita meninggalkan kota suci dan berani mendekati Betlehem kita yang suci dan tercinta.”  [11] 

Tidaklah mengherankan apabila seorang Kristen abad 7 M seperti Sophronius akan merujuk para penyerbu sebagai “kaum tak bertuhan.” Lagipula, seandainya para penyerbu ini telah datang dengan mengacung-acungkan kitab suci dari Ilah yang mereka proklamasikan sebagai penguasa tunggal dari segala sesuatu, Sophronius tentu saja akan menolak keberadaan Allah mereka. Tetap saja, ia tidak menyebutkan bahkan tentang polemik diantara mereka, Allah dari para penakluk, nabi mereka dan kitab suci mereka.

Di semua diskusinya tentang “kaum Saraken,” Sophronius memperlihatkan suatu keakraban dengan kebencian mereka akan salib dan doktrin Kristen Ortodoks akan Kristus, tetapi ia tidak pernah menyebut para penyerbu ini “Muslim” dan tidak pernah merujuk pada Muhammad, Qur’an, atau Islam. Di sebuah kotbah dari Desember 636 atau 637, Sophronius membicarakan dengan panjang lebar tentang brutalitas para penakluk, dan dalam melakukannya ia membuat beberapa rujukan terhadap kepercayaan mereka:

 Tetapi keadaan saat ini memaksaku untuk berpikir berbeda tentang cara hidup kita, sebab mengapa ada banyak peperangan di antara kita? Mengapa kaum barbar menjarah kita? Mengapa ada banyak kehancuran dan perampasan? Mengapa ada banyaknya pertumpahan darah yang tiada putus-putusnya? Mengapa burung-burung langit melahap mayat-mayat manusia?

Para penyerbu tidak ganas secara serampangan, namun nampaknya mereka memiliki kejijikan dan kebencian khusus kepada kekristenan:

Mengapa gereja-gereja dirobohkan? Mengapa salib diejek? Mengapa Kristus, yang adalah penebar segala kebaikan dan pemberi kebahagiaan kita, dihujat oleh mulut-mulut pagan (ethnikois tois stomasi) sehingga ia menangis kepada kita: “karena engkau maka namaku dihujat di antara kaum pagan,” dan inilah yang terburuk dari semua hal buruk yang tengah terjadi kepada kita.

Kotbah Sophronius tepat dengan penolakan kaum Islam terhadap salib – sebuah penolakan yang juga tertulis di Qur’an, yang menegaskan bahwa kaum Yahudi “tidak membunuhnya dan tidak  menyalibnya, tetapi orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.”  (QS 4:157). Dan ketika berbicara tentang penghujatan kepada Kristus dari kaum Pagan, Sophronius mungkin merujuk penolakan keilahian kristus dan pengorbanan demi keselamatan – penolakan yang menjadi bagian dari doktrin Islam.

Sophronius menganggap kaum Saraken sebagai alat dari amarah Allah terhadap kaum Kristen yang telah menjadi lemah, sekalipun ia menjelaskan kaum Saraken sebagai “pembenci Allah” dan “musuh Allah” dan pemimpin mereka sebagai “si jahat.” Tidak jelas apakah Sophronius merujuk kepada Iblis itu sendiri atau kepada Kalifah Umar, yang menaklukan Yerusalem, atau kepada Muhammad, atau kepada seseorang lain. Sophronius menyatakan:  

Itulah kenapa  kaum Saraken yang penuh dendam dan pembenci Allah, saat-saat terkutuk yang telah dinubuatkan oleh para nabi, dibanjirinya tempat-tempat yang tidak diperbolehkan bagi mereka, mereka menjarah kota-kota, merusak lading-ladang, membakar desa-desa, membakar gereja-gereja suci, menjungkirbalikan biara-biara kudus, melawan tentara Byzantium yang berjajar melawan mereka, dan ketika bertempur mereka meninggikan piala-piala [peperangan] dan menambahkan kemenangan demi kemenangan. Lebih lagi, mereka terus menerus menentang kita dan meningkatkan penghinaan kepada Kristus dan gereja, dan sama sekali suatu penghinaan terhadap Allah. Para penentang Allah itu membual kemenangan mereka diatas segalanya terus menerus tidak bisa dikendalikan meniru-niru pemimpin mereka yang adalah iblis, dan menyamai kesombongannya yang karenanya ia telah diusir dari surga dan ditempatkan di tempat suram. Namun segala kebusukan ini tidak akan terjadi, tidak pula sampai pada derajat kekuasaan seperti sekarang dan tanpa hukum  di semua hal, sandainya kita dulu tidak menghinakan karunia  [baptisan] dan mengotori kemurnian, yang mana dengan cara ini mendukakan Kristus, pemberi segala karunia, dan membuat ia marah kepada kita. Namun ia masih tetap baik, ia tidak menyukai kekerasan, menjadi sumber dari kebaikang dan tidak berharap melihat keruntuhan dan kerusakan manusia. Kita sendiri, dalam kebenaran, bertanggung jawab untuk semuanya ini, dan tidak ada kata-kata yang perlu diungkapkan demi pembelaan kita. Kata-kata apa dan posisi apa akan diberikan kepada kita sebagai pembelaan ketika kita telah menyia-nyiakan semua karunia darinya, mengotorinya dan mencemarkan segalanya dengan perbuatan kita yang jahat? [12]


Penggambaran kekerasan dan brutalitas semacam itu sukar sekali diperdamaikan dengan catatan-catatan yang lebih umum dikenal tentang catatan penaklukan Arab atas Yerusalem. Catatan-catatan tersebut mencitrakan Umar menemui Sophronius dan memperlakukannya dengan hormat, bahkan secara baik hati menolak melakukan shalat di Gereja Kubur Suci agar pengikutnya tidak mengepung gereja itu dan mengubahnya menjadi mesjid. [13] Umar dan Sophronius membuat pakta / kesepakatan yang melarang kaum Kristen membangun gereja-gereja baru, membawa senjata, atau menaiki kuda, dan diharuskan membayar pajar, jizya, kepada kaum Muslim, namun kaum Kristen secara umum diijinkan untuk mempraktekan agama mereka dan hidup secara relatif dalam damai. [14] Ini adalah fondasi dari superstruktur hukum dhimmi yang menolak kesetaraan hak bagi Non-muslim di dalam negara Islam dan bertentangan dalam banyak hal dengan standar-standar modern, tetapi di abad ketujuh secara komparatif dianggap toleran.

Apa yang disebut “Pakta Umar” sebenarnya secara historical diragukan otentisitasnya. [15]  Rujukan paling awal kepadanya datang dari karya sejarawan Muslim, Tabari, yang meninggal hampir tiga abad kemudian, yakni tahun 923. Menurut Tabari Umar menulis kepada provinsi-provinsi tetangganya tentang bagaimana ia memperlakukan orang-orang di Yerusalem yang baru saja ditaklukan:  


Demi nama Allah yang pengasih lagi penyayang. Ini adalah jaminan keamanan yang hamba Allah, Umar, Pemimpin kaum Beriman, telah menjamin penduduk Yerusalem. Ia telah memberikan kepada mereka jaminan keamanan untuk mereka, harta benda, salib-salib, kaum sakit dan kaum kaya di kota tersebut, dan atas semua ritual agama mereka. Gereja-gereja mereka tidak akan diambil oleh pihak muslim dan tidak akan diruntuhkan. Tidak mereka, tidak pula tanah dimana mereka berdiri, tidak pula salib mereka, tidak pula harta benda mereka akan dirusak. Mereka tidak akan dipaksa untuk beralih agama. Penduduk Yerusalem harus membayar pajak perkepala (jizya) seperti halnya penduduk di Byzantium dan para perampok. Sedangkan bagi mereka yang meninggalkan kota, nyawa dan harta benda mereka akan aman sampai mereka tiba di tempat aman. Mereka harus membayar pajak per kepala seperti halnya penduduk Yerusalem yang ingin pindah bersama kaum Byzantium, mengambil harta benda mereka, dan meninggalkan gereja-gereja dan salib mereka akan aman sampai mereka mencapai tempat aman. Jika mereka membayar pajak per kepala sesuai dengan kewajiban mereka. Isi dari surat ini berada di bawah perjanjian dengan Allah, dan tanggungjawab Nabinya, Kalifah, dan kaum beriman. [16]



Atmosfir isi dari surat Umar dan catatan Sophronius jelas tidak bisa dipersandingkan. Umar berjanji memelihara gereja-gereja dan membiarkan kaum Kristen bergerak bebas, bahkan untuk mengambil property dan meninggalkan tempat tinggalnya, sekalipun dia tidak sepenuhnya toleran, mengatakan bahwa ia akan membatasi kaum Yahudi dari Yerusalem. Sophronius, sebaliknya, mengeluhkan perusakan gereja-gereja dan pembatasan kaum Kristen untuk bepergian. Perbedaan yang paling mencolok adalah bahwa surat sang Kalifah tidak salah lagi ternyata ditulis dalam lingkungan Islami. Surat itu dimulai dengan pujian kepada Allah yang maha pengasih lagi penyayang, dan merujuk pada “nabiNya.” Sedangkan Sophronius, yang menulis pada saat Umar menaklukan Yerusalem, tidak memperlihatkan adanya kesan bahwa kaum Arab memiliki seorang nabi sama sekali, atau bahkan menyebut mereka sebagai Muslim.