Pendahuluan
Dipenuhi Terang
Sejarah ?
Tidak seperti agama-agama lainnya dimana asal muasalnya dipenuhi
oleh misteri, [Islam] terlahir dipenuhi
dengan terang sejarah; akar-akarnya berada di permukaan. Kehidupan sang pendiri
dikenal oleh kita sebagai mana para reformis abad keenambelas. Kita bisa
mengikuti fluktuasi pemikirannya tahun demi tahun, kontradiksi-kontradiksi dan
kelemahannya.
—Ernest Renan, “Muhammad and the Origins
of Islam” (1851)
Bayang-bayang dan Cahaya
Apakah Muhamad pernah benar-benar ada? Ini adalah pertanyaan yang
hanya segelintir orang pernah pikirkan, atau berani tanyakan.
Selama hampir 1400 tahun sejak sang Nabi Islam ini dipercayai
pernah berjalan di muka bumi, hampir semua orang telah menganggap keberadaannya nyata. Lagi pula,
jejaknya dalam sejarah kemanusiaan benar-benar luar biasa.
Encyclopedia Britannica menganugerahkan dia “tokoh agama dan nabi yang paling berhasil.” Sejarawan
Michael H. Hart dalam bukunya di tahun 1978, The 100: A Ranking of the Most
Influential Persons in History, menempatkan Muhammad di tempat paling atas,
dengan menjelaskan : “Pilihan saya atas Muhammad sebagai yang paling atas dari
tokoh-tokoh yang paling berpengaruh di dunia mungkin akan mengejutkan sebagaian
pembaca , dan mungkin akan dipertanyakan oleh pihak lain, akan tetapi beliau
adalah satu-satunya manusia dalam sejarah yang benar-benar berhasil baik dalam
ranah agama maupun secular.”[1]
Sejarawan lain telah mencatat pertumbuhan luar biasa kekaisaran
Arab pada perioda segera setelah kematian Muhammad. Para penakluk Arab dengan
jelas terinspirasi oleh ajarannya, menciptakan sebuah kekaisaran yang kurang
dari seratus tahun telah terbentang dari Semenanjung Iberian ke India. Tidak hanya
kekaisaran itu benar-benar luas, tetapi juga pengaruh kulturalnya – juga yang
didasari atas ajaran Muhammad- telah bertahan juga.
Terlebih, literature Islam berisikan perkembangan materi biografis
yang luar biasa tentang Muhammad. Sejarawan Inggris W. Montgomery Watt dalam
dua volume biografi Muhammad dalam bahasa Inggris, Muhammad Muhammad at Mecca (1953) and Muhammad at Medina (1956) menyatakan bahwa detil catatan Islam tentang Muhammad saja,
ditambah dengan tampilan-tampilan negatif tentang kehidupannya, membuat cerita
itu masuk akal. [2]
Betapapun
tajamnya orang-orang akan berbeda pendapat tentang kebaikan dan sisi buruk
Muhammad, dan tentang nilai dari klaim-klaim profetiknya, jelas bahwa tak
seorangpun akan meragukan jika ia benar-benar seorang pribadi nyata yang hidup
di sebuah jaman tertentu dan tempat tertentu dan, utamanya, sebagai pendiri
dari salah satu agama terbesar di dunia.
Akan
tetapi bisakah seorang tokoh semacam itu ternyata tidak pernah benar-benar
hidup? Pada kenyataannya, terdapat alasan-alasan yang masuk akal yang
mempersoalkan historisitas Muhammad.
Sekalipun
kisah-kisah Muhammad, Qur’an, dan kisah-kisah awal Islam telah diterima secara
luas, namun ketika diteliti lebih dekat kisah-kisah itu terbukti sukar untuk
dipahami. Semakin kita melihat asal-usul Islam, semakin kita melihat berkurang
bukti-bukti penunjangnya.
Buku
ini mengeksplorasi persoalan-persoalan yang sekelompok kecil cendikia telah
angkat yakni masalah otentisitas historis dari catatan-catatan standar kehidupan
Muhammad dan karir kenabiannya. Sebuah tinjauan menyeluruh dari catatan-catatan
historisnya menyediakan tanda-tanda mengejutkan yang kebanyakan, jika tdak sama
sekali, bahwa apa yang kita ketahui tentang Muhammad adalah legenda belak,
bukan fakta historis. Dengan cara yang sama penyelidikan yang hati-hati
menyarankan bahwa Qur’an bukanlah sebuah kumpulan yang Muhammad hadirkan
sebagai wahyu dari sang Ilah Sejati namun ternyata dikonstruksi dari
materi-materi yang telah ada, kebanyakan darinya berasal dari tradisi Yahudi
dan Kristen.
Cendikia
abad 19 Ernest Renan secara percaya diri mengklaim bahwa Islam dilahirkan
dengan “ dipenuhi terang sejarah.” Namun kenyataannya, kisah sebenarnya
Muhammad, Qur’an dan Islam awal terbenam dalam-dalam di dalam bayang-bayang.
Sekaranglah waktunya mengupas semuanya itu di dalam terang.
Penyelidikan Sejarah Yang Mendalam
Mengapa
perlu melakukan pencarian semacam itu?
Iman
keagamaan, apapun iman keagamaan itu, merupakan sesuatu yang banyak orang
pegang kuat-kuat. Dalam kasus ini, banyak Muslim akan menganggap idea
mengaplikasikan penyelidikan sejarah yang mendalam terhadap kisah-kisah asal
usul Islam sebagai suatu penghinaan. Pencarian semacam itu akan menimbulkan
persoalan-persoalan tentang asumsi-asumsi fondasional dari sebuah sistem
keyakinan yang menuntun lebih dari satu milyar umat manusia.
Namun
pertanyaan-pertanyaan di buku ini tidak ditujukan sebagai serangan kepada
Muslim, melainkan pertanyaan-pertanyaan itu dihadirkan sebagai usaha untuk
membuat apa yang telah ada menjadi tampak jelas.
Islam
adalah iman yang diakarkan pada sejarah. Ia membuat klaim-klaim historis. Muhammad
dipercaya pernah hidup di suatu jaman dan mengkhotbahkan doktrin-doktrin
tertentu yang mana Allah pernah berikan padanya. Kejujuran dari klaim-klaim itu
terbuka, sampai suatu derajat tertentu, untuk diselidiki oleh analisa-analisa
sejarah. Benar atau tidak Muhammad menerima pesan dari Malaikat Jibril
merupakan masalah penilaian iman, namun apakah dia pernah benar-benar hidup
masuk ke dalam penyelidikan sejarah.
Islam
tidaklah unik dalam hal memancangkan klaim-klaimnya sebagai keimanan historis
atau mengarang-ngarang invstigasi historis. Namun Islam itu manakala ia tidak
pernah diselidiki lewat kritik historis dalam skala signifikan apapun. Baik
Yudaisme maupun Kekristenan telah menjadi subyek dari investigasi akademis yg
luas selama lebih dari dua abad.
Cendikia
Biblikal abad 19, Julius Wellhausen, dalam bukunya Prolegomena zur Geschichte Israels (Pendahuluan
terhadap Sejarah Israel), sebuah analisa
tekstual dan historis dari Taurat, telah merevolusi cara bagaimana banyak kaum
Yahudi dan Kristen memandang asal-usul kitab dan tradisi keagamaan mereka.
Menjelang diterbitkannya studinye oleh Wellhausen pada tahun 1882, metoda
kritik historis, atau disebut juga higher
criticism, telah berjalan selama lebih dari seratus tahun.
Upaya-upaya
akademis “pencarian Yesus historis” telah dimulah di abad 18, namun baru pada
abad 19-lah metoda higher criticism ini diperkenalkan ke publik. Teolog Jerman David Friedrich Strauss
(1808–1874) dalam bukunya Das Leben Jesu, kritisch bearbeitet (Kehidupan Yesus, Diuji Secara
Kritis) (1835) mengusulkan bahwa
mukjizat-mukjizat dalam injil sebenarnya adalah kejadian-kejadian natural yang
bagi orang-orang yang mudah percaya
menganggapnya sebagai mukjizat. Ernest Renan (1823–1892) dalam bukunya Vie de Jésus (Kehidupan Yesus) (1863) beranggapan bahwa kehidupan Yesus,
sebagaimana halnya manusia lainnya, harus secara terbuka diselidiki oleh
pengujian kritik dan historis. Kemudian para cendikia seperti halnya Rudolf
Bultmann (1884–1976) melahirkan keraguan keras akan nilai-nilai historis dari
Injil-injil. Beberapa cendikia menegaskan bahwa Injil-Injil kanonik dalam
Perjanjian Baru adalah produk dari umat Kristen abad kedua dan dengan demikian
kurang berisi nilai-nilai sejarah. Yang lainnya bahkan menyarankan bahwa Yesus
dari Nazaret tidak pernah benar-benar ada. [3]
Segera
para kritikus mazhab higher criticism ini, yang mempercayai penanggalan Injil-injil sebagai produk abad 2
menjadi minoritas. Konsensus yang muncul setelahnya menanggalkan bahwa
Injil-injil tersebut ditulis dalam kurun 40 – 60 tahun sesudah wafatnya Yesus
Kristus. Dari kurun waktu antara
kehidupan para pelaku utama dan saat publikasi kitab-kitab itu, banyak cendikia
menyimpulkan bahwa Injil-injil telah digelembungkan dengan materi-materi legenda.
Mereka mulai mencoba untuk berangkat, lewat bukti-bukti yang tersedia, untuk
menentukan siapa Yesus sebenarnya dan apa yang dia benar-benar katakan dan
lakukan.
Reaksi
dikalangan dunia Kristen sendiri beragama. Banyak kaum Kristen yang segera
menolak higher criticism sebagai upaya untuk meruntuhkan iman mereka. Beberapa
pihak mengkritik metoda ini karena skeptisisme dan keberpihakan berlebihan,
dengan menganggap bahwa investigas kritikal-historikal atas Injil-injil dan
historisitas Kristus sebagai usaha kaum kritikus untuk membenarkan ketidak
percayaan mereka. Akan tetapi yang lainnya lebih menerima. Kebanyakan
gereja-gereja Protestan seperti halnya Episkopalian, Presbytarian, Metodis
akhirnya meninggalkan dogma Kekristenan yang selama ini telah dipahami,
mendukung kekristenan yang nondogmatik dan berkonsentrasi pada karya-karya
kharitas daripada doktrin dan spritualitas kaku. Beberapa denominasi Kristen
lainnya (termasuk kelompok-kelompok sempalan dari 3 kelompok yang disebut di
atas) malah berbalik kepada fundamentaslisme, yang dalam formulasi awalnya
hanyalah sebuah bentuk penonjolan penentangan terhadap tantangan yg ditawarkan
oleh metoda higher criticism tentang historisitas Kelahiran Yesus dari Perawan
Maria, Kebangkitannya, dll.
Paus
Leo XIII mengutuk metoda higher criticism dalam surat ensikliknya ditahun 1893,
Providentissimus Deus, namun Sembilan tahun kemudian ia menetapkan Komisi
Biblikal Pontifikal yang diwajibkan memakai alat-alat dari higher criticism
untuk menyelidiki naskah-naskah kitab suci dalam sebuah konteks yang seiring
dengan iman katolik. Di tahun 1943 Paus Pius XII mendorong kajian kritis yang
lebih tinggi dalam surat ensiklik Divino
Afflante Spiritu. Gereja Katolik akhirnya bertekad bahwa
imannya bersifat historical dan kajian historis bukanlah musuh dari iman,
sepanjang investigasi-investigasi semacam itu bukan semata-mata menyediakan
skeptisisme radikal.
Metoda
higher criticsm jelas telah mentransformasi dunia Kekristenan, mengubah pandangan
beberapa komunitas Kristen utama dan secara radikal mengubah bagaimana pihak
lain mewujudkan iman mereka.
Hal
serupa, penyelidikan ke dalam asal-usul agama Yudaisme dan materi-materi historis
yang tertuang dalam naskah-naskah berbahasa Ibrani telah mempengaruhi tradisi
Yahudi. Dalam agama Yudaisme, sebagaimana dalam agama Kristen, tradisi-tradisi
berkembang yang menolak literalisme dan mengevaluasi kembali pelbagai elemen
ortodoksi tradisional.
Kaum
Yudaisme Reformis, seperti halnya denominasi Protestan Liberal, secara umum
menolak pemahaman tradisional dan literalisme yang mendasarinya.
Namun
demikian Yudaisme dan Kekristenan masih hidu, dan di banyak wilayah dunia ini
mereka masih berkembang. Mereka telah bertahan dari tantangan. Bisakah Islam
bertahan menghadapi tantangan kritikal
historis?
Tak seorangpun tahu, sebab Islam tidak pernah menerima perlakuan semacam ini dalam skala yang hampir sama.
Tak seorangpun tahu, sebab Islam tidak pernah menerima perlakuan semacam ini dalam skala yang hampir sama.
Mengapa
Islam dan tokoh utamanya dikecualikan dari penyelidikan sejarah sebagaimana
telah diterapkan pada agama-agama lain?
Kekuatan Legenda
Sebagai sesosok personal, Muhammad secara wajar loncat dari
teks-teks Islam paling awal yang tersedia. Mahluk macam apa yang dapat
membingkai manusia menakutkan ini? Siapa yang berani menciptakan tokoh yang
terlalu besar ini, begitu luar biasa dalam klaim-klaimnya, cintanya,
kebenciannya?
Sebagai tambahan, sampai sekarang hanya ada sedikit keraguan bahwa
unifikasi politik di tanah Arab terjadi di jaman dimana Muhammad diasumsikan
pernah hidup. Namun para akademisi
secara umum setuju bahwa para pejuang Arab mulai keluar dari dari tanah Arab
baru pada kwartal kedua di abad 7 M dan dalam seratus tahun telah menundukan
sebagian besar Timur Tengah, Afrika Utara, dan Persia dan telah memasuki India
dan Spanyol.
Akhirnya, tentu saja, Muhammad tanpa bisa disanggah telah membuat
pengaruh yang berlangsung lama dan contoh bagi dunia Islam.
Dengan ketiga poin di atas, detil potret Muhammad yang kaya telah mendasari literature Islam, dengan cara dimana ia nampaknya telah menginspirasi para penggantinya untuk mendirikan sebuah kekaisaran yang luas, dan warisannya yang bertahan lama sebagai seorang pendiri dari sebuah agama yang saat ini diklaim memiliki lebih dari 1 milyar pengikut – hanya sedikit yang pernah mempertanyakan apakah Muhammad pernah benar-benar hidup. Muslim dan non-muslim nampaknya sama-sama menganggap suatu kepastian bahwa dia pernah benar-benar hidup dan bahwa dia menggagas suatu keimanan yang kita sebut sebagai agama Islam. Saya memahami pengaruh dari kisah-kisah tradisional, sebab saya telah menghabiskan lebih dari 20 tahun mempelajari teologi, hokum, dan sejarah secara mendalam sebelum secara serious mempertimbangkan kehandalan dari apa yang sumber-sumber Islam awal katakana tentang apa yang Nabi Islam itu katakan dan perbuat.
Namun semakin saya menguji bukti-bukti yang dikumpulkan oleh para
akademisi yang telah berlelah-lelah menerapkan metode kritik historis terhadap
asal-usul Islam, semakin saya mengenali betapa sedikitnya bukti yang
mengkonfirmasi kisah-kisah yang selama ini dikanonkan. Di dalam buku saya di
tahun 2006, The Truth about Muhammad, sebuah
biografi yang didasarkan atas sumber-sumber Muslim awal yang tersedia, saya memperlihatkan
“kekurangan sumber-sumber awal yang terpercaya” dan meneliti bahwa “dari titik
pijak historis yang ketat, adalah tidak mungkin untuk menyatakan dengan yakin
bahwa sesosok laki-laki yang bernama
Muhammad pernah benar-benar hidup, atau meskipun ia pernah hidup, bahwa dia
melakukan banyak dari atau sebagian dari apa yang kisah-kisah itu tautkan
kepada dirinya.” Namun kemudian saya
katakan bahwa atas nama pelbagai alasan-alasan yang ada bahwa “ yah mungkin
saja dia memang pernah ada.” [4]
Begitu
jelasnya gambaran Muhammad yang muncul dari sumber-sumber Islam bukanlah
jaminan bahwa ia pernah benar-benar hidup. Dunia sastra penuh dengan
gambaran-gambaran yang tampak bisa dipercayai dan mendorong untuk diyakini dari
para tokoh yang tidak pernah ada namun personalitasnya sepenuhnya dibentuk dari
lembaran-lembaran kisah. Yang sedemikian itu apabila narasi fiksionalnya
disamarkan dalam kejadian-kejadian historis, tak seorangpun akan menganggapnya
keliru. Macbeth, raja Skotlandia, ada dalam drama Shakespeare secara mudahnya
sama koheren dan menggoda untuk dipercayai seperti halnya seorang tokoh seperti
Nabi Islam. Macbeth memang benar seorang raja nyata, namun catatan-catatan
historis yang tersedia menggambarkannya sebagai seorang tokoh yang jauh berbeda
dari tokoh karya Shakespeare yang antihero dan bermasalah. Novel karya Sir
Walter Scott, Ivanhoe, menggambarkan banyak kejadian historis secara akurat,
namun cerita primernya yang diceritakannya adalah fiksi. Robin Hood bisa jadi
seorang tokoh nyata, tetap tindakan-tindakan beraninya diselimuti oleh kabut
dongeng-dongeng. Ambilah contoh Robin Hood yang merampok kaum kaya dan
memberikannya pada kaum mikin dan pertimbangkan teman-temannya, Friar Tuck,
Sherwood Forest, dan yang lainnya sebagai tokoh legenda tambahan, dan sekarang
apa yang tersisa? Barangkali hanya setitik kebenaran dari apa yang mendorong
timbulnya ledenda-legenda ini, atau barangkali tidak ada sama sekali. Kita
mungkin tidak pernah tahu.
Penyelidikan
yang seksama atas bukti-bukti historis yang tersedia, atau setidaknya membuka
kemungkinan, bahwa kasus Muhammad mungkin mirip. Beberapa catatan awal memang
menyatakan bahwa seseorang bernama Muhammad pernah hidup, tetapi apa yang
mereka katakana tentang dia hanya membawa sedikit kemiripan dengan nabi Islam,
sang cahaya penuntun dan inspirasi bagi pasukan nomaden Arab yang berhamburan
keluar dari Arabia di tahun 630an dan melecutkan serangkaian penaklukan yang
secara sukses secara mengejutkan. Catatan tertua yang menceritakan kepada kita tentang
tokoh ini, jika catatan itu memang benar-benar membicarakan tentang dia sebagai
motif utamanya, benar-benar berbeda dengan kisah yang diceritakan dalam
teks-teks Islam awal, yang penanggalannya berasal dari beberapa dekade setelah
tahun dimana Muhammad dilaporkan meninggal.
Terlebih
lagi, catatan-catatan historis yang tersedia berisikan sejumlah teka-teki
mengejutkan dan anomali yang mengesankan bahwa kisah-kisah standar Islam
tentang Muhammad lebih merupakan legenda dari pada fakta. Nampaknya Muhammad –
jikapun ia benar-benar ada - jauh berbeda dari manusia sempurna dalam
hagiografi Islam.
Berdiri di atas Pundak Para Raksasa
Dalam
menulis buku ini, saya tidak bermaksud untuk menelurkan sebuah tatanan baru.
Malahan saya bermaksud untuk membawa perhatian publik yang lebih luas akan
karya dari sekumpulan kecil cendikia yang telah berani, bahkan sering
meresikokan pribadi dan profesi mereka sendiri, untuk menguji apa yang
diungkapkan oleh data historis yang tersedia tentang kisah-kisah kanonik asal-usul
Islam.
Buku
ini adalah buah dari riset-riset saya ke dalam karya-karya cendikia dari
generasi-generasi sebenarnya, diantaranya termasuk Ignaz Goldziher, Arthur
Jeffery, Henri Lammens, David S. Margoliouth, Alphonse Mingana, Theodor
Nöldeke, Aloys Sprenger, Joseph Schacht, dan Julius Wellhausen, begitu pula
para cendikia modern jaman ini seperti Suliman Bashear, Patricia Crone, Michael
Cook, Ibn Warraq, Judith Koren, Christoph Luxenberg, Günter Lüling, Yehuda
Nevo, Volker Popp, Ibn Rawandi, David S. Powers, and John Wansbrough.
Beberapa dari cendikia yang telah menyelidiki sejarah asal usul
Islam bahkan telah menerima ancaman kematian. Dan hasilnya, sebagian
mempublikasikannya lewat nama samara, termasuk para cendikia ranking atas
seperti halnya mereka yang memakai nama samaran Christoph Luxenberg dan Ibn
Warraq. Intimidasi semacam itu merupakan
rintangan bagi riset-riset akademis yang bahkan para kritikus Perjanjian Baru
tidak pernah temukan.
Investigasi atas asal-usul islam, meskipun usaha-usaha tersebut
sering diselimuti kesamaran, ternyata hampir setua investigasi perbandingan
Yudaisme dan Kekristenan. Seorang cendikia Jerman, Gustav Weil (1808–1889) telah pertama-tama
evaluasi kritik historis atas sumber-sumber Islam dalam Mohammed der prophet, sein Leben und sein
Lehre (Muhammad Sang Nabi, Hidup dan Ajarannya) (1843), namun dia hanya memiliki akses terbatas
kepada sumber-sumber tersebut. Weil mencatat dalam karya lainnya tentang Islam
bahwa “kebergantungan pada tradisi oral, pada suatu jaman dimana kisah-kisah
itu ditransmisikan lewat ingatan belaka, dan setiap hari tercipta perpecahan
baru di antara para ulama Islam, membuka kesempatan lebar akan distorsi dan
pengarang-karangan.” [5]
Ernest Renan, disamping segala entusiasmenya tentang historisitas
Muhammad, sesungguhnya telah mendekati sumber-sumber Islam dengan mata yang
kritis. Sambil menulis tentang Qur’an ia menunjukan bahwa “integritas sebuah
karya yang didasari atas ingatan akan masa yang telah lama berlalu tidak
mungkin bisa terpelihara dengan baik; tidak bisakah interpolasi-interpolasi
serta pengubahan-pengubahan telah
tersisipkan selama revisi yang berkelanjutan?” Namun Renan sendiri tidak
menginvestigasi kemungkinan itu lebih lanjut. Ia mundur darinya dan hanya
mengarah pada pernyataan tegas yang tak didukung bukti bahwa “bangunan sejarah Islam, Qur’an, tetap benar-benar
tidak terkalahkan, dan cukup bagi dirinya sendiri, mandiri dari catatan-catatan
sejarah lainnya tentang Muhamamd untuk disuguhkan kepada kita.”[6]
Sejarawan Skotlandia, William Muir (1819–1905) mempublikasikan
karyanya yang massif A Life of Mahomet dan History of Islam to the Era of the Hegira dalam empat volume antara tahun 1858 dan 1862.
Muir menyatakan skeptisisme tentang sebagia dari materi tentang Muhammad dalam
tradisi Islam, dengan menegaskan bahwa “bahkan tradisi yang didapat secara
terhormat seringkali kebanyakan berisikan
pelebih-lebihan dan dibesar-besarkan.” [7] Namun demikian, dalam karya biografi Muhammad yang luas itu
ia pada dasarnya mengambil sumber-sumber awal Islam secara umum, dengan
membuang sedikit atau tidak sama sekali bagian yang dianggap “dilebih-lebihkan
dan dibesar-besarkan.”
Yang lebih skeptik adalah Wellhausen (1844–1918), yang kajiannya
atas lima kitab Musa membawanya mengusulkan bahwa kitab-kitab ini bukan
produksi dari satu sumber belaka melainkan empat sumber yang berbeda yang telah
dikombinasikan oleh para editor dikemudian hari. Ia menerapkan analisis yang
sama terhadap sumber-sumber hadist Islam. Hadist, yang secara literal berarti
“laporan-laporan”, adalah kumpulan perkataan dan perbuatan Muhammad yang
membentuk fondasi praktek dan hokum Islam. Wellhausen mencoba untuk membedakan
periwayat hadist yang bisa dipercaya dari periwayat lainnya yang kurang bisa
dipercaya. [8]
Aloys
Sprenger (1813–1893), seorang cendikia dari Austria, member sumbangsih luar
biasa terhadap kajian asal-usul Islam dengan menemukan teks-teks panjang Islam
yang selama ini dianggap telah hilang, termasuk biografi Muhammad karya Ibnu
Hisham di abad ke-9. Demikian pula Sprenger meragukan akurasi historis dari
sebagian hadist.
Ignaz Goldziher (1850-1921) seorang Hungaria yang mempioniri
bidang ini bahkan melakukan investigasi lebih lanjut. Ia menyimpulkan bahwa
kemunculan kumpulan hadist-hadist benar-benar terlambat dan jauh dari jaman
dimana Muhammad pernah hidup. Bersamaan dengan penyebaran kaum Muslim, ada
kecenderungan untuk menciptakan cerita-cerita palsu tentang Muhammad yang
digambarkan mendukung posisi politik atau praktek keagamaan, yang membuatnya secara
jelas tidak mungkin selaras dengan Hadist, yang terdiri dari banyak volume
secara historis tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Layak dicatat bahwa Godlziher, meskipun dia tidak pernah berpindah
iman kepada Islam, memiliki kecintaan yang kuat akan iman Islam. Sebagai
seorang pemuda dia singgah di Damaskus dan Kairo dan mulai mengagumi Islam
dengan penuh semangat ia menulis di catatan harianya: “Dalam hati ini aku yakin
bahwa batinku ini seorang muslim.” Di Kairo ia memasuki sebuah masjid dan
berdoa seperti seorang Muslim: “ Ditengah-tengah ribuan orang saleh, aku
menempelkan dahiku ke lantai mesjid. Tidak pernah dalam hidupku aku begitu
taat, lebih taat dari pada Jumat suci itu.” [9]
Kelihatannya aneh bahwa kemudian Goldziher akan menelurkan
keraguan ilmiah akan kesejarahan seluruh korpus dari Hadist. Namun ia tidak
memaksudkan kesimpulannya untuk merusak iman Islam. Malahan, ia berharap bahwa
ia akan memimpin pada sebuah evaluasi kritikal pada Hadist sebagaimana
hadist-hadist itu adanya, bukan sebagai sumber informasi historis, sebagaimana
dianggap orang selama ini, namun sebagai indikasi bagaiman hukum dan praktek
ritual Islam berkembang. Ia berharap, dengan kata lain, bahwa temuan-temuan
ilmiah akan memimpin pada pemahaman yang penuh akan asal-usul islam dan dengan
demikian secara positif mempengaruhi karakter di jaman sekarang.
Demikian juga keraguan akan legitimasi historis akan teks-teks
awal Islam digagas oleh seorang sarjana Itali di Timur Tengah, Prince Leone
Caetani, Bangsawan Sermoneta (1869–1935). Caetani menyimpulkan bahwa “kita
hampir tidak dapat menemukan apa-apa yang benar tentang Muhammad dalam
Tradisi(yakni Hadist, Sirah, Sunnah). Kita dapat menganggapnya sebagai apokrifa
(dokumen-dokumen meragukan) semua materi tradisional yang kita miliki.” [10]
Kolega sejamannya Henri Lammens (1862– 1937), seorang imam
berdarah Flemish dari tarikat Jesuit, membuat sebuah kajian kritis atas tradisi
Islam tentang Muhammad, yang diantaranya menelurkan keraguan tanggal kelahiran
dan kematian Muhammad. Lammens mengaris
bawahi “karakter artifisal dan ketiadaan logika kritis” dalam kumpulan awal
biografi nabi Islam, walaupun ia mengingatkan bahwa “tidak perlu menolak
seluruh bangunannya.” [11]
Joseph Schacht (1902–1969), seorang cendikia terkemuka di dunia Barat
dalam bidang hukum Islam, menuliskan sebuah kajian asal-usul hukum Islam dimana
ia menelitik bahwa “bahkan korpus klasikal’ dari Hadis “berisi sejumlah besar
tradisi yang tidak mungkin otentik. Semua usaha untuk mengekstraks kisah-kisah
darinya seringkali mengandung sejumlah besar kontradiksi satu sama lain. Apa
yang selama ini disebut sebagai intuisi historis terbukti telah gagal.” Schacht
mendukung temuan-temuan Goldziher bahwa “sebagian besar tradisi dari Nabi
adalah dokumen-dokumen yang bukan berasal dari jaman sang Nabi seperti yang
selama ini diklaim, namun merupakan suatu tahap berkelanjutan dari pengembangan
doktrin-doktrin selama abad pertama Islam.”
Namun bahkan Schacht melangkah lebih jauh dari argumen-argumen
Goldziher, termasuk, contohnya, bahwa “sejumlah besar tradisi dalam kumpulan
klasik dan kumpulan lainnya, diedarkan ke publik hanya setelah jaman Shafii
(seorang Imam dan ahli hukum/ fiqh, wafat tahun 820 M); sejumlah tradisi fiqh
pertama yang berisikan hukum-hukum dari Nabi ternyata berasal dari pertengahan
abad kedua Islam,” dan “bukti dari tradisi fiqg membawa kita kembali hanya
sampai ke tahun 100 H,” yaitu dekade pertama abad ke-8M, dan tidak lebih dekat
lagi ke masa dimana Muhammad dipercaya pernah hidup. [12]
John
Wansbrough (1928–2002), seorang sejarawan berkebangsaan Amerika yang mengajar
di University of London, menjelaskan karya-karya cendika terdahulu yang
meragukan nilai historis dari teks-teks Islam awal. Dalam karyanya yang
kompleks dan mengguncang, Wansbrough mendalilkan bahwa Qur’an dikembangkan
utamanya untuk menegakan asal usul Islam di tanah Arabia dan bahwa Hadist
dikarang-karang untuk member Kekaisaran
Arab suatu agama yang berbeda demi untuk memperkuat stabilitas dan kesatuannya.
Terpengaruh oleh hal ini, sejarawan Patricia Crone, anak didik
Wansbrough, dan Michael Cook, anak didik sejarawan Timur Tengah terkenal
Bernard Lewis, mempublikasikan buku yang terkenal controversial Hagarism: The Making of the Islamic World
(1977). Sepertihalnya para
pendahulu mereka, Crone dan Cook mencatat keterlambatan dan ketidakhandalan banyaknya
sumber-sumber Islam awal tentang Muhammad dan asal-usul Islam. Tujuan mereka
adalah untuk merekonstruksi kemabli kelahiran dan perkembangan awal agama ini
dengan cara mengujinya dengan catatan-catatan filologikal, arkaelogikal, dan
historikal yang tersedia tentang Islam awal, termasuk koin-koin yang dicetak di
wilayah tersebut selama abad tujuh dan delapan dan prasasti-prasasti resmi
tertanggal di jaman itu. “Selama ini kita telah berangkat dari suatu
kesembronoan,” mereka tuliskan, “dengan menciptakan sebuah arsitektonis koheren
dari idea-idea dalam suatu bidang yang kebanyakan cendikia belum gali.” [13]
Crone dan Cook mengusulkan bahwa Islam muncul sebagai gerakan
dalam lingkaran Yudaisme namun berpusatkan pada Abraham dan anaknya Ismail
lewat gundiknya Hajar, sebab banyak sumber non-Muslim paling awal merujuk
kepada kaum Arab ini tidak sebagai “Muslim” melainkan sebagai kaum “Hagarian
atau Hagarin”. Geraka ini, demi untuk alasan yang beragama, terpisah dari
Yudaisme di dekade terakhir abad ketujuh dan mulai berkembang ke dalam apa yang
akhirnya menjadi agama Islam.
Pada tahun 1987 Crone mempublikasikan bukunya Meccan Trade and the Rise of Islam, dimana ia mendemonstrasikan salah satu fondasi
penting biografi kanonikal Islam tentang Muhammad yaitu setting / latar
panggung Arab, dengan mekkah sebagai pusat perdagangan tidak didukung oleh
catatan-catatan sejamannya. Ia memperlihatkan bahwa catatan-catatan sejaman
mengindikasikan bahwa Mekkah bukanlah pusat perdagangan apapun. Crone, seperti
halnya Wansbrough, melihat latar panggung Islam sebagai pembacaan kembali ke
dalam literatur keagamaan di masa yang terkemudian yang ditulis untuk
tujuan-tujuan politik.
Namun kemudian Crone menegaskan, “bukti bahwa seorang nabi aktif
diantara kaum Arab di awal abad 7M, dipermulaan penaklukan Timur Tengah oleh
bangsa Arab dianggap terlalu luar biasa.” Ia menambahkan bahwa “kita bisa yakin
sekali bahwa Qur’an adalah koleksi ucapan yang dibuat dalam kerangka keyakinan
bahwa teks-teks ini diwahyukan kepada Muhammad.” Sekalipun pernyataan ini
menghadirkan pandangan yang berbeda dengan posisi awalnya tentang asal usul Islam, namun ia tidak menghadirkan
penemuan baru atau bukit-bukti baru untuk menyokong perubahan pendapatanya.
Malahan ia meninggalkan pendapat awalnya dan bukti-bukti yang dulu dihadirkan
tetap tak tersentuh. Crone masih mengakui bahwa “banyak detil lain tentang
Muhammad masih tidak pasti,” dengan memperlihatkan bahwa sumber-sumber Islam paling
awal tentang kehidupan Muhammad dari “berasal dari kira-kira empat atau lima
generasi setelah kematiannya,” dan bahwa dalam kasus tertentu hanya sedikit
cendikia yang menganggap sumber-sumber ini “bisa sejalan dengan catatan-catatan
sejarah.” [14]Ketidakpastian ini, bersamaan dengan bukti-bukti profokatif yang
Crone sendiri hadirkan dalam buku-buku awalnya, menginspirasikan sejumlah
cendikia lain untuk melanjutkan investigasi ke dalam historisitas Muhammad.
Sementara
itu, para cendikia jaman moderen telah melakukan pengujian kritikal yang dekat
denga teks-teks Qur’anik itu sendiri. Seorang teolog Jerman Günter Lüling
menyatakan bahwa Qur’an orsinil bukanlah sebuah teks Islam sama sekali,
melainkan dokumen kaum Kristen pra Islam. Pengujian yang dekat akan keanehan
teks dan sejumlah anomali dalam quran telah memperlihatkan tanda-tanda bahwa
Qur’an memiliki fondasi Kekristenan. Lüling percaya bahwa Qur’an mencerminkan
teologi sekte Kristen non-Trinitarian yang telah meninggalkan jejak dalam
teologi Islam, secara khusus dalam penggambarannya akan Kristus dan
unitarianisme yang tak pandang kompromi.
Seorang
cendikia dengan nama samara Christoph Luxenberg, walaupun ia dalam berbaca cara
berbeda dengan metoda dan kesimpulang Lüling, tetap setuju bahwa Qur’an
menunjukan tanda-tanda berisikan sebuah substratum/ lapisan dasar Kekristenan.
Luxenberg berargumen bahwa banyak kata-kata dan frasa yang memusingkan dalam
Qur’an menjadi jelas hanya dengan merujuk pada bahasa Syriak, sebuah dialek
Aramaik yang menjadi bahasa kesusastraan di wilayah pada saat Qur’an
dikumpulkan. Lewat metoda ini ia telah tiba pada sejumlah kesimpulan
mengejutkan. Beberapa dari temuannya telah mendapatkan perhatian internasional.
Yang paling mencolok adalah bacaan Qur’an termasyur tentang janji para perawan
surga bagi para jihadis Islam yang dalam bacaan itu ternyata tidak merujuk pada
para perawan-perawan surga,melainkan sebagai “kismis” atau “buah anggur”,
seperti yang ia sarankan.
Dalam
menuliskan buku ini saya telah secara luas mendasarkannya khususnya pada
karya-karya awal Crone, Luxenberg, Lüling, Popp, dan Powers, dengan
berkali-kali menengok kembali karya-karya cendikia yang lebih dahulu terutama
Goldziher.
Reaksi dari kaum Muslim terhadap rekonstruksi sejarah awal Islam
dari kaum revisionis nampak bervariasi. Beberapa telah mencoba untuk menyangkal
pelbagai temuan dari sejarawan revisinis. [15] Contohnya Professor Ahmad Ali al-Imam telah
mempublikasikan ished sebuah buku panjang tentang pengujian varian-varian teks
Qur’an. Ia menjelaskan bahwa semua varian itu merujuk pada tradisi Islam yang
mana detil tujuh gaya pembacaan Qur’an;
ia berkesimpulan bahwa itu memperlihatkan lengkapnya dan mampu dipercayanya
Qur’an. [16]
Sementara itu Professor Muhammad Sven Kalisch, seorang Jerman yang
berpindah iman ke dalam Islam dan menjadi professor Jerman pertama dalam
teologi Islam di Jerman, menyelidiki karya para kritikus historis Islam dan
berkesimpulan bahwa Muhammad tidak pernah hidup dalam bentu dimana teks-teks
Islam gambarkan tentangnya. [17] Ia akhirnya meninggalkan iman Islamnya. [18] Secara kontras, Khaled Abou El Fadl, seorang professor hukum di
University of California, Los
Angeles, telah bereaksi dengan amarah terhadap kritisisme
historikal Islam dengan menyebutnya “fanatisme.” Abou El Fadl menyebut Ibn
Warraq sebagai “tokoh menyedihkan” juga sebagai “sebuah kekosongan dan
kebosanan intelektual belaka.” Ia menuduh cendikia Daniel Pipes dalam
menceritakan kembali karya para kritik secara gembira “membongkar Beban Laki-laki
Kulit Putih.” Ia bahkan mengklaim bahwa “revisionism, seperti halnya semua
bentuk fanatisme baru atau sudah lama, bersandar pada beberpa asumsi aneh.
Asumsi pertama adalah bahwa kaum Muslim tanpa kecuali telah berbohong… dan
tidak bisa membedakan mana fiksi dan mana fakta.”[19]
Namun
kasusnya sama sekali tidaklah demikian.Pencarian akademis ke dalam asal-usul
Islam tidak didasarkan pada asumsi bahwa Muslim tidak mampu membedakan mana
fiksi dan mana fakta. Masalahnya terletak pada apakah legenda ditambahkan pada
catatan historis sampai suatu derajat dimana ia tidak mungkin bisa dibedakan
lagi yang mana legenda dan yang mana fakta.
Perkembangbiakan
detail bersifat legenda ini bukanlah fenomena yang asing bagi Muslim, ia telah
berlangsung termasuk pada kehidupan sejumlah tokoh historis yang perbuatan
aktualnya terlupakan namun telah menjadi pahlawan legendaries yang diceritakan
dan diceritakan ulang sampai saat ini.
Para
cendikia yang melakukan investigasi asal usul Islam tidak dimotivasi oleh
kebencian, fanatisme, atau rasisme, namun kerinduan untuk menemukan kebenaran.
Mereka inilah para cendikia yang mendasarkan fondasi bagi eksplorasi dalam buku
ini.
Catatan :
1 Michael H. Hart, The 100: A Ranking of the Most
Influential Persons in History (New York: Hart Publishing, 1978), 33.
2 W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca (Oxford: Oxford University Press, 1953); Muhammad at Medina (Oxford: Oxford
University Press, 1956).
3 For an illuminating
discussion of the effect of higher criticism on the various Christian
confessions, see Jaroslav Pelikan, Christian
Doctrine and Modern Culture (since 1700) (Chicago: University of Chicago Press, 1989).
4 Robert Spencer, The Truth about Muhammad (Washington, DC: Regnery, 2006), 9, 31.
5 Gustav Weil, Geschichte der Chalifen, vol. 2 (Mannheim, 1846–51), 290, trans.
William Muir, The Life of Mahomet, one-volume
edition (London, 1894), xli–xlii (quoted in Ibn Warraq, ed., The Quest for the Historical Muhammad [Amherst, NY: Prometheus, 2000],
44).
6 Quoted in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 16.
7 Muir, The Life of Mahomet, xli–xlii (quoted in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 44).
8 The word hadith's Arabic plural is ahadith, and this is found in much English-language Muslim literature.
But to avoid confusing
English-speaking readers, I have used the English plural form
“hadiths.”
9 Quoted in Raphel Patai, Ignaz Goldziher and His Oriental Diary (Detroit: Wayne State University Press, 1987),
28 (quoted in
Martin Kramer, “Introduction,” in The Jewish Discovery of Islam: Studies in
Honor of Bernard Lewis, ed.
Martin Kramer [Syracuse:
Syracuse University Press, 1999], 1–48, republished online at http://www.martinkramer.org/sandbox/reader/archives/the-jewishdiscovery-
of-islam/#n38).
10 Quoted in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 46.
11 Henri Lammens, “The Age of
Muhammad and the Chronology of the Sira,” in Ibn Warraq, The Quest for the Historical
Muhammad, 206.
12 Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press, 1950), 4–5.
13 Patricia Crone and Michael
Cook, Hagarism: The Making
of the Islamic World (Cambridge: Cambridge
University Press,
1977), vii.
14 Patricia Crone, “What Do We
Actually Know About Muhammad?,” Open Democracy, August
31, 2006,
http://www.opendemocracy.net/faith-europe_islam/mohammed_3866.jsp.
15 For an example of the
nature of such responses, see Amaal Muhammad Al-Roubi, A Response to Patricia Crone's Book
(“Meccan Trade and the Rise of Islam”), www.sultan.org/books/Patricia_crone_english_reply.pdf.
16 Ahmad Ali Al-Imam, Variant Readings of the Qur'an: A
Critical Study of Their Historical and Linguistic Origins
(Washington, DC: International Institute of Islamic Thought,
2006), 112.
17 Andrew Higgins, “Professor
Hired for Outreach to Muslims Delivers a Jolt,” Wall Street Journal, November 15, 2008.
18 “Islam Scientist Kalisch No
Longer Muslim,” Politically
Incorrect, April 22, 2010, http://www.pi-news.org/2010/04/islamscientist-
kalisch-no-longer-muslim/.
19 Khaled Abou El Fadl, “On
Revising Bigotry,” Scholar of the House, n.d., http://www.scholarofthehouse.org/onrebi.html.