Wednesday, 14 August 2013

Bab 3. MENGARANG-NGARANG MUHAMMAD (bag. 2)

Sentralitas Hadis

Betapapun dipertanyakannya banyak hadis itu, mereka membentuk dasar bagi pemahaman standar Islam atas ayat-ayat  Qur’an yang kurang jelas pada permukaannya (dan jumlah ayat-ayat kurang jelas ini cukup besar). Hadis juga penting karena sangat pentingnya bahwa teologi dan tradisi Islam melekat pada Muhammad, yang man Al-Qur'an sebut sebagai “suri tauladan yang baik ...bagi orang yang mengharap Allah  dan hari kiamat”(QS 33:21).

Nampaknya mencurigakan bahwa Muhammad dibuat begitu penting manakala Qur’an sendiri berbicara begitu sedikit tentangnya, namun itulah tepatnya mengapa materi-materi biografis begitu rinci dalam hadis mendesak pentingnya. Qur’an memberitahu para pemercayanya bahwa Muhammad “berbudi pekerti yang agung” (QS 68:4), dan barang siapa menaati Allah, dan sang Utusan – mereka dipelihara Allah” (QS 4:80). Peringatan untuk menaati ‘utusan Allah’ yang diasumsukan sebagai Muhammad, sering muncul dalam Qur’an (QS 3:32, 3:132, 4:13, 4:59, 4:69, 5:92, 8:1, 8:20, 8:46, 9:71, 24:47, 24:51, 24:52, 24:54, 24:56,33:33, 47:33, 49:14, 58:13, 64:12). Apa yang dimaksud dengan menaati Muhammad? Untuk menjawabnya, kita harus tahu apa yang dia katakan dan lakukan.

Muhammad sendiri, menurut suatu hadis, menegaskan sentralitas ucapan dan perbuatannya: “Aku telah memberikan perintah, nasihat dan larang sebanyak ayat-ayat Qur’an, jika tidak lebih” [4]

Di dalam tradisi Islam hadis-hadis ini menjadi pedoman bahkan untuk aspek pribadi remeh-temeh bagi prilaku individual. Seorang apologis Islam modern, Muqtedar Khan, dari Pusat Kajian Islam & Demokrasi (Center for the Study of Islam and Democracy) menjelaskan bahwa “ucapan, perbuatan dan diamnya Muhammad (yakni ketika ia melihat sesuatu dan tidak melarangnya) menjadi sebuah sumber independen dalam hukum Islam. Muslim, sebagai bagian dari kesalehan relijius, tidak hanya harus menaati, tetapi juga mencari cara untuk meniru dan menyamai nabi mereka dalam setiap aspek kehidupan. Dengan demikian Muhamad adalah media, juga sumber hukum ilahi.”[5] Dalam Islam sentralitas Muhammad tidak mengijinkan ruang apapun bagi inovasi (bidah): Apapun sang Nabi ijinkan berarti diijinkan, dan apapun yang ia tolak berarti ditolak, untuk segala jaman. Untuk itu cendekiawan Islam abad kelimabelas al-Qastallani menolak “apapun yang dipraktekan tanpa contoh dari masa lalu dan, tentu saja khususnya dalam bidang agama, apapun yang tidak dipraktekan di jaman sang Nabi.” [6]

Nabi Muhammad sendiri meringkas keyakinan Islam ketika ia mengatakan dalam sebuah hadis: “Sesungguhnya komunikasi yang paling benar adalah Kitab Allah, bimbingan terbaik adalah yang berasal dari Muhammad, dan yang terburuk dari semua hal adalah inovasi, setiap inovasi, setiap bid'ah adalah kekeliruan, dan setiap kesalahan membawa  ke neraka." [7] Namun, dalam hadis lain Muhammad tampaknya mundur dari sikap garis keras ini. Dia menjanjikan hadiah untuk “siapa saja yang dalam Islam menetapkan ‘sunnah yang benar’ - yaitu praktek hidup yang dapat diterima, dan memperingatkan dengan keras siapapun yang dalam Islam melakukan ‘sunnah palsu’.” [8] Hal ini mengandaikan bahwa para pemimpin Islam akan menciptakan praktek baru dan bahwa beberapa dari praktek-praktek ini mungkin baik dan beberapa adalah palsu – sungguh suatu yang kontras dengan idea bahwa ‘setiap inovasi adalah bid'ah.’

Apakah Muhammad berusaha untuk berdalih? Apakah ia melarang inovasi dan kemudian berubah pikiran, atau sebaliknya? Mungkin. Namun kedua tradisi ini bisa diharmoniskan dengan cara membenturkannya dengan inovasi sementara kita menafsirkan hadis kedua pada saat hal-hal baru muncul, semua itu harus dinilai dalam terang ucapan dan perbuatan Muhammad. Dalam kasus apapun, dalam hal menyinggung hukum Islam, contoh hidup Muhammad (bersama-sama Qur’an) adalah otoritas tertinggi, dan hadis yang mencatat contoh-contoh ini benar-benar menentukan. 


Sunnah Yang Tak Terbilang Jumlahnya

Salah satu aspek yang paling mencurigakan dari Muhammad dalam hukum Islam dan prakteknya adalah bahwa sama sekali tidak ada bukti bahwa umat Islam benar-benar tahu jika nabi Islam menyimpan catatan dari apa yang dia katakan dan lakukan. Jika kisah-kisah kanonik asal-usul Islam itu benar, maka materi dalam Hadis tentang ucapan dan perbuatan Muhammad harus ada, dan mungkin beredar di komunitas Muslim selama hampir dua abad sebelum akhirnya diayak, dinilai untuk keaslian, dikumpulkan, dan diterbitkan. Namun tidak ada indikasi kehadiran material ini.

Para kalifah awal nampaknya tidak pernah terpanggil untuk mengikuti contoh Muhammad. Kata ‘khalifah’ berarti ‘pengganti’ atau ‘wakil’, dan dalam pemahaman tradisional ‘khalifah’ berarti penerus nabi. Tapi empat khalifah pertama yang memerintah setelah kematian Muhammad, yang dikenal sebagai ‘khalifah yang mendapat petunjuk yang benar’,  mengeluarkan koin-koin yang menyatakan mereka sebagai ‘khalifah / wakil Allah’, bukannya ‘Kalifah / wakil dari nabi Allah’. Rupanya para khalifah melihat diri mereka sebagai raja-raja kecil, bukan sebagai penerus nabi Allah.

Kita baru mulai mendengar tentang contoh hidup Muhammad dari khalifah yang sama yang membangun Kubah Batu, yakni Abd al Malik , yang mengaku telah mengumpulkan Qur'an (setelah seharusnya Khalifah Usman yang dikabarkan telah  melakukannya beberapa dekade sebelumnya), dan menciptakan uang-uang logam dan prasasti-prasasti pertama yang menyebutkan Muhammad sebagai nabi Allah. Memerintah dari tahun 685 sampai 705, Abd al-Malik menyerukan para pemberontak untuk menaati Allah dan sunnah nabi. [10] (Sebaliknya, seorang khalifah sebelumnya, Muawiyah, pernah menyebutkan ‘sunnah Umar’, orang yang ia gantikan. [11]) Gubernur dari kaum Ummayah yang memerintah Irak, Hajjaj bin Yusuf, yang mana beberapa hadis melaporkan bahwa ia telah mengedit Qur’an dan memusnahkan varian teks lainnnya, pernah memarahi seorang pemberontak dari kaum Khawarij: “Engkau telah menentang kitab Allah dan menyimpang dari sunnah nabi-Nya.” [12]

Dengan rujukan di atas, orang akan berpikir bahwa sunnah nabi sampai periode tersebut telah menjadi corpus hukum yang telah diakui. Namun seperti halnya para pemimpin Ummayah menentang lawan-lawan mereka sebagai kaum yang telah menyimpang dari nabi, lawan-lawan merekapun membenarkan diri mereka sendiri lewat penciptaan sunnah-sunnah nabi. Mereka saling bersaing untuk menguasai. [13]

Para sejarawan, Patricia Crone dan Martin Hinds, menyimpulkan bahwa pada awal dekade Kekaisaran Arab, sunah nabi tidak mengacu pada serangkaian putusan tertentu sama sekali: “ Mengatakan bahwa seseorang telah mengikuti sunah rasulullah adalah untuk mengatakan bahwa dia seorang yang baik, bukan untuk menentukan apa yang telah dilakukannya secara konkret .... Secara konkret, ‘sunah nabi’ tidak berarti apa-apa.” [14]

Namun Abd al-Malik dan para penerusnya menekankan contoh prilaku Muhammad: Mereka menyajikan ucapan dan perbuatan nabi sebagai normatif bagi iman dan praktek Islam. Keharusan bagi setiap Muslim untuk menaati Muhammad menjadi doktrin utama dan sering diulang-ulang dalam Qur'an. Akibatnya, kelaparan (akan kisah-kisah Muhammad) bagi mereka menjadi begitu kuat bahwa beberapa Muslim melintasi seluruh dunia Islam mencari solusi nabi untuk mencari jawab tentang pertanyaan yang disengketakan. Seorang muslim Mesir abad kedelapan bernama Makhul, sebagai seorang budak yang dibebaskan, menceritakan bagaimana ia mencari apa yang Muhammad mungkin telah tetapkan tentang persoalan mengenai pendistribusian rampasan perang:
Aku tidak meninggalkan Mesir sampai aku telah memperoleh semua pengetahuan yang tampak bagiku ada di sana. Kemudian aku datang ke al-Hijaz dan tidak meninggalkannya sampai aku telah memperoleh semua pengetahuan yang tampaknya tersedia di sana. Kemudian aku datang ke al-Irak, dan aku tidak meninggalkannya sampai aku telah memperoleh semua pengetahuan yang tampaknya tersedia. Kemudian aku datang ke Suriah, lalu mengepung kota itu. Saya bertanya pada semua orang tentang memberikan hadiah dari jarahan. Aku tidak menemukan orang yang bisa mengatakan apa-apa tentang hal itu.

Akhirnya, ia menemukan apa yang ia cari: “Kemudian aku bertemu dengan seorang pria tua bernama Ziyad bin Jariyah at-Tamimi. Aku bertanya: Pernahkah Anda mendengar sesuatu tentang memberi hadiah dari jarahan? Dia menjawab: Ya. Aku mendengar Maslama al-Fihri berkata: Aku sedang bersama dengan Nabi SAW. Dia memberi seperempat dari rampasan pada perjalanan keluar dan sepertiganya pada perjalanan pulang.”[15]

Mungkin permasalahan tersebut dianggap telah selesai oleh Makhul. Namun tidak setiap muslim bisa berkeliling dunia untuk mencari jawaban. Dalam memenuhi perintah untuk mematuhi Rasul Allah, ada kebutuhan besar untuk mengumpulan koleksi nubuatan tentang berbagai persoalan yang disengketakan. Tradisi Islam umumnya mengidentifikasi khalifah kedua dari bani Abbasiyah, al-Mansur, yang memerintah 754-775, sebagai tokoh yang pertama membentuk komisi  hukum: Muwatta. Karena hukum Islam begitu rupa didasarkan pada ucapan dan perbuatan Muhammad, manual hukum Islam ini mencatat banyak sekali hadis sang nabi. Imam yang menulis Muwatta, Malik bin Anas (715-795), meninggal seratus enam puluh tahun setelah Muhammad, membuatnya sebagai kolektor yang tahun meningalnya paling dekat dengan kehidupan pria yang setiap tindakan dan ucapannya menjadi fokus dari Hadis.

Berbagai edisi Muwatta karya Malik begitu berbeda satu sama lain sehingga memunculkan pertanyaan apakah mereka adalah benar-benar buku yang sama. Berbagai versi riwayat dari ajaran Malik ditulis dan dikirimkan oleh murid-murid yang berbeda-beda. Pada satu kesempatan seorang pria mendekati sang imam dan menunjukkan sebuah naskah dan berkata kepada Malik, “Ini adalah Muwatta Anda, wahai Abu Abd Allah, yang saya telah salin dan susun, mohon berikan saya izin untuk mewariskannya.” Tanpa melirik  naskah tersebut, Malik menjawab, “Izin aku berikan, dan ketika memberikan teks Anda kepada orang lain engkau boleh katakan :  Malik telah mengatakan kepada saya, Malik telah melaporkan kepada saya.” [16] Beberapa varian manuskrip itu mungkin disusun setelah Malik meninggal. Dalam kasus apapun, variasi-variasi tersebut hampir tidak memperlihatkan keyakinan mengenai keaslian material Muwatta tentang Muhammad.

Tetapi dengan diangkatnya Muhammad sebagai teladan hidup, Hadis menjadi senjata politik di tangan pihak-pihak yang bertikai dalam dunia Islam. Dan seperti yang selalu terjadi di masa-masa perang, “senjata” jenis ini mulai diproduksi secara besar-besaran. Seorang sarjana Islam awal, Muhammad bin Shihab az-Zuhri, yang meninggal pada 741, enam puluh tahun sebelum kematian Malik bin Anas, mengeluhkan bahkan pada zamannya bahwa “para emir / pemimpin” memaksa orang-orang untuk menulis hadis.” [17] Bahkan Khalifah al-Mahdi (775-785) dikenal sebagai seseorang yang mengarang hadis. [18]

Beberapa hadis berguna dalam membenarkan ekspansi yang cepat dari Kekaisaran Arab, dengan menempatkan manifestasinya dalam mulut Muhammad. Salah satu hadis tersebut menggambarkan insiden selama pengepungan Madinah oleh kaum pagan Quraish dari Mekkah. Setelah memerintahkan pengikutnya untuk menggali parit di sekitar kota, Muhammad melompat sambil memegang linggis untuk mengeluarkan batu yang sangat besar. Tiga kali ketika ia menghujam  batu itu, dan tiga kali percikan cahaya keluar dari batu itu. [19] Muhammad kemudian menjelaskan: "Percikan pertama berarti bahwa Allah telah membuka jalan bagiku ke Yaman, percikan kedua berarti Suriah dan Barat, dan percikan ketiga berarti wilayah timur." [20]  Dalam versi lain, katanya petir menunjukkan bahwa umat Islam akan menaklukkan “istana al-Hira” di Irak selatan “dan al-Madaiin di Kisra,” ibukota musim dingin Kekaisaran Sassania, serta “istana-orang pucat di tanah Bizantium” dan “istana San'a.”  [21] Di lain, Muhammad meramalkan bahwa “orang-orang Yunani akan berdiri di hadapan orang-orang coklat (Arab) dalam pasukan berpakaian putih dan kepala dicukur, dipaksa untuk melakukan semua yang diperintahkan kepada mereka, sementara negara itu kini dihuni oleh orang-orang yang di matamu peringkatnya lebih rendah dari monyet pada paha unta.” [22]


Kaum muslim juga mengarang-ngarang hadis dalam panasnya kontroversi politik dan agama yang mana mereka berharap hadis-hadis tersebut berguna untuk menyelesaikan perpecahan yang terjadi, meskipun sampai sekarang tidak diketahui apakah benar kata-kata tersebut berasal dari mulut sang nabi. Abd al-Malik pada satu kesempatan ingin membatasi Muslim untuk tidak mengadakan ziarah ke Mekah, karena ia takut salah satu rivalnya akan mengambil keuntungan dari ibadah haji untuk merekrut para pengikut. Oleh karena itu, ia berhasil membujuk az-Zuhri untuk mengarang hadis yang menyatakan bahwa ziarah ke masjid di Yerusalem (Bayt al-Maqdis) di mata Allah sama terpujinya dengan berziarah ke Mekkah. Az Zuhri justru melangkah lebih jauh lagi, dengan mengatakan bahwa Muhammad pernah berucap bahwa “shalat di Bayt al-Maqdis di Yerusalem masih lebih baik dari pada shalat ribuan kali di tempat-tempat suci lainnya” – dengan kata lain, bahkan lebih baik dari pada berziarah ke Mekkah. Az-Zuhri bahkan melangkah lebih jauh, setelah Muhammad mengatakan bahwa "doa di Bayt al-Maqdis di Yerusalem adalah lebih baik daripada seribu shalat di tempat-tempat suci lainnya"-dengan kata lain, bahkan lebih baik daripada pergi ke Mekah. Hadis ini muncul dalam salah satu dari enam koleksi Hadis kanonik yang para cendekiawan Muslim anggap paling dapat diandalkan: Sunan Muhammad Ibnu Maja (824-887). [23]