Saturday 3 August 2013

Pendahuluan

Dipenuhi Terang Sejarah ?


Tidak seperti agama-agama lainnya dimana asal muasalnya dipenuhi oleh misteri, [Islam]  terlahir dipenuhi dengan terang sejarah; akar-akarnya berada di permukaan. Kehidupan sang pendiri dikenal oleh kita sebagai mana para reformis abad keenambelas. Kita bisa mengikuti fluktuasi pemikirannya tahun demi tahun, kontradiksi-kontradiksi dan kelemahannya.  
—Ernest Renan, “Muhammad and the Origins of Islam” (1851)


Bayang-bayang dan Cahaya

Apakah Muhamad pernah benar-benar ada? Ini adalah pertanyaan yang hanya segelintir orang pernah pikirkan, atau berani tanyakan.

Selama hampir 1400 tahun sejak sang Nabi Islam ini dipercayai pernah berjalan di muka bumi, hampir semua orang telah  menganggap keberadaannya nyata. Lagi pula, jejaknya dalam sejarah kemanusiaan benar-benar luar biasa.

Encyclopedia Britannica menganugerahkan dia  “tokoh agama dan nabi yang paling berhasil.” Sejarawan Michael H. Hart dalam bukunya di tahun 1978, The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, menempatkan Muhammad di tempat paling atas, dengan menjelaskan : “Pilihan saya atas Muhammad sebagai yang paling atas dari tokoh-tokoh yang paling berpengaruh di dunia mungkin akan mengejutkan sebagaian pembaca , dan mungkin akan dipertanyakan oleh pihak lain, akan tetapi beliau adalah satu-satunya manusia dalam sejarah yang benar-benar berhasil baik dalam ranah agama maupun secular.”[1]

Sejarawan lain telah mencatat pertumbuhan luar biasa kekaisaran Arab pada perioda segera setelah kematian Muhammad. Para penakluk Arab dengan jelas terinspirasi oleh ajarannya, menciptakan sebuah kekaisaran yang kurang dari seratus tahun telah terbentang dari Semenanjung Iberian ke India. Tidak hanya kekaisaran itu benar-benar luas, tetapi juga pengaruh kulturalnya – juga yang didasari atas ajaran Muhammad- telah bertahan juga.

Terlebih, literature Islam berisikan perkembangan materi biografis yang luar biasa tentang Muhammad. Sejarawan Inggris W. Montgomery Watt dalam dua volume biografi Muhammad dalam bahasa Inggris, Muhammad  Muhammad at Mecca (1953) and Muhammad at Medina (1956) menyatakan bahwa detil catatan Islam tentang Muhammad saja, ditambah dengan tampilan-tampilan negatif tentang kehidupannya, membuat cerita itu masuk akal. [2]

Betapapun tajamnya orang-orang akan berbeda pendapat tentang kebaikan dan sisi buruk Muhammad, dan tentang nilai dari klaim-klaim profetiknya, jelas bahwa tak seorangpun akan meragukan jika ia benar-benar seorang pribadi nyata yang hidup di sebuah jaman tertentu dan tempat tertentu dan, utamanya, sebagai pendiri dari salah satu agama terbesar di dunia.

Akan tetapi bisakah seorang tokoh semacam itu ternyata tidak pernah benar-benar hidup? Pada kenyataannya, terdapat alasan-alasan yang masuk akal yang mempersoalkan historisitas Muhammad. 

Sekalipun kisah-kisah Muhammad, Qur’an, dan kisah-kisah awal Islam telah diterima secara luas, namun ketika diteliti lebih dekat kisah-kisah itu terbukti sukar untuk dipahami. Semakin kita melihat asal-usul Islam, semakin kita melihat berkurang bukti-bukti penunjangnya.     

Buku ini mengeksplorasi persoalan-persoalan yang sekelompok kecil cendikia telah angkat yakni masalah otentisitas historis dari catatan-catatan standar kehidupan Muhammad dan karir kenabiannya. Sebuah tinjauan menyeluruh dari catatan-catatan historisnya menyediakan tanda-tanda mengejutkan yang kebanyakan, jika tdak sama sekali, bahwa apa yang kita ketahui tentang Muhammad adalah legenda belak, bukan fakta historis. Dengan cara yang sama penyelidikan yang hati-hati menyarankan bahwa Qur’an bukanlah sebuah kumpulan yang Muhammad hadirkan sebagai wahyu dari sang Ilah Sejati namun ternyata dikonstruksi dari materi-materi yang telah ada, kebanyakan darinya berasal dari tradisi Yahudi dan Kristen.  

Cendikia abad 19 Ernest Renan secara percaya diri mengklaim bahwa Islam dilahirkan dengan “ dipenuhi terang sejarah.” Namun kenyataannya, kisah sebenarnya Muhammad, Qur’an dan Islam awal terbenam dalam-dalam di dalam bayang-bayang. Sekaranglah waktunya mengupas semuanya itu di dalam terang.


Penyelidikan Sejarah Yang Mendalam

Mengapa perlu melakukan pencarian semacam itu?

Iman keagamaan, apapun iman keagamaan itu, merupakan sesuatu yang banyak orang pegang kuat-kuat. Dalam kasus ini, banyak Muslim akan menganggap idea mengaplikasikan penyelidikan sejarah yang mendalam terhadap kisah-kisah asal usul Islam sebagai suatu penghinaan. Pencarian semacam itu akan menimbulkan persoalan-persoalan tentang asumsi-asumsi fondasional dari sebuah sistem keyakinan yang menuntun lebih dari satu milyar umat manusia.

Namun pertanyaan-pertanyaan di buku ini tidak ditujukan sebagai serangan kepada Muslim, melainkan pertanyaan-pertanyaan itu dihadirkan sebagai usaha untuk membuat apa yang telah ada menjadi tampak jelas.

Islam adalah iman yang diakarkan pada sejarah. Ia membuat klaim-klaim historis. Muhammad dipercaya pernah hidup di suatu jaman dan mengkhotbahkan doktrin-doktrin tertentu yang mana Allah pernah berikan padanya. Kejujuran dari klaim-klaim itu terbuka, sampai suatu derajat tertentu, untuk diselidiki oleh analisa-analisa sejarah. Benar atau tidak Muhammad menerima pesan dari Malaikat Jibril merupakan masalah penilaian iman, namun apakah dia pernah benar-benar hidup masuk ke dalam penyelidikan sejarah.
Islam tidaklah unik dalam hal memancangkan klaim-klaimnya sebagai keimanan historis atau mengarang-ngarang invstigasi historis. Namun Islam itu manakala ia tidak pernah diselidiki lewat kritik historis dalam skala signifikan apapun. Baik Yudaisme maupun Kekristenan telah menjadi subyek dari investigasi akademis yg luas selama lebih dari dua abad.

Cendikia Biblikal abad 19, Julius Wellhausen, dalam bukunya Prolegomena zur Geschichte Israels (Pendahuluan terhadap Sejarah Israel), sebuah analisa tekstual dan historis dari Taurat, telah merevolusi cara bagaimana banyak kaum Yahudi dan Kristen memandang asal-usul kitab dan tradisi keagamaan mereka. Menjelang diterbitkannya studinye oleh Wellhausen pada tahun 1882, metoda kritik historis, atau disebut juga higher criticism, telah berjalan selama lebih dari seratus tahun.

Upaya-upaya akademis “pencarian Yesus historis” telah dimulah di abad 18, namun baru pada abad 19-lah metoda higher criticism ini diperkenalkan ke publik. Teolog Jerman David Friedrich Strauss
(1808–1874) dalam bukunya Das Leben Jesu, kritisch bearbeitet (Kehidupan Yesus, Diuji Secara Kritis) (1835) mengusulkan bahwa mukjizat-mukjizat dalam injil sebenarnya adalah kejadian-kejadian natural yang bagi orang-orang yang mudah  percaya menganggapnya sebagai mukjizat. Ernest Renan (1823–1892) dalam bukunya Vie de Jésus (Kehidupan Yesus) (1863) beranggapan bahwa kehidupan Yesus, sebagaimana halnya manusia lainnya, harus secara terbuka diselidiki oleh pengujian kritik dan historis. Kemudian para cendikia seperti halnya Rudolf Bultmann (1884–1976) melahirkan keraguan keras akan nilai-nilai historis dari Injil-injil. Beberapa cendikia menegaskan bahwa Injil-Injil kanonik dalam Perjanjian Baru adalah produk dari umat Kristen abad kedua dan dengan demikian kurang berisi nilai-nilai sejarah. Yang lainnya bahkan menyarankan bahwa Yesus dari Nazaret tidak pernah benar-benar ada. [3]


Segera para kritikus mazhab higher criticism ini, yang mempercayai  penanggalan Injil-injil sebagai produk abad 2 menjadi minoritas. Konsensus yang muncul setelahnya menanggalkan bahwa Injil-injil tersebut ditulis dalam kurun 40 – 60 tahun sesudah wafatnya Yesus Kristus.  Dari kurun waktu antara kehidupan para pelaku utama dan saat publikasi kitab-kitab itu, banyak cendikia menyimpulkan bahwa Injil-injil telah digelembungkan dengan materi-materi legenda. Mereka mulai mencoba untuk berangkat, lewat bukti-bukti yang tersedia, untuk menentukan siapa Yesus sebenarnya dan apa yang dia benar-benar katakan dan lakukan.

Reaksi dikalangan dunia Kristen sendiri beragama. Banyak kaum Kristen yang segera menolak higher criticism sebagai upaya untuk meruntuhkan iman mereka. Beberapa pihak mengkritik metoda ini karena skeptisisme dan keberpihakan berlebihan, dengan menganggap bahwa investigas kritikal-historikal atas Injil-injil dan historisitas Kristus sebagai usaha kaum kritikus untuk membenarkan ketidak percayaan mereka. Akan tetapi yang lainnya lebih menerima. Kebanyakan gereja-gereja Protestan seperti halnya Episkopalian, Presbytarian, Metodis akhirnya meninggalkan dogma Kekristenan yang selama ini telah dipahami, mendukung kekristenan yang nondogmatik dan berkonsentrasi pada karya-karya kharitas daripada doktrin dan spritualitas kaku. Beberapa denominasi Kristen lainnya (termasuk kelompok-kelompok sempalan dari 3 kelompok yang disebut di atas) malah berbalik kepada fundamentaslisme, yang dalam formulasi awalnya hanyalah sebuah bentuk penonjolan penentangan terhadap tantangan yg ditawarkan oleh metoda higher criticism tentang historisitas Kelahiran Yesus dari Perawan Maria, Kebangkitannya, dll.

Paus Leo XIII mengutuk metoda higher criticism dalam surat ensikliknya ditahun 1893, Providentissimus Deus, namun Sembilan tahun kemudian ia menetapkan Komisi Biblikal Pontifikal yang diwajibkan memakai alat-alat dari higher criticism untuk menyelidiki naskah-naskah kitab suci dalam sebuah konteks yang seiring dengan iman katolik. Di tahun 1943 Paus Pius XII mendorong kajian kritis yang lebih tinggi dalam surat ensiklik Divino Afflante Spiritu. Gereja Katolik akhirnya bertekad bahwa imannya bersifat historical dan kajian historis bukanlah musuh dari iman, sepanjang investigasi-investigasi semacam itu bukan semata-mata menyediakan skeptisisme radikal.

Metoda higher criticsm jelas telah mentransformasi dunia Kekristenan, mengubah pandangan beberapa komunitas Kristen utama dan secara radikal mengubah bagaimana pihak lain mewujudkan iman mereka.  

Hal serupa, penyelidikan ke dalam asal-usul agama Yudaisme dan materi-materi historis yang tertuang dalam naskah-naskah berbahasa Ibrani telah mempengaruhi tradisi Yahudi. Dalam agama Yudaisme, sebagaimana dalam agama Kristen, tradisi-tradisi berkembang yang menolak literalisme dan mengevaluasi kembali pelbagai elemen ortodoksi tradisional.

Kaum Yudaisme Reformis, seperti halnya denominasi Protestan Liberal, secara umum menolak pemahaman tradisional dan literalisme yang mendasarinya.

Namun demikian Yudaisme dan Kekristenan masih hidu, dan di banyak wilayah dunia ini mereka masih berkembang. Mereka telah bertahan dari tantangan. Bisakah Islam bertahan menghadapi  tantangan kritikal historis?

Tak seorangpun tahu, sebab Islam tidak pernah menerima perlakuan semacam ini dalam skala yang hampir sama. 

Mengapa Islam dan tokoh utamanya dikecualikan dari penyelidikan sejarah sebagaimana telah diterapkan pada agama-agama lain?


Kekuatan Legenda

Sebagai sesosok personal, Muhammad secara wajar loncat dari teks-teks Islam paling awal yang tersedia. Mahluk macam apa yang dapat membingkai manusia menakutkan ini? Siapa yang berani menciptakan tokoh yang terlalu besar ini, begitu luar biasa dalam klaim-klaimnya, cintanya, kebenciannya? 
Sebagai tambahan, sampai sekarang hanya ada sedikit keraguan bahwa unifikasi politik di tanah Arab terjadi di jaman dimana Muhammad diasumsikan pernah hidup.  Namun para akademisi secara umum setuju bahwa para pejuang Arab mulai keluar dari dari tanah Arab baru pada kwartal kedua di abad 7 M dan dalam seratus tahun telah menundukan sebagian besar Timur Tengah, Afrika Utara, dan Persia dan telah memasuki India dan Spanyol.   

Akhirnya, tentu saja, Muhammad tanpa bisa disanggah telah membuat pengaruh yang berlangsung lama dan contoh bagi dunia Islam.

Dengan ketiga poin di atas, detil potret Muhammad yang kaya telah mendasari literature Islam, dengan cara dimana ia nampaknya telah menginspirasi para penggantinya untuk mendirikan sebuah kekaisaran yang luas, dan warisannya yang bertahan lama sebagai seorang pendiri dari sebuah agama yang saat ini diklaim memiliki lebih dari 1 milyar pengikut – hanya sedikit yang pernah mempertanyakan apakah Muhammad pernah benar-benar hidup. Muslim dan non-muslim nampaknya sama-sama menganggap suatu kepastian bahwa dia pernah benar-benar hidup dan bahwa dia menggagas suatu keimanan yang kita sebut sebagai agama Islam. Saya memahami pengaruh dari kisah-kisah tradisional, sebab saya telah menghabiskan lebih dari 20 tahun mempelajari teologi, hokum, dan sejarah secara mendalam sebelum secara serious mempertimbangkan kehandalan dari apa yang sumber-sumber Islam awal katakana tentang apa yang Nabi Islam itu katakan dan perbuat. 

Namun semakin saya menguji bukti-bukti yang dikumpulkan oleh para akademisi yang telah berlelah-lelah menerapkan metode kritik historis terhadap asal-usul Islam, semakin saya mengenali betapa sedikitnya bukti yang mengkonfirmasi kisah-kisah yang selama ini dikanonkan. Di dalam buku saya di tahun 2006,  The Truth about Muhammad, sebuah biografi yang didasarkan atas sumber-sumber Muslim awal yang tersedia, saya memperlihatkan “kekurangan sumber-sumber awal yang terpercaya” dan meneliti bahwa “dari titik pijak historis yang ketat, adalah tidak mungkin untuk menyatakan dengan yakin bahwa  sesosok laki-laki yang bernama Muhammad pernah benar-benar hidup, atau meskipun ia pernah hidup, bahwa dia melakukan banyak dari atau sebagian dari apa yang kisah-kisah itu tautkan kepada dirinya.”  Namun kemudian saya katakan bahwa atas nama pelbagai alasan-alasan yang ada bahwa “ yah mungkin saja dia memang pernah ada.” [4]

Begitu jelasnya gambaran Muhammad yang muncul dari sumber-sumber Islam bukanlah jaminan bahwa ia pernah benar-benar hidup. Dunia sastra penuh dengan gambaran-gambaran yang tampak bisa dipercayai dan mendorong untuk diyakini dari para tokoh yang tidak pernah ada namun personalitasnya sepenuhnya dibentuk dari lembaran-lembaran kisah. Yang sedemikian itu apabila narasi fiksionalnya disamarkan dalam kejadian-kejadian historis, tak seorangpun akan menganggapnya keliru. Macbeth, raja Skotlandia, ada dalam drama Shakespeare secara mudahnya sama koheren dan menggoda untuk dipercayai seperti halnya seorang tokoh seperti Nabi Islam. Macbeth memang benar seorang raja nyata, namun catatan-catatan historis yang tersedia menggambarkannya sebagai seorang tokoh yang jauh berbeda dari tokoh karya Shakespeare yang antihero dan bermasalah. Novel karya Sir Walter Scott, Ivanhoe, menggambarkan banyak kejadian historis secara akurat, namun cerita primernya yang diceritakannya adalah fiksi. Robin Hood bisa jadi seorang tokoh nyata, tetap tindakan-tindakan beraninya diselimuti oleh kabut dongeng-dongeng. Ambilah contoh Robin Hood yang merampok kaum kaya dan memberikannya pada kaum mikin dan pertimbangkan teman-temannya, Friar Tuck, Sherwood Forest, dan yang lainnya sebagai tokoh legenda tambahan, dan sekarang apa yang tersisa? Barangkali hanya setitik kebenaran dari apa yang mendorong timbulnya ledenda-legenda ini, atau barangkali tidak ada sama sekali. Kita mungkin tidak pernah tahu.         

Penyelidikan yang seksama atas bukti-bukti historis yang tersedia, atau setidaknya membuka kemungkinan, bahwa kasus Muhammad mungkin mirip. Beberapa catatan awal memang menyatakan bahwa seseorang bernama Muhammad pernah hidup, tetapi apa yang mereka katakana tentang dia hanya membawa sedikit kemiripan dengan nabi Islam, sang cahaya penuntun dan inspirasi bagi pasukan nomaden Arab yang berhamburan keluar dari Arabia di tahun 630an dan melecutkan serangkaian penaklukan yang secara sukses secara mengejutkan. Catatan tertua yang menceritakan kepada kita tentang tokoh ini, jika catatan itu memang benar-benar membicarakan tentang dia sebagai motif utamanya, benar-benar berbeda dengan kisah yang diceritakan dalam teks-teks Islam awal, yang penanggalannya berasal dari beberapa dekade setelah tahun dimana Muhammad dilaporkan meninggal. 

Terlebih lagi, catatan-catatan historis yang tersedia berisikan sejumlah teka-teki mengejutkan dan anomali yang mengesankan bahwa kisah-kisah standar Islam tentang Muhammad lebih merupakan legenda dari pada fakta. Nampaknya Muhammad – jikapun ia benar-benar ada - jauh berbeda dari manusia sempurna dalam hagiografi Islam.


Berdiri di atas Pundak Para Raksasa

Dalam menulis buku ini, saya tidak bermaksud untuk menelurkan sebuah tatanan baru. Malahan saya bermaksud untuk membawa perhatian publik yang lebih luas akan karya dari sekumpulan kecil cendikia yang telah berani, bahkan sering meresikokan pribadi dan profesi mereka sendiri, untuk menguji apa yang diungkapkan oleh data historis yang tersedia tentang kisah-kisah kanonik asal-usul Islam.

Buku ini adalah buah dari riset-riset saya ke dalam karya-karya cendikia dari generasi-generasi sebenarnya, diantaranya termasuk Ignaz Goldziher, Arthur Jeffery, Henri Lammens, David S. Margoliouth, Alphonse Mingana, Theodor Nöldeke, Aloys Sprenger, Joseph Schacht, dan Julius Wellhausen, begitu pula para cendikia modern jaman ini seperti Suliman Bashear, Patricia Crone, Michael Cook, Ibn Warraq, Judith Koren, Christoph Luxenberg, Günter Lüling, Yehuda Nevo, Volker Popp, Ibn Rawandi, David S. Powers, and John Wansbrough.

Beberapa dari cendikia yang telah menyelidiki sejarah asal usul Islam bahkan telah menerima ancaman kematian. Dan hasilnya, sebagian mempublikasikannya lewat nama samara, termasuk para cendikia ranking atas seperti halnya mereka yang memakai nama samaran Christoph Luxenberg dan Ibn Warraq. Intimidasi semacam itu  merupakan rintangan bagi riset-riset akademis yang bahkan para kritikus Perjanjian Baru tidak pernah temukan.

Investigasi atas asal-usul islam, meskipun usaha-usaha tersebut sering diselimuti kesamaran, ternyata hampir setua investigasi perbandingan Yudaisme dan Kekristenan. Seorang cendikia Jerman,  Gustav Weil (1808–1889) telah pertama-tama evaluasi kritik historis atas sumber-sumber Islam dalam Mohammed der prophet, sein Leben und sein Lehre (Muhammad Sang Nabi, Hidup dan Ajarannya) (1843), namun dia hanya memiliki akses terbatas kepada sumber-sumber tersebut. Weil mencatat dalam karya lainnya tentang Islam bahwa “kebergantungan pada tradisi oral, pada suatu jaman dimana kisah-kisah itu ditransmisikan lewat ingatan belaka, dan setiap hari tercipta perpecahan baru di antara para ulama Islam, membuka kesempatan lebar akan distorsi dan pengarang-karangan.” [5]

Ernest Renan, disamping segala entusiasmenya tentang historisitas Muhammad, sesungguhnya telah mendekati sumber-sumber Islam dengan mata yang kritis. Sambil menulis tentang Qur’an ia menunjukan bahwa “integritas sebuah karya yang didasari atas ingatan akan masa yang telah lama berlalu tidak mungkin bisa terpelihara dengan baik; tidak bisakah interpolasi-interpolasi serta  pengubahan-pengubahan telah tersisipkan selama revisi yang berkelanjutan?” Namun Renan sendiri tidak menginvestigasi kemungkinan itu lebih lanjut. Ia mundur darinya dan hanya mengarah pada pernyataan tegas yang tak didukung bukti bahwa “bangunan  sejarah Islam, Qur’an, tetap benar-benar tidak terkalahkan, dan cukup bagi dirinya sendiri, mandiri dari catatan-catatan sejarah lainnya tentang Muhamamd untuk disuguhkan kepada kita.”[6]

Sejarawan Skotlandia, William Muir (1819–1905) mempublikasikan karyanya yang massif A Life of Mahomet dan History of Islam to the Era of the Hegira dalam empat volume antara tahun 1858 dan 1862. Muir menyatakan skeptisisme tentang sebagia dari materi tentang Muhammad dalam tradisi Islam, dengan menegaskan bahwa “bahkan tradisi yang didapat secara terhormat seringkali kebanyakan berisikan
pelebih-lebihan dan dibesar-besarkan.” [7]  Namun demikian, dalam karya biografi Muhammad yang luas itu ia pada dasarnya mengambil sumber-sumber awal Islam secara umum, dengan membuang sedikit atau tidak sama sekali bagian yang dianggap “dilebih-lebihkan dan dibesar-besarkan.”

Yang lebih skeptik adalah Wellhausen (1844–1918), yang kajiannya atas lima kitab Musa membawanya mengusulkan bahwa kitab-kitab ini bukan produksi dari satu sumber belaka melainkan empat sumber yang berbeda yang telah dikombinasikan oleh para editor dikemudian hari. Ia menerapkan analisis yang sama terhadap sumber-sumber hadist Islam. Hadist, yang secara literal berarti “laporan-laporan”, adalah kumpulan perkataan dan perbuatan Muhammad yang membentuk fondasi praktek dan hokum Islam. Wellhausen mencoba untuk membedakan periwayat hadist yang bisa dipercaya dari periwayat lainnya yang kurang bisa dipercaya. [8]

Aloys Sprenger (1813–1893), seorang cendikia dari Austria, member sumbangsih luar biasa terhadap kajian asal-usul Islam dengan menemukan teks-teks panjang Islam yang selama ini dianggap telah hilang, termasuk biografi Muhammad karya Ibnu Hisham di abad ke-9. Demikian pula Sprenger meragukan akurasi historis dari sebagian hadist.

Ignaz Goldziher (1850-1921) seorang Hungaria yang mempioniri bidang ini bahkan melakukan investigasi lebih lanjut. Ia menyimpulkan bahwa kemunculan kumpulan hadist-hadist benar-benar terlambat dan jauh dari jaman dimana Muhammad pernah hidup. Bersamaan dengan penyebaran kaum Muslim, ada kecenderungan untuk menciptakan cerita-cerita palsu tentang Muhammad yang digambarkan mendukung posisi politik atau praktek keagamaan, yang membuatnya secara jelas tidak mungkin selaras dengan Hadist, yang terdiri dari banyak volume secara historis tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Layak dicatat bahwa Godlziher, meskipun dia tidak pernah berpindah iman kepada Islam, memiliki kecintaan yang kuat akan iman Islam. Sebagai seorang pemuda dia singgah di Damaskus dan Kairo dan mulai mengagumi Islam dengan penuh semangat ia menulis di catatan harianya: “Dalam hati ini aku yakin bahwa batinku ini seorang muslim.” Di Kairo ia memasuki sebuah masjid dan berdoa seperti seorang Muslim: “ Ditengah-tengah ribuan orang saleh, aku menempelkan dahiku ke lantai mesjid. Tidak pernah dalam hidupku aku begitu taat, lebih taat dari pada Jumat suci itu.” [9]

Kelihatannya aneh bahwa kemudian Goldziher akan menelurkan keraguan ilmiah akan kesejarahan seluruh korpus dari Hadist. Namun ia tidak memaksudkan kesimpulannya untuk merusak iman Islam. Malahan, ia berharap bahwa ia akan memimpin pada sebuah evaluasi kritikal pada Hadist sebagaimana hadist-hadist itu adanya, bukan sebagai sumber informasi historis, sebagaimana dianggap orang selama ini, namun sebagai indikasi bagaiman hukum dan praktek ritual Islam berkembang. Ia berharap, dengan kata lain, bahwa temuan-temuan ilmiah akan memimpin pada pemahaman yang penuh akan asal-usul islam dan dengan demikian secara positif mempengaruhi karakter di jaman sekarang.

Demikian juga keraguan akan legitimasi historis akan teks-teks awal Islam digagas oleh seorang sarjana Itali di Timur Tengah, Prince Leone Caetani, Bangsawan Sermoneta (1869–1935). Caetani menyimpulkan bahwa “kita hampir tidak dapat menemukan apa-apa yang benar tentang Muhammad dalam Tradisi(yakni Hadist, Sirah, Sunnah). Kita dapat menganggapnya sebagai apokrifa (dokumen-dokumen meragukan) semua materi tradisional yang kita miliki.” [10]

Kolega sejamannya Henri Lammens (1862– 1937), seorang imam berdarah Flemish dari tarikat Jesuit, membuat sebuah kajian kritis atas tradisi Islam tentang Muhammad, yang diantaranya menelurkan keraguan tanggal kelahiran dan kematian Muhammad.  Lammens mengaris bawahi “karakter artifisal dan ketiadaan logika kritis” dalam kumpulan awal biografi nabi Islam, walaupun ia mengingatkan bahwa “tidak perlu menolak seluruh bangunannya.” [11]

Joseph Schacht (1902–1969), seorang cendikia terkemuka di dunia Barat dalam bidang hukum Islam, menuliskan sebuah kajian asal-usul hukum Islam dimana ia menelitik bahwa “bahkan korpus klasikal’ dari Hadis “berisi sejumlah besar tradisi yang tidak mungkin otentik. Semua usaha untuk mengekstraks kisah-kisah darinya seringkali mengandung sejumlah besar kontradiksi satu sama lain. Apa yang selama ini disebut sebagai intuisi historis terbukti telah gagal.” Schacht mendukung temuan-temuan Goldziher bahwa “sebagian besar tradisi dari Nabi adalah dokumen-dokumen yang bukan berasal dari jaman sang Nabi seperti yang selama ini diklaim, namun merupakan suatu tahap berkelanjutan dari pengembangan doktrin-doktrin selama abad pertama Islam.” 

Namun bahkan Schacht melangkah lebih jauh dari argumen-argumen Goldziher, termasuk, contohnya, bahwa “sejumlah besar tradisi dalam kumpulan klasik dan kumpulan lainnya, diedarkan ke publik hanya setelah jaman Shafii (seorang Imam dan ahli hukum/ fiqh, wafat tahun 820 M); sejumlah tradisi fiqh pertama yang berisikan hukum-hukum dari Nabi ternyata berasal dari pertengahan abad kedua Islam,” dan “bukti dari tradisi fiqg membawa kita kembali hanya sampai ke tahun 100 H,” yaitu dekade pertama abad ke-8M, dan tidak lebih dekat lagi ke masa dimana Muhammad dipercaya pernah hidup. [12]  

John Wansbrough (1928–2002), seorang sejarawan berkebangsaan Amerika yang mengajar di University of London, menjelaskan karya-karya cendika terdahulu yang meragukan nilai historis dari teks-teks Islam awal. Dalam karyanya yang kompleks dan mengguncang, Wansbrough mendalilkan bahwa Qur’an dikembangkan utamanya untuk menegakan asal usul Islam di tanah Arabia dan bahwa Hadist dikarang-karang untuk  member Kekaisaran Arab suatu agama yang berbeda demi untuk memperkuat stabilitas dan kesatuannya. 

Terpengaruh oleh hal ini, sejarawan Patricia Crone, anak didik Wansbrough, dan Michael Cook, anak didik sejarawan Timur Tengah terkenal Bernard Lewis, mempublikasikan buku yang terkenal controversial Hagarism: The Making of the Islamic World (1977). Sepertihalnya para pendahulu mereka, Crone dan Cook mencatat keterlambatan dan ketidakhandalan banyaknya sumber-sumber Islam awal tentang Muhammad dan asal-usul Islam. Tujuan mereka adalah untuk merekonstruksi kemabli kelahiran dan perkembangan awal agama ini dengan cara mengujinya dengan catatan-catatan filologikal, arkaelogikal, dan historikal yang tersedia tentang Islam awal, termasuk koin-koin yang dicetak di wilayah tersebut selama abad tujuh dan delapan dan prasasti-prasasti resmi tertanggal di jaman itu. “Selama ini kita telah berangkat dari suatu kesembronoan,” mereka tuliskan, “dengan menciptakan sebuah arsitektonis koheren dari idea-idea dalam suatu bidang yang kebanyakan cendikia belum gali.” [13]

Crone dan Cook mengusulkan bahwa Islam muncul sebagai gerakan dalam lingkaran Yudaisme namun berpusatkan pada Abraham dan anaknya Ismail lewat gundiknya Hajar, sebab banyak sumber non-Muslim paling awal merujuk kepada kaum Arab ini tidak sebagai “Muslim” melainkan sebagai kaum “Hagarian atau Hagarin”. Geraka ini, demi untuk alasan yang beragama, terpisah dari Yudaisme di dekade terakhir abad ketujuh dan mulai berkembang ke dalam apa yang akhirnya menjadi agama Islam.
   
Pada tahun 1987 Crone mempublikasikan bukunya Meccan Trade and the Rise of Islam, dimana ia mendemonstrasikan salah satu fondasi penting biografi kanonikal Islam tentang Muhammad yaitu setting / latar panggung Arab, dengan mekkah sebagai pusat perdagangan tidak didukung oleh catatan-catatan sejamannya. Ia memperlihatkan bahwa catatan-catatan sejaman mengindikasikan bahwa Mekkah bukanlah pusat perdagangan apapun. Crone, seperti halnya Wansbrough, melihat latar panggung Islam sebagai pembacaan kembali ke dalam literatur keagamaan di masa yang terkemudian yang ditulis untuk tujuan-tujuan politik.

Namun kemudian Crone menegaskan, “bukti bahwa seorang nabi aktif diantara kaum Arab di awal abad 7M, dipermulaan penaklukan Timur Tengah oleh bangsa Arab dianggap terlalu luar biasa.” Ia menambahkan bahwa “kita bisa yakin sekali bahwa Qur’an adalah koleksi ucapan yang dibuat dalam kerangka keyakinan bahwa teks-teks ini diwahyukan kepada Muhammad.” Sekalipun pernyataan ini menghadirkan pandangan yang berbeda dengan posisi awalnya tentang  asal usul Islam, namun ia tidak menghadirkan penemuan baru atau bukit-bukti baru untuk menyokong perubahan pendapatanya. Malahan ia meninggalkan pendapat awalnya dan bukti-bukti yang dulu dihadirkan tetap tak tersentuh. Crone masih mengakui bahwa “banyak detil lain tentang Muhammad masih tidak pasti,” dengan memperlihatkan bahwa sumber-sumber Islam paling awal tentang kehidupan Muhammad dari “berasal dari kira-kira empat atau lima generasi setelah kematiannya,” dan bahwa dalam kasus tertentu hanya sedikit cendikia yang menganggap sumber-sumber ini “bisa sejalan dengan catatan-catatan sejarah.”  [14]Ketidakpastian ini,  bersamaan dengan bukti-bukti profokatif yang Crone sendiri hadirkan dalam buku-buku awalnya, menginspirasikan sejumlah cendikia lain untuk melanjutkan investigasi ke dalam historisitas Muhammad. 

Sementara itu, para cendikia jaman moderen telah melakukan pengujian kritikal yang dekat denga teks-teks Qur’anik itu sendiri. Seorang teolog Jerman Günter Lüling menyatakan bahwa Qur’an orsinil bukanlah sebuah teks Islam sama sekali, melainkan dokumen kaum Kristen pra Islam. Pengujian yang dekat akan keanehan teks dan sejumlah anomali dalam quran telah memperlihatkan tanda-tanda bahwa Qur’an memiliki fondasi Kekristenan. Lüling percaya bahwa Qur’an mencerminkan teologi sekte Kristen non-Trinitarian yang telah meninggalkan jejak dalam teologi Islam, secara khusus dalam penggambarannya akan Kristus dan unitarianisme yang tak pandang kompromi.

Seorang cendikia dengan nama samara Christoph Luxenberg, walaupun ia dalam berbaca cara berbeda dengan metoda dan kesimpulang Lüling, tetap setuju bahwa Qur’an menunjukan tanda-tanda berisikan sebuah substratum/ lapisan dasar Kekristenan. Luxenberg berargumen bahwa banyak kata-kata dan frasa yang memusingkan dalam Qur’an menjadi jelas hanya dengan merujuk pada bahasa Syriak, sebuah dialek Aramaik yang menjadi bahasa kesusastraan di wilayah pada saat Qur’an dikumpulkan. Lewat metoda ini ia telah tiba pada sejumlah kesimpulan mengejutkan. Beberapa dari temuannya telah mendapatkan perhatian internasional. Yang paling mencolok adalah bacaan Qur’an termasyur tentang janji para perawan surga bagi para jihadis Islam yang dalam bacaan itu ternyata tidak merujuk pada para perawan-perawan surga,melainkan sebagai “kismis” atau “buah anggur”, seperti yang ia sarankan.
        
Dalam menuliskan buku ini saya telah secara luas mendasarkannya khususnya pada karya-karya awal Crone, Luxenberg, Lüling, Popp, dan Powers, dengan berkali-kali menengok kembali karya-karya cendikia yang lebih dahulu terutama Goldziher.

Reaksi dari kaum Muslim terhadap rekonstruksi sejarah awal Islam dari kaum revisionis nampak bervariasi. Beberapa telah mencoba untuk menyangkal pelbagai temuan dari sejarawan revisinis. [15] Contohnya  Professor Ahmad Ali al-Imam telah mempublikasikan ished sebuah buku panjang tentang pengujian varian-varian teks Qur’an. Ia menjelaskan bahwa semua varian itu merujuk pada tradisi Islam yang mana detil tujuh gaya pembacaan  Qur’an; ia berkesimpulan bahwa itu memperlihatkan lengkapnya dan mampu dipercayanya Qur’an. [16]


Sementara itu Professor Muhammad Sven Kalisch, seorang Jerman yang berpindah iman ke dalam Islam dan menjadi professor Jerman pertama dalam teologi Islam di Jerman, menyelidiki karya para kritikus historis Islam dan berkesimpulan bahwa Muhammad tidak pernah hidup dalam bentu dimana teks-teks Islam gambarkan tentangnya. [17] Ia akhirnya meninggalkan iman Islamnya. [18] Secara kontras, Khaled Abou El Fadl, seorang professor hukum di University of California, Los
Angeles, telah bereaksi dengan amarah terhadap kritisisme historikal Islam dengan menyebutnya “fanatisme.” Abou El Fadl menyebut Ibn Warraq sebagai “tokoh menyedihkan” juga sebagai “sebuah kekosongan dan kebosanan intelektual belaka.” Ia menuduh cendikia Daniel Pipes dalam menceritakan kembali karya para kritik secara gembira “membongkar Beban Laki-laki Kulit Putih.” Ia bahkan mengklaim bahwa “revisionism, seperti halnya semua bentuk fanatisme baru atau sudah lama, bersandar pada beberpa asumsi aneh. Asumsi pertama adalah bahwa kaum Muslim tanpa kecuali telah berbohong… dan tidak bisa membedakan mana fiksi dan mana fakta.”[19]

Namun kasusnya sama sekali tidaklah demikian.Pencarian akademis ke dalam asal-usul Islam tidak didasarkan pada asumsi bahwa Muslim tidak mampu membedakan mana fiksi dan mana fakta. Masalahnya terletak pada apakah legenda ditambahkan pada catatan historis sampai suatu derajat dimana ia tidak mungkin bisa dibedakan lagi yang mana legenda dan yang mana fakta.

Perkembangbiakan detail bersifat legenda ini bukanlah fenomena yang asing bagi Muslim, ia telah berlangsung termasuk pada kehidupan sejumlah tokoh historis yang perbuatan aktualnya terlupakan namun telah menjadi pahlawan legendaries yang diceritakan dan diceritakan ulang sampai saat ini.

Para cendikia yang melakukan investigasi asal usul Islam tidak dimotivasi oleh kebencian, fanatisme, atau rasisme, namun kerinduan untuk menemukan kebenaran. Mereka inilah para cendikia yang mendasarkan fondasi bagi eksplorasi dalam buku ini.






Catatan :

1 Michael H. Hart, The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History (New York: Hart Publishing, 1978), 33.
2 W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca (Oxford: Oxford University Press, 1953); Muhammad at Medina (Oxford: Oxford
University Press, 1956).
3 For an illuminating discussion of the effect of higher criticism on the various Christian confessions, see Jaroslav Pelikan, Christian
Doctrine and Modern Culture (since 1700) (Chicago: University of Chicago Press, 1989).
4 Robert Spencer, The Truth about Muhammad (Washington, DC: Regnery, 2006), 9, 31.
5 Gustav Weil, Geschichte der Chalifen, vol. 2 (Mannheim, 1846–51), 290, trans. William Muir, The Life of Mahomet, one-volume
edition (London, 1894), xli–xlii (quoted in Ibn Warraq, ed., The Quest for the Historical Muhammad [Amherst, NY: Prometheus, 2000],
44).
6 Quoted in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 16.
7 Muir, The Life of Mahomet, xli–xlii (quoted in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 44).
8 The word hadith's Arabic plural is ahadith, and this is found in much English-language Muslim literature. But to avoid confusing
English-speaking readers, I have used the English plural form “hadiths.”
9 Quoted in Raphel Patai, Ignaz Goldziher and His Oriental Diary (Detroit: Wayne State University Press, 1987), 28 (quoted in
Martin Kramer, “Introduction,” in The Jewish Discovery of Islam: Studies in Honor of Bernard Lewis, ed. Martin Kramer [Syracuse:
Syracuse University Press, 1999], 1–48, republished online at http://www.martinkramer.org/sandbox/reader/archives/the-jewishdiscovery-
of-islam/#n38).
10 Quoted in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 46.
11 Henri Lammens, “The Age of Muhammad and the Chronology of the Sira,” in Ibn Warraq, The Quest for the Historical
Muhammad, 206.
12 Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press, 1950), 4–5.
13 Patricia Crone and Michael Cook, Hagarism: The Making of the Islamic World (Cambridge: Cambridge University Press,
1977), vii.
14 Patricia Crone, “What Do We Actually Know About Muhammad?,” Open Democracy, August 31, 2006,
http://www.opendemocracy.net/faith-europe_islam/mohammed_3866.jsp.
15 For an example of the nature of such responses, see Amaal Muhammad Al-Roubi, A Response to Patricia Crone's Book
(“Meccan Trade and the Rise of Islam”), www.sultan.org/books/Patricia_crone_english_reply.pdf.
16 Ahmad Ali Al-Imam, Variant Readings of the Qur'an: A Critical Study of Their Historical and Linguistic Origins
(Washington, DC: International Institute of Islamic Thought, 2006), 112.
17 Andrew Higgins, “Professor Hired for Outreach to Muslims Delivers a Jolt,” Wall Street Journal, November 15, 2008.
18 “Islam Scientist Kalisch No Longer Muslim,” Politically Incorrect, April 22, 2010, http://www.pi-news.org/2010/04/islamscientist-
kalisch-no-longer-muslim/.

19 Khaled Abou El Fadl, “On Revising Bigotry,” Scholar of the House, n.d., http://www.scholarofthehouse.org/onrebi.html.