Sentralitas Hadis
Betapapun dipertanyakannya banyak hadis
itu, mereka membentuk dasar bagi pemahaman standar Islam atas ayat-ayat Qur’an yang kurang jelas pada permukaannya
(dan jumlah ayat-ayat kurang jelas ini cukup besar). Hadis juga penting karena
sangat pentingnya bahwa teologi dan tradisi Islam melekat pada Muhammad, yang man
Al-Qur'an sebut sebagai “suri tauladan yang baik ...bagi orang yang mengharap
Allah dan hari kiamat”(QS 33:21).
Nampaknya mencurigakan bahwa Muhammad dibuat
begitu penting manakala Qur’an sendiri berbicara begitu sedikit tentangnya,
namun itulah tepatnya mengapa materi-materi biografis begitu rinci dalam hadis
mendesak pentingnya. Qur’an memberitahu para pemercayanya bahwa Muhammad
“berbudi pekerti yang agung” (QS 68:4), dan barang siapa menaati Allah, dan
sang Utusan – mereka dipelihara Allah” (QS 4:80). Peringatan untuk menaati ‘utusan
Allah’ yang diasumsukan sebagai Muhammad, sering muncul dalam Qur’an (QS 3:32,
3:132, 4:13, 4:59, 4:69, 5:92, 8:1, 8:20, 8:46, 9:71, 24:47, 24:51, 24:52,
24:54, 24:56,33:33, 47:33, 49:14, 58:13, 64:12). Apa yang dimaksud dengan
menaati Muhammad? Untuk menjawabnya, kita harus tahu apa yang dia katakan dan
lakukan.
Muhammad sendiri, menurut
suatu hadis, menegaskan sentralitas ucapan dan perbuatannya: “Aku telah
memberikan perintah, nasihat dan larang sebanyak ayat-ayat Qur’an, jika tidak
lebih” [4]
Di dalam tradisi Islam hadis-hadis
ini menjadi pedoman bahkan untuk aspek pribadi remeh-temeh bagi prilaku
individual. Seorang apologis Islam modern, Muqtedar Khan, dari Pusat Kajian
Islam & Demokrasi (Center for the
Study of Islam and Democracy) menjelaskan bahwa “ucapan, perbuatan dan
diamnya Muhammad (yakni ketika ia melihat sesuatu dan tidak melarangnya)
menjadi sebuah sumber independen dalam hukum Islam. Muslim, sebagai bagian dari
kesalehan relijius, tidak hanya harus menaati, tetapi juga mencari cara untuk
meniru dan menyamai nabi mereka dalam setiap aspek kehidupan. Dengan demikian
Muhamad adalah media, juga sumber hukum ilahi.”[5] Dalam Islam sentralitas
Muhammad tidak mengijinkan ruang apapun bagi inovasi (bidah): Apapun sang Nabi ijinkan berarti diijinkan, dan
apapun yang ia tolak berarti ditolak, untuk segala jaman. Untuk itu cendekiawan
Islam abad kelimabelas al-Qastallani menolak “apapun yang dipraktekan tanpa
contoh dari masa lalu dan, tentu saja khususnya dalam bidang agama, apapun yang
tidak dipraktekan di jaman sang Nabi.” [6]
Nabi Muhammad sendiri meringkas
keyakinan Islam ketika ia mengatakan dalam sebuah hadis: “Sesungguhnya komunikasi yang paling benar adalah
Kitab Allah, bimbingan terbaik adalah yang berasal dari Muhammad, dan yang
terburuk dari semua hal adalah inovasi, setiap inovasi, setiap bid'ah adalah
kekeliruan, dan setiap kesalahan membawa
ke neraka." [7] Namun, dalam hadis lain Muhammad tampaknya mundur dari
sikap garis keras ini. Dia menjanjikan hadiah untuk “siapa saja yang dalam Islam menetapkan ‘sunnah
yang benar’ - yaitu praktek hidup yang dapat diterima, dan memperingatkan
dengan keras siapapun yang dalam Islam melakukan ‘sunnah palsu’.” [8] Hal ini mengandaikan bahwa
para pemimpin Islam akan menciptakan praktek baru dan bahwa beberapa dari
praktek-praktek ini mungkin baik dan beberapa
adalah palsu – sungguh suatu yang kontras dengan idea bahwa ‘setiap inovasi
adalah bid'ah.’
Apakah Muhammad berusaha untuk berdalih?
Apakah ia melarang inovasi dan kemudian berubah pikiran, atau sebaliknya?
Mungkin. Namun kedua tradisi ini bisa diharmoniskan dengan cara membenturkannya
dengan inovasi sementara kita menafsirkan hadis kedua pada saat hal-hal baru
muncul, semua itu harus dinilai dalam terang ucapan dan perbuatan Muhammad. Dalam
kasus apapun, dalam hal menyinggung hukum Islam, contoh hidup Muhammad
(bersama-sama Qur’an) adalah otoritas tertinggi, dan hadis yang mencatat
contoh-contoh ini benar-benar menentukan.
Sunnah Yang Tak Terbilang Jumlahnya
Salah satu aspek yang paling mencurigakan
dari Muhammad dalam hukum Islam dan prakteknya adalah bahwa sama sekali tidak
ada bukti bahwa umat Islam benar-benar tahu jika nabi Islam menyimpan catatan
dari apa yang dia katakan dan lakukan. Jika kisah-kisah kanonik asal-usul Islam
itu benar, maka materi dalam Hadis tentang ucapan dan perbuatan Muhammad harus ada,
dan mungkin beredar di komunitas Muslim selama hampir dua abad sebelum akhirnya
diayak, dinilai untuk keaslian, dikumpulkan, dan diterbitkan. Namun tidak ada
indikasi kehadiran material ini.
Para kalifah awal nampaknya tidak
pernah terpanggil untuk mengikuti contoh Muhammad. Kata ‘khalifah’ berarti ‘pengganti’
atau ‘wakil’, dan dalam pemahaman tradisional ‘khalifah’ berarti penerus nabi. Tapi
empat khalifah pertama yang memerintah setelah kematian Muhammad, yang dikenal
sebagai ‘khalifah yang mendapat petunjuk yang benar’, mengeluarkan koin-koin yang menyatakan mereka
sebagai ‘khalifah / wakil Allah’, bukannya ‘Kalifah / wakil dari nabi Allah’.
Rupanya para khalifah melihat diri mereka sebagai raja-raja kecil, bukan
sebagai penerus nabi Allah.
Kita baru mulai mendengar tentang
contoh hidup Muhammad dari khalifah yang sama yang membangun Kubah Batu, yakni
Abd al Malik , yang mengaku telah mengumpulkan Qur'an (setelah seharusnya Khalifah
Usman yang dikabarkan telah melakukannya
beberapa dekade sebelumnya), dan menciptakan uang-uang logam dan prasasti-prasasti
pertama yang menyebutkan Muhammad sebagai nabi Allah. Memerintah dari tahun 685
sampai 705, Abd al-Malik menyerukan para pemberontak untuk menaati Allah dan
sunnah nabi. [10] (Sebaliknya, seorang khalifah sebelumnya, Muawiyah, pernah
menyebutkan ‘sunnah Umar’, orang yang ia gantikan. [11])
Gubernur dari kaum Ummayah yang memerintah Irak, Hajjaj bin Yusuf, yang mana
beberapa hadis melaporkan bahwa ia telah mengedit Qur’an dan memusnahkan varian
teks lainnnya, pernah memarahi seorang pemberontak dari kaum Khawarij: “Engkau telah
menentang kitab Allah dan menyimpang dari sunnah nabi-Nya.” [12]
Dengan rujukan di atas, orang akan
berpikir bahwa sunnah nabi sampai periode tersebut telah menjadi corpus hukum yang telah diakui. Namun
seperti halnya para pemimpin Ummayah menentang lawan-lawan mereka sebagai kaum
yang telah menyimpang dari nabi, lawan-lawan merekapun membenarkan diri mereka
sendiri lewat penciptaan sunnah-sunnah nabi. Mereka saling bersaing untuk
menguasai. [13]
Para sejarawan, Patricia Crone dan
Martin Hinds, menyimpulkan bahwa pada awal dekade Kekaisaran Arab, sunah nabi
tidak mengacu pada serangkaian putusan tertentu sama sekali: “ Mengatakan bahwa
seseorang telah mengikuti sunah rasulullah adalah untuk mengatakan bahwa dia seorang
yang baik, bukan untuk menentukan apa yang telah dilakukannya secara konkret
.... Secara konkret, ‘sunah nabi’ tidak berarti apa-apa.” [14]
Namun Abd al-Malik dan para penerusnya
menekankan contoh prilaku Muhammad: Mereka menyajikan ucapan dan perbuatan nabi
sebagai normatif bagi iman dan praktek Islam. Keharusan bagi setiap Muslim untuk
menaati Muhammad menjadi doktrin utama dan sering diulang-ulang dalam Qur'an.
Akibatnya, kelaparan (akan kisah-kisah Muhammad) bagi mereka menjadi begitu
kuat bahwa beberapa Muslim melintasi seluruh dunia Islam mencari solusi nabi
untuk mencari jawab tentang pertanyaan yang disengketakan. Seorang muslim Mesir
abad kedelapan bernama Makhul, sebagai seorang budak yang dibebaskan,
menceritakan bagaimana ia mencari apa yang Muhammad mungkin telah tetapkan
tentang persoalan mengenai pendistribusian rampasan perang:
Aku tidak meninggalkan Mesir sampai aku telah memperoleh
semua pengetahuan yang tampak bagiku ada di sana. Kemudian aku datang ke
al-Hijaz dan tidak meninggalkannya sampai aku telah memperoleh semua
pengetahuan yang tampaknya tersedia di sana. Kemudian aku datang ke al-Irak,
dan aku tidak meninggalkannya sampai aku telah memperoleh semua pengetahuan
yang tampaknya tersedia. Kemudian aku datang ke Suriah, lalu mengepung kota itu.
Saya bertanya pada semua orang tentang memberikan hadiah dari jarahan. Aku
tidak menemukan orang yang bisa mengatakan apa-apa tentang hal itu.
Akhirnya, ia menemukan apa yang ia cari: “Kemudian aku bertemu dengan seorang pria tua bernama Ziyad
bin Jariyah at-Tamimi. Aku bertanya: Pernahkah Anda mendengar sesuatu tentang
memberi hadiah dari jarahan? Dia menjawab: Ya. Aku mendengar Maslama al-Fihri
berkata: Aku sedang bersama dengan Nabi SAW. Dia memberi seperempat dari
rampasan pada perjalanan keluar dan sepertiganya pada perjalanan pulang.”[15]
Mungkin permasalahan
tersebut dianggap telah selesai oleh Makhul. Namun tidak setiap muslim bisa
berkeliling dunia untuk mencari jawaban. Dalam memenuhi perintah untuk mematuhi
Rasul Allah, ada kebutuhan besar untuk mengumpulan koleksi nubuatan tentang
berbagai persoalan yang disengketakan. Tradisi Islam umumnya mengidentifikasi khalifah
kedua dari bani Abbasiyah, al-Mansur, yang memerintah 754-775, sebagai tokoh yang
pertama membentuk komisi hukum: Muwatta. Karena hukum Islam begitu rupa didasarkan
pada ucapan dan perbuatan Muhammad, manual hukum Islam ini mencatat banyak
sekali hadis sang nabi. Imam yang menulis Muwatta, Malik bin Anas (715-795),
meninggal seratus enam puluh tahun setelah Muhammad, membuatnya sebagai
kolektor yang tahun meningalnya paling dekat dengan kehidupan pria yang setiap
tindakan dan ucapannya menjadi fokus dari Hadis.
Berbagai edisi Muwatta karya
Malik begitu berbeda satu sama lain sehingga memunculkan pertanyaan apakah
mereka adalah benar-benar buku yang sama. Berbagai versi riwayat dari ajaran
Malik ditulis dan dikirimkan oleh murid-murid yang berbeda-beda. Pada satu
kesempatan seorang pria mendekati sang imam dan menunjukkan sebuah naskah dan
berkata kepada Malik, “Ini adalah Muwatta Anda, wahai Abu Abd Allah, yang saya
telah salin dan susun, mohon berikan saya izin untuk mewariskannya.” Tanpa melirik
naskah tersebut, Malik menjawab, “Izin aku
berikan, dan ketika memberikan teks Anda kepada orang lain engkau boleh katakan
: Malik telah mengatakan kepada saya,
Malik telah melaporkan kepada saya.” [16] Beberapa varian manuskrip
itu mungkin disusun setelah Malik meninggal. Dalam kasus apapun, variasi-variasi
tersebut hampir tidak memperlihatkan keyakinan mengenai keaslian material
Muwatta tentang Muhammad.
Tetapi dengan diangkatnya Muhammad sebagai
teladan hidup, Hadis menjadi senjata politik di tangan pihak-pihak yang
bertikai dalam dunia Islam. Dan seperti yang selalu terjadi di masa-masa perang,
“senjata” jenis ini mulai diproduksi secara besar-besaran. Seorang sarjana
Islam awal, Muhammad bin Shihab az-Zuhri, yang meninggal pada 741, enam puluh
tahun sebelum kematian Malik bin Anas, mengeluhkan bahkan pada zamannya bahwa “para
emir / pemimpin” memaksa orang-orang untuk menulis hadis.” [17]
Bahkan Khalifah al-Mahdi (775-785) dikenal sebagai seseorang yang mengarang hadis. [18]
Beberapa hadis berguna
dalam membenarkan ekspansi yang cepat dari Kekaisaran Arab, dengan menempatkan manifestasinya
dalam mulut Muhammad. Salah satu hadis tersebut menggambarkan insiden selama
pengepungan Madinah oleh kaum pagan Quraish dari Mekkah. Setelah memerintahkan pengikutnya
untuk menggali parit di sekitar kota, Muhammad melompat sambil memegang linggis
untuk mengeluarkan batu yang sangat besar. Tiga kali ketika ia menghujam batu itu, dan tiga kali percikan cahaya keluar
dari batu itu. [19] Muhammad kemudian menjelaskan: "Percikan pertama
berarti bahwa Allah telah membuka jalan bagiku ke Yaman, percikan kedua berarti
Suriah dan Barat, dan percikan ketiga berarti wilayah timur." [20] Dalam versi lain, katanya petir menunjukkan
bahwa umat Islam akan menaklukkan “istana al-Hira” di Irak selatan “dan
al-Madaiin di Kisra,” ibukota musim dingin Kekaisaran Sassania, serta “istana-orang
pucat di tanah Bizantium” dan “istana San'a.” [21] Di lain, Muhammad meramalkan bahwa “orang-orang
Yunani akan berdiri di hadapan orang-orang coklat (Arab) dalam pasukan berpakaian
putih dan kepala dicukur, dipaksa untuk melakukan semua yang diperintahkan
kepada mereka, sementara negara itu kini dihuni oleh orang-orang yang di matamu
peringkatnya lebih rendah dari monyet pada paha unta.” [22]
Kaum muslim juga mengarang-ngarang
hadis dalam panasnya kontroversi politik dan agama yang mana mereka berharap hadis-hadis
tersebut berguna untuk menyelesaikan perpecahan yang terjadi, meskipun sampai
sekarang tidak diketahui apakah benar kata-kata tersebut berasal dari mulut
sang nabi. Abd al-Malik pada satu kesempatan ingin membatasi Muslim untuk tidak
mengadakan ziarah ke Mekah, karena ia takut salah satu rivalnya akan mengambil
keuntungan dari ibadah haji untuk merekrut para pengikut. Oleh karena itu, ia berhasil
membujuk az-Zuhri untuk mengarang hadis yang menyatakan bahwa ziarah ke masjid
di Yerusalem (Bayt al-Maqdis) di mata Allah sama terpujinya dengan berziarah ke
Mekkah. Az Zuhri justru melangkah lebih jauh lagi, dengan mengatakan bahwa
Muhammad pernah berucap bahwa “shalat di Bayt al-Maqdis di Yerusalem masih
lebih baik dari pada shalat ribuan kali di tempat-tempat suci lainnya” – dengan
kata lain, bahkan lebih baik dari pada berziarah ke Mekkah. Az-Zuhri bahkan
melangkah lebih jauh, setelah Muhammad mengatakan bahwa "doa di Bayt
al-Maqdis di Yerusalem adalah lebih baik daripada seribu shalat di
tempat-tempat suci lainnya"-dengan kata lain, bahkan lebih baik daripada
pergi ke Mekah. Hadis ini muncul dalam salah satu dari enam koleksi Hadis
kanonik yang para cendekiawan Muslim anggap paling dapat diandalkan: Sunan
Muhammad Ibnu Maja (824-887).
[23]