Saturday, 3 August 2013

Bab 1 SANG TOKOH YANG TIDAK PERNAH BENAR-BENAR HADIR (Bagian 2 dari 2)

Kaum Arab Yang Pagan?

Arabia sebelum kaum pagan; kaum Arab adalah polities. Islam, tentu saja dipercaya telah mengakhiri semua itu. Muhammad, menurut catatan standar, menyatukan dan mengislamkan Arabia. Segera setelah kematiannya, beberapa kaum Arab memberontak, yang membawa pada Perang Kaum Murtad di tahun 632 dan 633, namun kaum Muslim memenangkannya. Politeisme dan paganisme Arab segera menjadi relik sejarah.

Namun sekali lagi catatan sejaman secara jelas menggambarkan wajah berbeda. Pada tahun 676 seorang sinode Nestorian menyatakan dalam bahasa Syriak bahwa kaum Kristen di “bagian selatan pulau” yakni Arabia, bahwa “para wanita yang dulu beriman kepada Kristus dan ingin hidup dalam kehidupan Kristen harus menjaga diri mereka sekuat tenaga dari persatuan dengan kaum pagan [hanpê] ….. Perempuan Kristen harus betul-betul menghindari hidup dengan kaum pagan. [17]

Banyak penulis Kristen pada jaman itu merujuk kaum Muslim ini sebagai kaum Pagan, dan beberapa sejarawan telah mengasumsikannya sebagai bukti awal akan bukti keberadaan Muslim di jaman itu. Namun ada bukti-bukti yang diceritakan bahwa ketika para penulis Kristen melaporkan tentang “kaum Pagan” maka mereka benar-benar memaksudkannya sebagai kaum penyembah berhala dan bukan kaum Muslim seperti yang kita ketahui sekarang. Sinode Nestorian menetapkan bahwa “mereka yang didaftarkan sebagai kaum beriman haruslah menjauhkan diri merekka dari kebiasaan kaum pagan yang mengambil dua istri.” Islam tentu saja mengijinkan seorang pria beristrikan maksimal 4 orang ditambah dengan budak-budak perempuan sebagai selir (QS 4:3). Instruksi sinode ini mungkin menjadi sebuah laporan yang tidak tepat terhadap poligami Islam – atau justru adalah rujukan yang tepat terhadap kebiasaan kaum pagan. Sebagai tambahan sinode itu menyebutkan “orang Kristen yang meninggal harus dikuburkan sebagaimana tata cara Kristen, bukan tata cara kaum Pagan. Adalah kebiasaan kaum pagan untuk membungkus mayat dalam kain yang mahal dan mewah, dan membuat perkabungan dengan suara keras… Kaum Kristen tidak diperbolehkan menguburkan mayat dengan kain sutra atau kain mewah lainnya.” [18]  Nah, dari sini kita melihat bahwa tak satupun dari karakter kaum pagan yang digambarkan berhubungan dengan kebiasaan Islam sebagaimana yang kita kenal, yang tidak mengijinkan penguburan disertai dengan kain mewah, apa lagi sutra, serta berkabung dengan jeritan keras bagi orang yang mati. 

Untuk itu Sinode Nestorian nampaknya membicarakan tentang benar-benar kaum pagan, empat puluh tahun setelah konon katanya dibersihkan dari tanah Arab. 

Sebuah indikasi penyebutan lain berasal dari Athanasius II, patriak Monofisit dari Antioch (683-686), sebuah kota di Syria yang pada saat itu menjadi otoritas keempat tertinggi dalam kekristenan. Athanasius mengeluhkan tentang kaum Kristen “yang dengan bebas ikut ambil bagian dalam festival kaum pagan,” dan “beberapa wanita yang tidak beruntung bergabung dengan kaum Pagan.” Ia menggambarkan praktek yang kedengarannya asli kaum Pagan dan bukan tentang Islam: “Segera mereka makan, tidak membuat perbedaan diri mereka, korban-korban kaum pagan, dan melupakan apa yang… perintah dan nasihat para rasul, untuk menghindari perjinahan, memakan daging dari binatang yang dicekik, darah dan makanan dari persembahan kaum pagan.”[19]
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
Inilah rujukan kepada perintah para rasul bagi kaum non Yahudi yang berubah iman dari pagan menuju Kristen, yakni “….”(Kisah Para Rasul 15:20). Namun Athanasius nampaknya tidak hanya mengulangi nasihat sebagai formula pelarangan. Kaum pagan yang ia persoalkan  ini nampaknya mengajak-ngajak wanita Kristen dalam setidaknya praktek-praktek mereka, sebagaimana Athanasius lanjutkan, “Desar  mereka, tegur mereka, peringatkan mereka, dan khususnya wanita-wanita yang bergabung dengan laki-laki semacam itu, agar mereka menjauhkan diri dari makanan yang didapat dari persembahan itu, dari binatang yang mati dicekik, dan dari pertemuan terlarang mereka.” [20]

Kaum Muslim memang mempersembahkan binatang satu tahun sekali pada saat perayaan Idul Adha. Namun mereka tidak mencekik binatang tersebut untuk kemudian dikorbankan. Sehingga demikian tidak mungkin Athanasius memaksudkan kaum pagan itu sebagai Islam dan ritual tersebut sebagai perayaan Iedul Adha. Dan yang paling memungkinkan adalah ritual tersebut milik kaum pagan di wilayah tertentu dimana konon katanya Islam telah membasminya 50 tahun sebelumnya.

Mungkin bahwa para penakluk itu sendiri lebih pagan dari kaum Muslim – bukan karena mereka baru saja berpindah iman dan memeluk Islam tetapi mempertahankan praktek keagaamaan mereka terdahulu, namun Islam sendiri, sebagaimana yang kita kenal saat ini, tidak benar-benar ada pada saat itu. [21] Dan kemungkinan lain, entah islam itu sudah ada atau belum saat itu, baik kaum Arab maupun bangsa-bangsa yang mereka tundukan pernah pernah menyebutkannya.


Tidak Ada Muslim

Pada tahun 639 Patriak Kristen Monofisit John I dari Antiokia bertanya jawab dengan seorang komandan Arab Amir Ibnu al-As. Catatan ini bertahan di sebuah manuskrip tertanggal dari tahun 874. [22] Di dalamnya penulis merujuk kepada kaum Arab bukan sebagai kaum Muslim melainkan sebagai kaum “Hagarian” (mhaggraye), yakni kaum dari Hagar / Hajar, gundik Abraham/Ibrahim, ibu dari Ismail. Lawan bicara sang Patriak memang menolak keilahian Kristus, sejalan dengan ajaran Islam, namun tak satu pun dari mereka yang menyebutkan Qur’an, Islam ataupun Muhammad. [23]

Hal serupa di tahun 647 Ishoyahb III, patriak Seleukia, menulis sebuah surat tentang “Tayyaye” dan “Arab Hagarian” yang “tidak menolong mereka yang tertimpa penderitaan dan kematian di dalam Allah, Tuhan atas segala sesuatu.”[24] Dengan kata lain, kaum Hagarian menolak keilahian Kristus. Di sini pula, tidak pernah ada penyebutan Muslim, Islam, Qur’an, Muhammad sang Nabi Islam. Catatan-catatan Ishoyahb selaras dengan perdebatan delapan tahun sebelumnya (antara Patriak John I dengan Amir Ibnu al-As) yang mengatakan bahwa kaum Arab penakluk menolak keilahian Kristus, tetapi tidak menyebutkan doktrin apapun yang mungkin mereka bawa ke tanah taklukan yang baru ini.

Ketika sumber-sumber non-Muslim menyebutkan nama Muhammad, catatan mereka, seperti halnya Doctrina Jacobi, berbeda dalam hal-hal penting dengan kisah-kisah standar Islam. Sebuah catatan sejarah yang ditujukan kepada uskup Armenia dan ditulis antara tahun 660an atau 670an menggambarkan seorang bernama “Mahmet” sebagai seorang pedagang dan pengkhotbah dari antara kaum Ismael yang mengajarkan pengikutnya untuk menyembah satu Allah yang benar, Allah Abraham. Sejauh ini masih baik: kedengarannya itu seperti gambaran sang nabi Islam. Namun elemen lain dari catatan Sebeos ini tidak memiliki pijakan dalam tradisi Islam. Catatan sejarah itu dimulai dengan kisah pertemuan para pelarian Yahudi dengan kaum Ismael dari tanah Arabia setelah Edessa ditaklukan kembali oleh kekaisaran Byzantium di tahun 628:  

Maka berangkatlah mereka (para pelarian Yahudi) ke padang gurun dan tiba di Arabia, di antara kaum Ismael; mereka mencari pertolongan, dan menjelaskan kepada mereka bahwa mereka bersaudara berdasarkan Bible. Sekalipun mereka (kaum Ismail) siap untuk menerima persaudaraan erat ini, namun demikian mereka (kaum Yahudi) tidak dapat meyakinkan kebanyakan orang di sana, sebab kultus mereka berbeda.  

Pada saat itu ada seorang Ismail bernama Mahmet, seorang pedagang; menyatakan dirinya kepada mereka sekan-akan sebagai perintah Allah, sebagai pengkhotbah, sebagai jalan kebenaran, dan mengajar mereka mengenal Allah Abraham, sebab ia berpengetahuan dan akrab dengan cerita Musa. Karena perintahnya dari Yang Di Atas, maka mereka bersatu di bawah kuasa seorang pria, di bawah hukum tunggal, dan meninggalkan kultus sia-sia, kembali kepada Allah yang hidup yang telah mewahyukan diriNya kepada Bapak Abraham. Mahmet melarang mereka makan daging dari hewan yang telah mati, meminum anggur, berbohong atau berzinah. Ia menambahkan: “Allah telah berjanji memberikan tanah ini kepada Abraham dan keturunannya setelah ia wafat, ia beraksi seusai dengan janjiNya sementara ia mencintai Israel. Sekarang kalian anak-anak Abraham, pergilah dan rebutlah wilayahmu yang Allah berikan kepada Bapak Abraham, dan tak seorangpun mampu menahanmu, sebab Allah dipihakmu.”   

Kemudian mereka bersama-sama berkumpul dari Havilah ke Shur dan seberang Mesir [Kejadian 25:18]; mereka keluar dari padang gurun Pharan dibagi ke dalam dua belas suku berdasarkan leluhur dan bapak-bapak mereka. Mereka membagi suku-suku mereka kedua belas ribu bangsa Israel itu, seribu untuk setiap suku untuk membimbing ke tanah Israel. Mereka keluar, kemah demi kemah, berdasarkan leluhur mereka: Nebajoth, Kedar, Abdeel, Mibsam, Mishma, Dumah, Massa, Hadar, Tema, Jetur, Naphish and Kedemah [Kejadian  25:13-15].

Itulah suku-suku Ismail…. Semua yang tersisa dari suku-suku Israel datang dan bergabung dengan mereka, dan mereka membangun tentara yang besar. Kemudian mereka mengirim utusan kepada kaisar kaum Yunani, dengan mengatakan: “Allah telah memberikan tanah ini sebagai warisan kepada Bapak Abraham dan keturunannya. Kami anak-anak Abraham, kalian telah cukup lama menguasai tanah kami; menyerahlah dengan damai, dan kami tidak akan menyerbu wilayahmu; kalau tidak kami akan mengambil kembali beserta keuntungan yang telah kalian ambil.” [25]

Adalah luar biasa bahwa salah satu catatan paling awal tentang Muhammad sebagai seorang nabi berisikan rincian yang menggambarkan dia yang bersikeras akan hak kaum Yahudi terhadap Tanah Suci – bahkan jika dalam konteks bahwa tanah itu pun milik kaum Ismael, kemudian beraksi bersama-sama dengan kaum Yahudi. Banyak elemen dalam tradisi Islam memang memperlihatkan Muhammad menyatakan dirinya sebagai seorang nabi dalam jalur kenabian Yahudi dan menggabungkan berbagai ketaatan yang diadaptasi dari hukum Yahudi bagi komunitas barunya. Dia bahkan pada awalnya menyuruh kaum Muslim untuk berdoa mengarahke Temple Mount di Yerusalem, sebelum wahyu dari Allah turun bahwa mereka harus menghadap Mekkah. Namun, adalah ganjil sekali bahwa catatan ini tidak memberikan isyarat tentang antagonism terhadap kaum Yahudi yang nantinya menjadi sifat khusus Muhammad dan Muslim terhadap mereka. Qur’an menggambarkan kaum Yahudi sebagai musuh paling berbahaya bagi kaum Muslim (QS 5:82)

Tentu saja catatan Sebeo ini jauh dari nilai historisitas. Tidak pernah ada catatan dua belas ribu orang Yahudi bersekutu dengan kaum Arab untuk menyerbu territorial Byzantium. Namun demikian penyebutan Muhammad merupakan salah satu catatan yang paling tua, dan ini selaras dengan tradisi Islam yang menggambarkan Muhammad sebagai pedagang dan dalam perjalanan karyanya, setidaknya satu titik dalam karirnya, ia memperkembangkan persatuan dengan kaum Yahudi. Namun dari catatan Sebeos kita mendapatkan kesan bahwa setidaknya sampai tahun 660an, kaum Muslim dan Yahudi merupakan saudara spiritual dan mitra politik. Hal ini sama sekali tidak selaras dengan tradisi Islam ataupun catatan konvensional.  

Bahkan dengan cara yang sangat terdistorsi, jika catatan ini benar-benar mencerminkan kejadian historis aktual, bisa dipastikan bahwa kaum Yahudi yang bergabung dalam persatuan itu tidak menganggapnya sebagai apa yang dalam istilah eukumenis “Persaudaraan Muslim-Yahudi”. Sebab sampai saat itu tidak ada penyebutan Muslim atau Islam. Sebagaimana yang kita lihat, catatan-catatan sejarah sejaman dari tanah-tanah yang diduduki menyebut kaum Arab sebagai “Hagarian,” atau “Saraken,” atau “Taiyaye.” 

Para penyerbu menyebut mereka sendiri sebagai Muhajirun, “kaum emigran / kaum yang hijrah” – sebuah istilah yang akhirnya merujuk pada suatu cerita tertentu dalam kisah Islam, tetapi pada jaman itu begitu jelas tidak ada penyebutan Islam dsb. Para penulis berbahasa Yunani kadang member istilah para penyerbu ini sebagai “Magaritai” yang nampaknya diambil dari kata Muhajirun. Namun dengan jelas bahwa dari semua penyebutan itu, mereka yang diserbu dan ditundukan tidak pernah memakai kata “Muslim.” [26]


Sebeos juga mencatat bahwa Muawiya, gubernur Syria dan kemudian menjadi Kalifah, mengirimkan sebuah surat kepada Kaisar Byzantium Konstantine “Si Berjenggot” di tahun 651. Surat itu meminta Konstantine untuk meninggakan kekristenan dan beralih kepada agama – bukan Islam – melainkan sejenis Monoteisme Abrahamik yang tidak jelas.

Jika engkau ingin hidup damai …tinggalkanlah agamamu yang sia-sia itu, dimana engkau telah dibesarkan sejak masih kanak-kanak. Tinggalkanlah Yesus ini dan beralihlah kepada Allah yang aku sembah, Allah dari bapak kita Abraham… jika tidak bagaiman Yesus yang engkau sebut Kristus itu, yang bahkan tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri dari kaum Yahudi, mampu menyelamatkan dirimu dari tanganku? [27]

Kejijikan Islam akan idea Kristus yang disalib adalah bukti. Namun sekali lagi, kita tidak menemukan penyebutan Muhammad, Qur’an, ataupun Islam. Seruan Muawiya kepada Konstantin untuk beralih iman ke agama “Allah dari bapak Abraham” mengingatkan pada formulasi quasi-kredo Qur’an: “……” (QS 2:136). Namun patut dicatat bahwa bacaan Qur’an ini sendiri tidak menyebutkan pewahyuan baru yang pokoknya ditujukan untuk seorang nabi yang nantinya menelurkan kitab suci ini, dan yang seharusnya meneguhkan pesan yang para nabi terdahulu bawa.

Sangat aneh juga bahwa Sebeos tidak menyebutkan Mahmet sang pedagang Ismail dalam hubungannya dengan surat Muawiya. Mungkin pemimpin Arab misterius ini bukanlah figur sentral bagi agama Abrahamik ini sebagaimana orang-orang sesudahnya menjadikannya. Dan catatan-catatan paling awal yang mengisahkan monoteisme Arab, jarang menggambarkan seorang nabi bernama Muhammad yang menempatkan dirinya di suatu posisi dalam agama Abraham, namun tidak ada sesuatu yang lebih dapat kita simpulkan. Seorang penulis sejarah anonimus non-Muslim menuliskan sekitar tahun 680 menggambarkan Muhammad sebagai pemimpin “kaum Ismail” yang Allah telah kirim melawan Persia “seperti pasir di tepi pantai.”  Ia menggambarkan Kabbah “kuil berbentuk kubus di Mekkah – sebagai pusat penyembahan kaum Arab, mengidentifikasikannya dengan Abraham, “Bapak dari kepala suku mereka.” Namun ia tidak menawarkan rincian tentang pengajaran khusus dari Muhammad. Dan seperti halnya para penulis sejarah lainnya, ia tidak pernah menyebutkan Qur’an, atau menggunakan kata “Muslim” atau “Islam”.  [28]

Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 690, seorang penulis sejarah dari Kristen Nestorian, John Bar Pankaye menuliskan otoritas Muhammad dan kebrutalan kaum Arab dalam memaksakan kekuasaannya. Namun tetap ia tidak mengetahui apapun tentang kitab suci yang dari para penakluk ini. Ia juga menggambarkan sebuah praktek relijius baru yang jauh lebih mendekati Yudaisme dan Kekristenan dari agama apa yang nantinya disebut Islam:

Kaum Arab….. memiliki suatu perintah dari ia yang menjadi pemimpinnya, yang selaras dengan kaum Kristen dan para rahibnya, mereka juga, dibawah  kepemimpinannya, melakukan penyembahan kepada Allah yang satu, berdasarkan kebiasaan dalam Perjanjian Lama. Pada awalnya mereka begitu terikat dengan tradisi Muhammad yang adalah guru mereka, sehingga mereka membebankan rasa sakit kematian pada siapapun yang kelihatannya melawan tradisi mereka. Di antara mereka ada banyak orang Kristen, sebagaian dari mereka kaum sesat, dan sebagian dari kita. [29]



Pertama Kali Istilah Muslim Digunakan?

Juga di tahun 690an, seorang Uskup Kristen Koptik, John Dari Nikou, membuat penyebutan “muslim” yang pertama:

Dan sekarang banyak penduduk Mesir yang tadinya Kristen palsu menolak keimanan ortodoks dan baptisan pemberi hidup, dan menganut agama kaum Muslim, musuh Allah, dan menerima doktrin binatang yang menjijikan, yakni, Muhammad, dan mereka melakukan kesalahan bersama-sama dengan para pemuja berhala, dan memanggul senjata dan menyerang kaum Kristen. Salah satu dari mereka memeluk iman Islam ….. dan menyiksa kaum Kristen [30]

Namun, ada alasan untuk percaya bahwa teks yang tersisa ini bukanlah John dari Nikiou yang menulisnya. Teks ini sendiri bertahan hanya dalam bentuk terjemahan ke dalam bahasa Etiopia dari bahasa Arab, yang tertanggal 1602. Teks berbahasa Arab sendiri berasal dari teks asli berbahasa Yunani atau bahasa lain. Tidak ada laporan akan istilah Muslim dan Islam pernah digunakan entah oleh kaum Arab ataupun oleh kaum-kaum yang ditundukan di tahun 690-an, diluar prasasti di Kubah Batu, yang mana prasasti itu sendiri mengandung fitur beragam pertanyaan, sebagaimana kita akan kaji. Dengan demikian mungkin John dari Nikou menggunakan istilah lain seperti – Hagarian? Saraken? Kaum Ismael? – yang mana seorang penerjemah nantinya secara serampangan terjemahkan sebagai Muslim.[31]

Jikapun istilah Muslim digunakan di tahun 690-an, inipun tidak sepopular seperti penggunaan istilah Hagarian, Saraken,
Muhajirun, dan Kaum Ismail. Pada tahun 708 seorang penulis Kristen  Jacob dari Edessa masih merujuk pemakaian Mahgrayé—kata dalam  bahasa Syriac yang mengacu pada Muhajirun, or “kaum yang berpindah”:

Bahwa Mesias adalah keturunan Daud, setiap orang mengakuinya, kaum Yahudi, Mahgrayé, Kristen… Kaum Mahgrayé juga, sekalipun mereka tidak mau mengatakan bahwa Mesias sejati ini, yang datang dan diakui oleh kaum Kristen, adalah Allah dan anak Allah, namun demikian mereka mengakui dengan tegas bahwa dialah Mesias yang telah datang…. Atas hal ini mereka tidak memiliki perselisihan dengan kita, namun dengan kaum Yahudi……. [Namun] mereka tidak membenarkan menyebut Mesias ini Allah atau Anak Allah.  [32]

Pernyataan Jacob memperlihatkan bahwa menjelang dekade pertama abad kedelapan, istilah Muhajirun dikenali sebagai ajaran yang mengakui Yesus tetapi menolak keilahiannya – hal ini menggemakan gambaran Yesus di Qur’an sebagai seorang nabi Islam tetapi tidak bersifat ilahi. 


John dari Damaskus Menyoal tentang kaum Hagarians, Ismael, atau Saraken

Sekitar tahun 730, seorang teolog terkeal Kristen, John dari Damaskus, mempublikasikan bukunya Menyoal Ajaran-ajaran Sesat , sebuah pemaparan kekristenan non-arus utama dalam perpektif ajaran ortodoks Byzantium. Ia memasukan sebuah bab tentang agama baru yang aneh dari orang-orang yang ia identifikasi dengan tiga nama, yaitu kaum Hagarian, Ismail, dan Saraken. John  menuliskan tentang seorang “nabi palsu” bernama Muhammad (Mamed) yang  “setelah mempelajari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan nampaknya telah berbincang-bincang dengan seorang rahib Arian, ia memadukan kesesatannya sendiri. Dan setelah menyenangkan dirinya dengan orang-orangnya dengan berpura-pura sebagai orang suci, ia menebarkan rumor tentang sebuah tulisan (graphe) yang diturunkan padanya dari surga. Demikianlah, setelah menuliskan doktrin-doktrin menggelikan, dia membawanya untuk mereka bentuk penyembahan itu.” [33]

John mengulangi beberapa rincian dari kepercayaan kaum Saraken yang selaras dengan doktrin Islam — khususnya, kritik Islam terhadap kekristenan. “Mereka memanggil kita para pendua Allah – musyrik (hetairiastas) sebab kata mereka kite menduakan Allah dengan mengatakan Kristus adalah Anak Allah dan Allah….. mereka secara serampangan menganggap kita para penyembah berhala karena kita merendahkan diri kita dihadapan salib, yg sangat mereka benci.” Dalam meresponi hal ini John menyebut-nyebut beberapa praktek yang akrab dengan praktek agama Islam: “dan kita katakan pada mereka: ‘ bagaimana denganmu yang menggosok-gosokan dirimu di sebuah batu di Ka’ba (Chabatha) dan menghormat batu itu dengan ciuman mesra?’” [34]

Namun demikian John memperlihatkan suatu keakraban setidaknya dengan sebagian isi dari Qur’an, sekalipun ia tidak pernah menyebutnya sebagai “Qur’an”, hanya merujuk kepada nama surah-surah tertentu. “Perempuan/ An-Nisaa” adalah judul dari surah keempat dalam Qur’an, dan John menulis: “Muhammad ini, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mengarang beberapa cerita sembrono, yang kepada setiap kisahnya itu ia berikan sebuah nama seperti tulisan (graphe) tentang Perempuan, dimana ia secara jelas meresepkan mengawini empat istri dan seribu selir, jika itu memungkinkan.”  Surrah An-Nisaa memang mengijinkan seorang laki-laki menikahi empat istri dan menggunakan budak-budak wanita, “budak-budak yang kamu miliki”(QS 4:3), sekalipun secara spesifik tidak menyebutkan angka seribu, atau jumlah tertentu. Secara sederhana John memakai bahasa hiperbolis atau menggunakan angka seribu untuk mengindikasikan suatu jumlah tak terbatas selir-selir.

John juga merujuk pada “naskah tentang Sapi, yang tentangnya ia (Muhammad) mengatakan ada seekor sapi dari Allah” - sebuah  cerita yang muncul dua kali di Qur’an, sekalipun hanya dua kali penyebutannya secara tidak jelas (QS 7:77, 91:11–14). Lebih lagi, John mencatat bahwa “Muhammad menyebutkan naskah tentang Meja,”  sebuah catatan hidangan tentang Ekaristi Kristen ditemukan di QS 5:112–115, dan “naskah tentang Sapi,” yang menjadi judul dari surrah kedua dalam Qur’an,  “dan beberapa lagi hal bodoh dan menggelikan yang, karena jumlahnya yang begitu banyak, aku pikir seharusnya sudah lama hilang dari edaran.” [35]

John mendemonstrasikan suatu pengetahuan rinci tentang Yesus Kristus dari Qur’an, yang dianggap berasal dari Muhammad. Catat bahwa kata-kata dalam tanda kurung dibawah ini telah ditambahkan oleh penerjemah dalam bahasa Inggris, yang pada umumnya merujuk pada ayat-ayat dalam Qur’an, namun pemberian ayat ini tidak muncul dalam tulisan John yang asli. John menulis :

Dia  [yakni, Muhammad] mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah Firman Allah dan Roh-Nya [lihat QS 9:171], diciptakan [QS 3:59] dan seorang hamba [QS 4:172, 9:30, 43:59], dan ia terlahir dari Maria [QS 3:45 dan Qur’an selalu menyebutkan Isa putra Maryam], saudara perempuan Musa dan Harun [QS 19:28], dilahirkan bukan dari benih pria [QS 3:47, 19:20, 21:91, 66:12]. Sebab dia berkata, Firman Allah dan Roh-Nya telah dihembuskan kepada Maria [QS 19:17, 21:91, 66:12], dan ia melahirkan Yesus, seorang nabi [QS 9:30, 33:7] dan hamba Allah. Dan [ia berkata] bahwa kaum Yahudi, yang bertindak melawan hukum, hendak menyalibkan dia, tetapi pada saat menangkap [nya], mereka [hanya] menyalibkan bayangannya; Kristus sendiri tidak disalibkan, dia berkata, dan tidak pula dia mati [QS 4:157]. Sebab Allah mengangkatnya ke surga… dan Allah bertanya kepada Yesus dengan mengatakan: “Yesus, apakah engkau mengatakan “Aku adalah putera Allah dan Allah?” Dan dia [Muhammad] mengatakan bahwa Yesus menjawab, “Kasihi aku, Tuhan, engkau tahu bahwa aku tidak mengatakan demikian”  [5:116]. [36]

Ini merupakan ringkasan mengesankan dari pengajaran Qur’an tentang Yesus. Namun ingat bahwa ayat-ayat rujukan di dalam tanda kurung itu telah ditambahkan oleh penerjemah ke dalam bahasa Inggris. John sendiri tidak merujuk pada surah dan ayat mana, dan ringkasan ini berisikan perbedaan yang kecil namun mencolok dari teks Qur’an yang ada sekarang. Contohnya, di QS 5:116 Allah tidak menanyakan Yesus entah ia menyebut dirinya Putera Allah atau Allah, melainkan “ Adakah kamu mengatakan kepada manusia :’ jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan [terjemahan tepatnya Ilah / allah- bukan tuhan] selain Allah?”   Dan Yesus tidak menjawab, “ Kasihi aku, Tuhan, engkau tahu bahwa aku tidak mengatakan demikian,” melainkan “Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib-ghaib.” 

Perbedaan ini, juga fakta bahwa John menuliskan ringkasan yang begitu mencolok sama seperti yang Qur’an katakan tentang Yesus, yang menjadi ketertarikan dia sebagai teolog Kristen (khususnya nubuatan yang dianggap dikatakan oleh Yesus akan kedatangan Muhammad dalam QS 61:6) memunculkan kemungkinan bahwa John sedang menulis bukan dari sebuah salinan actual dari Qur’an melainkan dari sebuah tradisi oral, atau dari beberapa naskah yang kemudian dimasukan ke dalam kanonisasi Qur’an. 

Alasan lain untuk dikemukakan adalah bahwa John tidak sedang meringkas Qur’an yang dia buka dihadapannya adalah fakta bahwa ia tidak pernah merujuk satu kitab pun dengan menyebutkan namanya. Malahan ia member kesan bahwa “teks tentang Perempuan” dan “teks tentang Unta Allah” dan “teks tentang Sapi” sebagai dokumen-dokumen yang terpisah dan bukannya satu koleksi utuh. Naskah “Perempuan-perempuan” (bukan perempuan sebagai kata benda tunggal)  sebagaimana John tuliskan dan “Sapi” adalah dua surrah yang tercantum di Qur’an (QS 4 & QS 2). Sedangkan “Unta Allah” tidak tercantum dalam Qur’an. Adalah mungkin bahwa John sedang bekerja dari apa yang kaum Hagarian atau kaum lainnya yang memiliki hubungan dengan mereka ,telah mengatakannya kepada John, dan bukan dari naskah tertulis, atau setidaknya dari naskah tertulis yang tidak tepat seperti Qur’an yang kita kenal sekarang. 

Adalah mungkin bahwa masalah penyebutan itu semata-mata adalah karena keanehan dari John, tanpa signifikansi lebih lanjut. Dalam kasus lain pemahaman actual John melebihi pemahaman pengajaran Islam dari pada para penulis non-Muslim awal yang menyoal tentang keyakinan para penakluk Arab ini. Tetapi catat bahwa John menulis satu abad setelah pewahyuan Qur’an yang diakui dan pendirian Islam.

Dan bahkan pada titik ini, hampir seratus tahun berlalu setelah tahun yang dianggap sebagai tahun kematian Muhammad, gambaran Muhammad tetap saja kabur. Malahan gambaran Muhammad yang gegap gempita, sebagai penerimat wahyu-wahyu Allah lewat malaikat Jibril, yang nantinya dijadikan Qur’an, hidup dan karyanya yang konon katanya “dipenuhi terang sejarah” ternyata tidak muncul sampai beberapa dekade kemudian.
  


Catatan :

1 Yehuda D. Nevo and Judith Koren, Crossroads to Islam (Amherst, NY: Prometheus, 2003), 265.
2 Ibid., 265–66.
3 Quotations from the Qur'an are taken, except where noted, from A. J. Arberry, The Koran Interpreted (New York: George Allen
& Unwin, Ltd., 1955).
4 Doctrina Jacobi vol. 16, 209 (quoted in Robert G. Hoyland, Seeing Islam as Others Saw It: A Survey and Evaluation of
Christian, Jewish, and Zoroastrian Writings on Early Islam [Princeton: Darwin Press, 1997], 57).
5 Historian Robert G. Hoyland notes that the first editor of this text suggested that it had begun as a continuation of Eusebius's
ecclesiastical history and was then updated a century after it was first written: “A mid-seventh century Jacobite author had written a
continuation of Eusebius and…this had been revised almost a century later when the lists of synods and caliphs and so on were added”
(Hoyland, Seeing Islam, 119).
6 Thomas the Presbyter, Chronicle, 147–48 (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 120).
7 Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 264.
8 John Moschus, Pratum spirituale, 100–102, Georgian translation, Gérard Garitte, trans., “‘Histoires édificantes’ géorgiennes,”
Byzantion 36 (1966): 414–16 (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 63).
9 Homily on the Child Saints of Babylon, §36 (tr. de Vis, 99–100) (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 121).
10 Sophronius, Ep. Synodica, Patrologia Greca 87, 3197D–3200A (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 69).
11 Sophronius, Christmas Sermon, 506 (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 70).
12 Sophronius, Holy Baptism, 162 (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 72–73).
13 Steven Runciman, A History of the Crusades, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1951), 3.
14 Ibid., 1:4.
15 On the Pact of Umar, see Mark Cohen, “What Was the Pact of Umar? A Literary-Historical Study,” Jerusalem Studies in
Arabic and Islam 23 (1999), 100–158.
16 Muhammad ibn Jarir at-Tabari, The History of al-Tabari, vol. XII, “The Battle of al-Qadisiyyah and the Conquest of Syria and
Palestine,” trans. Yohanan Friedmann (Albany: State University of New York Press, 1992), 191–92.
17 Quoted in J. B. Chabot, trans. and ed., Synodicon Orientale, 3 vols. (Paris: Imprimerie Nationale, 1902), Syriac text, 1:224,
French translation, 2:488 (quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 218).
18 Quoted in Chabot, Synodicon Orientale, Syriac text, vol. 1, 224, French translation, 2:488, Nestorian Synod, 676 C.E., Canon 16
(quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 219).
19 Quoted in F. M. Nau, “Littérature Canonique Syriaque Ineditée,” Revue de l'Orient Chrétien 14 (1909): 128–30 (quoted in Nevo
and Koren, Crossroads to Islam, 217).
20 Quoted in Nau, “Littérature Canonique Syriaque Inéditée,” 128–30 (quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 217–18).
21 For more on this from a different perspective, see Fred M. Donner, Muhammad and the Believers: At the Origins of Islam
(Cambridge, MA: The Belknap Press of Harvard University Press, 2010).
22 Patriarch John–Arab Emir, Colloquy, trans. Francois Nau, “Un colloque de patriarche Jean avec l'émir des Agareens et fait
divers des années 712 a 716,” Journal Asiatique 11/5 (1915): 225–79 (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 459).
23 Alphonse Mingana, “The Transmission of the Koran,” in Ibn Warraq, ed., The Origins of the Koran (Amherst, NY:
Prometheus, 1998), 105.
24 Duval, ed., Corp. Script. Christ. Orient, tomus LXIV, 97 (quoted in Mingana, “The Transmission of the Koran,” 106).
25 Sebeos, Histoire d'Héraclius par l'Evêque Sebêos, trans. Frederic Macler (Paris: 1904), 94–96 (quoted in Patricia Crone and
Michael Cook, Hagarism: The Making of the Islamic World [Cambridge: Cambridge University Press, 1977], 6–7).
26 See Donner, Muhammad and the Believers.
27 Quoted in Sebeos, Histoire, 139–40 (translated into English and quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 229).
28 Chronica Minora, tomus IV, 30, 38, in Duval, ed., Corp. Script. Christ. Orient (quoted in Mingana, “The Transmission of the
Koran,” 106–7).
29 Quoted in Alphonse Mingana, Sources Syriaques, vol. 1, pt. 2, 146ff. (quoted in Mingana, “The Transmission of the Koran,”
107).
30 The Chronicle of John (c. 690 A.D.) Coptic Bishop of Nikiu, trans. and ed. Robert H. Church (London: 1916; reprinted Philo
Press), ch. 121, pp. 10–11, 201 (quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 233).
31 Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 234.
32 F. Nau, “Lettre de Jacques d'Edesse sur la généalogie de la sainte Vierge,” Revue de l'Orient Chrétien (1901): 518–23 (quoted
in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 235).
33 John of Damascus, De haeresibus C/CI, 60–61 (= Patrologia Greca 94, 764A–765A) (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 486).
34 Ibid., 63–64 (= Patrologia Greca 94, 765C–769B) (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 486–87).
35 Ibid., 64–67 (= Patrologia Greca 94, 769B–772D) (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 487).

36 Ibid., 61 (= Patrologia Greca 94, 765A–B) (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 488–89).