Faksionalisme dan Hadis
Terkadang hadis dikarang dalam
rangka untuk mendukung salah satu pihak diantara faksi-faksi Muslim awal.
Khalifah Muawiyah yang menggantikan Ali
bin Abu Talib, anak menantu Muhammad, yang juga Kalifah terakhir dari Kalifah
al Rasyidun, dan Husain, putra Ali yang terpilih untuk menggantikannya, dan Muawiyah
terus berjuang melawan kelompok yang baru lahir ini, yaitu kaum Ali , yang akhirnya
menjadi kelompok Syiah. Muawiya dihadirkan dalam sebuah hadis ketika ia memberi
perintah seorang kepala tentaranya, al-Mughira: "Janganlah engkau bosan
menyesah dan menghina Ali dan menyerukan sifat murah hati Allah bagi Usman [Kalifah
yang digantikan oleh Ali, dan juga sepupu Muawiyah], dan memfitnah para sahabat
Ali, singkirkan mereka dan abaikan perkataan mereka. Dan sebaliknya pujilah
klan Usman, dekaplah mereka dan dengarkanlah mereka.” [24] Oleh karena itu, muncullah sebuah Hadis dimana Muhammad menyatakan
bahwa ayah Ali, yang juga wali Muhammad, Abu Thalib, terbakar di neraka: “mungkin
doa syafaatku akan berguna baginya di hari kebangkitan, sehingga ia dapat dipindahkan
ke dalam kolam api yang mencapai sampai pergelangan kaki, tetapi masih cukup
panas untuk membakar otaknya.” [25]
Sebaliknya kelompok Ali menuliskan
bahwa Muhammad-lah yang menunjuk Ali sebagai penjamin pemahaman yang benar atas kitab suci umat
Islam: “Aku pergi berperang bagi pengakuan Quran, dan Ali akan berjuang bagi penafsiran
quran.” [26] Dalam hadis lain yang disukai
kaum Syiah, Muhammad menyatakan, “Mereka yang mengetahui guru dari siapakah
aku, maka mereka akan menjadi murid-murid Ali.” lalu Muhammad mengambil
tangannya dan berdoa, “Ya Allah, lindungi dia yang mengakui Ali dan jadilah
Engkau musuh bagi semua yang menentang Ali.” Mendengar itu, Umar (yang kemudian menjadi
khalifah, setelah kematian Abu Bakar pada tahun 634), berkata kepada Ali: “Semoga
engkau beruntung, putra Abu Thalib, sejak saat ini engkau ditunjuk sebagai penguasa atas semua pria dan
wanita Muslim.” [27]
Di hadis lain yang pro-Ali,
Muhammad berseru ke salah satu sahabatnya: “Oh Anas! Adakah orang lain di antara
kaum Anshar yang lebih baik dari atau
lebih cakap dari Ali?” [28]
Kaum Ansar, atau ‘para penolong’ adalah orang-orang Madinah yang telah masuk
Islam setelah Muhammad hijrah ke sana dari Mekah, dua belas tahun setelah karirnya
sebagai seorang nabi.
Kaum Ummayah berbalik
melawan dengan mengarang-ngarang hadis baru berdasarkan kepentingan mereka
sendiri. Menurut Aisha, (salah satu istri favorit nabi, yang membenci Ali
karena ia pernah menghasut Muhammad untuk menceraikan Aisha dan mengambil istri
yang baru ketika Aisha dituduh berselingkuh) ia diberitahu setelah kematian
sang nabi bahwa Muhammad menunjuk Ali sebagai penggantinya dalam suatu surat
waris. Aisha bereaksi keras: “Kapan Muhammad mengangkat dia lewat surat waris?
Sesungguhnya, ketika ia mati ia berbaring dalam dadaku (atau katakanlah: dalam
pangkuanku) dan ia meminta baskom untuk mencuci wajah dan jatuh terkulai pada
saat itu, dan aku bahkan tidak menyangka ia telah meninggal, jadi kapan
Muhammad mengangkat dia lewat surat waris?” [29]
Dalam sebuah hadis lainnya,
Muhammad memuji tiga laki-laki yang akan segera menggantikannya: Abu Bakar,
Umar dan Usman, masing-masing darinya dipilih sebagai Kalifah dan bukannya Ali.
Setelah Muhammad memanjat gunung Uhud dengan tiga penggantinya, gunung itu
mulai goncang dan ia berbicara: “Tenanglah, oh gunung Uhud, sebab bagimu ada
tiga orang lain yang melebihi seorang nabi, seorang Siddiq dan dua orang syuhada.” [30] Siddiq, atau “yang benar” adalah gelar kehormatan yang diberikan
kepada seseorang yang benar-benar dapat dipercaya.
Kaum Ummayah bahkan
menuliskan bahwa Ali mengucapkan kata-kata yang memuji dua pesaingnya sebagai
sahabat terdekat Muhammad. Dalam sebuah hadis, Ibnu Abbas mengingat:
Pada saat aku sedang
berdiri di antara orang-orang yang berdoa kepada Allah bagi Umar bin Al-Khattab
yang tengah sakratul di tempat tidurnya, seorang laki-laki dibelakangku
meletakan sikunya di pundakku dan berseru, “ (O Umar!) Semoga Allah melimpahkan
ampunan kepadaku. Aku selalu berharap bahwa Allah akan menjagamu bersama dengan
dua sahabat lainnya, sebab aku sering mendengar Rasul Allah berkata, ‘Aku, Abu
Bakar dan Umar berada di suatu tempat. Aku, Abu Bakar dan Umar melakukan
sesuatu. Aku, Abu Bakar dan Umar pergi ke suatu tempat.’ Jadi aku berharap
Allah akan menjagamu bersama kedua orang lainnya.” Aku (Ibnu Abbas) berpaling
untuk melihat siapa yang berbicara tersebut, dan ia ternyata Ali bin Abi Talib.
[31]
Para pendukung Ali mengejek
Usman karena telah melarikan diri selama beberapa pertempuran awal Muslim.
Salah satu pengikut Ali mengejek Usman dalam ayat: “Engkau boleh menuduh aku
dosa yang lebih parah dari pada dia yang lari terbirit-birit dari Khaybar. Aku
sebut dia yang lari dari Marhab bagaikan seekor keledai yang lari dari singa.” [32]
Usman berkelit dari situasi
ini dengan mengacu pada kata-kata Muhammad. Salah satu hadis menceritakan kisah
seorang Mesir yang telah datang ke Mekkah untuk haji dan meminta seorang Muslim
tua, Abdullah bin Umar, putra khalifah kedua: “Apakah Anda tahu bahwa Usman
berhasil melarikan diri di hari perang Uhud?” Ketika Ibnu Umar mengatakan bahwa
ya, dia tahu itu, orang Mesir itu ternyata memiliki sesuatu yang lebih: “Apakah
Anda tahu bahwa Usman tidak hadir pada hari (perang) Badar dan ia tidak
bergabung?”
Ketika Ibnu Umar kembali mengatakan
ya, orang Mesir itu kembali dengan pertanyaan ketiga: “Apakah Anda tahu bahwa
ia gagal untuk menghadiri perjanjian Ar-Ridwan dan tidak menyaksikan janji
itu?” Janji ini adalah sebuah deklarasi kesetiaan kepada Muhammad yang para
sahabatnya terdekatnya buat setelah nabi Islam menyimpulkan sebuah perjanjian
dengan kaum Quraish pagan; perjanjian Hudaibiya, seperti yang dikenal dalam
tradisi Islam, adalah merugikan pihak Muslim, khususnya dalam berbagai hal.
Untuk ketiga kalinya, Ibnu
Umar berkata, “Ya.” Kemudian orang Mesir itu menjawab, “Allahu akbar!”- Dalam
hal ini, sebuah ekspresi marah dan cemas. Kemudian Ibnu Umar menjelaskan dengan
mengatakan bahwa Allah “memaafkan” Usman karena absen dari Uhud, meskipun ia
tidak menjelaskan ketidakhadirannya. Adapun tentang perang Badar, Ibnu Umar
mengatakan bahwa Usman tidak ada di sana karena ia menaati Muhammad: “Putri
Rasulullah adalah istrinya dan dia sakit saat itu. Rasul Allah berkata
kepadanya, ‘Anda akan menerima pahala dan bagian (barang jarahan) yang saa sebagai
salah satu dari mereka yang berpartisipasi dalam perang Badar (jika Anda
tinggal dengan Aisyah).’” Akhirnya, Ibnu Umar menjelaskan ketidakhadiran Usman pada
saat Perjanjian Kesetiaan Ar-Ridwan dengan mengatakan bahwa Muhammad mengirim
Usman ke tempat lain, dan “seandainya ada orang di Mekah yang lebih terhormat
daripada Usman (yang akan dikirim sebagai wakil), Rasul Allah akan mengirim dia
bukannya Usman.” Pada kenyataannya, pada saat Usman tidak hadir, Muhammad “mengulurkan
tangan kanannya dan berkata, 'ini adalah tangan Usman." Dia mengelus
tangan ainnya dengan tangan yang tadi dan berkata,’ Ini (janji setia) adalah
atas nama Usman.’” Ibnu Umar menceritakan kepada orang Mesir itu: “Ingatlah
alasan-alasan ini dalam pikiranmu.” [33]
Kisah ini tidak hanya membebaskan
Usman dengan melibatkan Muhammad sendiri, tetapi juga meninggikan Usman melampaui
semua saingannya sebagai “yang lebih terhormat,” dan bahkan menunjukkan
Muhammad bertindak sebagai kuasanya. Bagaimana, kemudian, orang bisa mendukung
klaim Ali sebagai Khalifah di atas Usman? Demikianlah, setidaknya sampai kelompok
Ali menemukan hadis lain yang mendukung ia sebagai pemenangnya. Hadis ini
menjelaskan pengepungan oasis Khaybar, permukiman Yahudi terakhir di Arab setelah
Muhammad (menurut hadis lain masih) mengasingkan dua dari tiga suku Yahudi
Madinah dan membantai yang ketiga. Muhammad mengirimkan Abu Bakar, Umar, Usman
dan-sini lagi, tiga khalifah pertama dan saingan Ali, secara bergiliran
menyerang salah satu benteng Khaybar, tetapi mereka tidak dapat memenangkannya.
Ketika ia mengirimkan Usman, Muhammad ingat akan reputasi Usman yang pengecut,
dan menyemangatinya: “Besok aku akan memberikan bendera kepada seorang pria
yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan menaklukkan musuh dengan
cara-Nya,. Ia tidak melarikan diri” Tetapi bahkan Usman gagal, sehingga Muhammad
memanggil Ali, menyembuhkan dia secara ajaib dari penyakit mata, dan
mengirimkan dia untuk menaklukan benteng tersebut. Ali, tentu saja, berhasil. [34]
Berbagai faksi Islam menggelontorkan
hadis-hadis yang membela pemimpin mereka atau menyerang orang-orang dari
lawan-lawan mereka. Kaum Umayyah menciptakan hadis yang membela gubernur
Umayyah di Irak, Khalid al-Qasri (w.743), yang dibenci oleh para Muslim saleh karena kebrutalannya dalam
pemerintahan. Khalid dibebaskan dalam sebuah hadis dimana Muhammad dibuat untuk
mengatakan, “Ya Allah, biarkan kemenanganmu dan kemenangan agama-Mu terjadi
melalui keturunan Asad bin Kurz,” yakni nenek moyang dari Khalid. [35] Namun para penentang Bani Umayyah menciptakan hadis
dimana Nabi Muhammad meremehkan Khalifah al-Walid (705-715). Dalam hadis
tersebut, Muhammad bertemu seorang pria yang baru saja menamai anaknya yang
baru lahir al-Walid: “Engkau menamai anak-anakmu dengan nama Firaun.
Sesungguhnya, seorang pria dengan nama al-Walid akan datang dan akan menimbulkan cedera yang lebih besar pada
komunitasku dari pada yang sebelumnya Firaun kenakan kepada kaumnya.” [36] Kelak seorang periwa dari hadis
ini mencatat bahwa sementara hadis ini awalnya diyakini merujuk pada al-Walid
I, setelah al-Walid II (743-744) mulai melakukan kekejaman sendiri, mulailah hadis
ini ditafsirkan bahwa Muhammad sebenarnya mengacu al-Walid II. [37]
Penuh Dengan Kontradiksi
Tak pelak lagi bahwa konsekuensi
dari semua ini adalah kebingungan semata. Karena pihak yang bertikai mengarang-ngarang
semua hadis yang mendukung posisi mereka, maka hadis menjadi penuh dengan kontradiksi. Banyak dari hadis,
tetapi tidak berarti semuanya, berisi perbedaan-perbedaan dalam praktek ritual
Islam, mungkin mencerminkan variasi regional. Misalnya, di antara hadis-hadis
yang disusun oleh seorang imam terkenal di abad 9, Imam Muhammad Ibn Ismail
al-Bukhari, ada salah satu catatan, yang menurut Ibnu Abbas, “Nabi melakukan
wudhu dengan mencuci bagian tubuh hanya sekali.” [38] Tetapi Bukhari sendiri melaporkan bahwa Sahabat lain dari Muhammad,
Abdullah bin Zaid, mengatakan bahwa “Nabi melakukan wudhu dengan mencuci bagian
tubuhnya dua kali.” [39] Namun hadis lain yang dikumpulkan oleh Bukhari sendir mengisahkan Muhammad
memuji Usman yang melakukan wudhu tidak sekali atau dua kali tetapi tiga kali, dengan
mengatakan bahwa jika dia seperti itu sambil menghindari gangguan, “dosa-dosa di
masa lalunya akan diampuni.” [40] Bukhari menempatkan ketiga hadis
tersebut bersama-sama tanpa komentar atau upaya harmonisasi.
Dalam sebuah hadis lain yang
ditulis oleh seorang imam abad kesembilan, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi,
kita diberitahu bahwa Muhammad “menolak minum air sambil berdiri.” [41] Namun Muslim juga
melaporkan bahwa ketika Ibnu Abbas memberi Muhammad air suci dari sumur Zamzam
di Mekah, Muhammad-yang perilakunya selalu jadi teladan bagi umat Islam
–“meminumnya sambil berdiri.” [42]
Seorang apologis Islam
kontemporer menunjukan sebuah hadis di mana Muhammad “melarang pembunuhan
perempuan dan anak-anak” sebagai bukti kemanusiaan dari hukum Islam tentang
peperangan,hal mana tidak biasa untuk jaman itu. [43] Namun segera setelah mengikuti
larangan tersebut, Muslim memasukan hadis lain di mana Muhammad, “ketika
ditanya tentang para wanita dan anak-anak kaum musyrik yang mati dibunuh dalam
suatu penyerangan malam hari, ia berkata, ‘Mereka (para perempuan dan
anak-anak) adalah bagian dari mereka (kaum Musyrikun).’” [43] Dengan kata lain, anak-anak
kaum musyrik adalah bagian kaum musyrik dan layak untuk berbagi nasib yang
sama, yakni dibunuh. Kontradiksi lain melibatkan rincian kehidupan Muhammad
sendiri, skema eskatologis Islam, dan banyak lagi. Akibatnya, seorang sarjana
abad kesembilan Asim an-Nabil (w. 827) mengangkat tangannya dalam keputusasaan :
“Aku telah sampai pada kesimpulan bahwa seorang saleh tidak akan pernah begitu
siap untuk berbohong seperti halnya dalam hadis.” [45]
Pengumpulan dan Kodefikasi Hadis
Otoritas Islam menyadari
bahwa suatu upaya harus dilakukan untuk keluar dari semua kekacauan ini. Di paruh akhir abad kedelapan, Bani Abbasiyah
memulai pengumpulan dan kodifikasi Hadis. Dengan demikian mereka secara
eksponensial memperluas pengetahuan spesifik tentang apa yang nabi Islam telah perintahkan
dan kecam, apa yang ia setujui dan ia tolak. Penyair Marwan bin Abi Hafsa tentu
saja memuliakan khalifah Abbasiyah Muhammad bin Mansur al-Mahdi (775 -785) dari
dinasti Abbasiah dengan menuliskan: “Sang amirul Mukminin [pemimpin kaum beriman], Muhammad [yakni
Muhamad bin Mansur al-Mahdi] telah menghidupkan kembali sunnah Nabi berkaitan
dengan apa yang diijinkan, apa yang dilarang.” [46]
Upaya besar ini berbuah penuh
di abad berikutnya, dengan munculnya enam koleksi Hadis yang paling penting, yang
mana tidak ada satupun dari keenam kumpulan hadis itu yang berasal dari dua
abad pertama sejak kematian Muhammad. Bersama-sama keenam kumpulan hadis ini
dikenal sebagai as-Sahih as-Sittah: yang otentik dan dapat dipercaya (sahih berarti
“benar” atau “bisa diandalkan”). Ini termasuk Sahih Bukhari,, dalam rangka
pentingnya reputasi untuk dianggap sebagai yang andal atau bisa dipercayai.
Sahih Bukhari dianggap sebagai koleksi hadis yang paling dihormati dan
berwibawa, yang disusun oleh Bukhari (810-870), Sahih Muslim, Muslim bin
al-Hajjaj (821-875), Hadis oleh Sunan Abu Dawud as-Sijistani (818-889);
As-Sunan as-Sughra oleh Ahmad bin an-Nasai Shuayb (829-915), Jami oleh Abu Isa
Muhammad At-Tirmidzi (824-892), dan Sunan oleh Muhammad Ibnu Maja (824-887).
Meskipun kaum Muslim
menganggap Hadis koleksi Bukhari dan Muslim yang paling dapat dipercaya, namun
koleksi hadis lain juga tetap dihormati. Abu Dawud as-Sijistani, misalnya,
dilaporkan melakukan perjalanan ke Saudi, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Iran,
dan ke tempat-tempat lain guna mengumpulkan hadis. Seorang imam yang dihormati,
Zakariya bin Yahya as-Saji, menyatakan: “ Al Qur'an adalah dasar dari Islam dan
Sunan Abu Dawud adalah tiangnya.” Imam lain, Ibnu al-Arabi, menambahkan: “Tidak
perlu pengenalan pengetahuan apa pun setelah memperoleh pengetahuan tentang
Al-Qur'an dan Sunan Abu Dawud.” [47]
Koleksi hadis yang paling
dihormati, Hadis Bukhari, dimulai dengan mimpi, menurut Dr Muhammad Muhsin
Khan, seorang sarjana Islam Saudi dan penerjemah Qur'an penerjemah. Dr Khan
menulis bahwa Bukhari bermimpi ia “sedang berdiri” di depan Nabi Muhammad dan
ia sedang memegang kipas angin di tangannya untuk mengusir lalat dari sang Nabi.” Imam Bukhari menafsirkan mimpi ini
sebagai tanda ilahi bahwa ia akan “mengusir kepalsuan yang disisipkan dalam
ajaran-ajaran Muhammad.” Oleh karena itu, ia menghabiskan hidupnya mencoba
untuk membedakan mana hadis yang sahih dari yang palsu. Menurut tradisi Islam,
Bukhari melintasi dunia Islam mengumpulkan cerita tentang ucapan dan tindakan Muhammad
sampai 300.000 hadis ! [48] Akhirnya ia menolak hampir
293.000 darinya sebagai hadis yang dibuat-buat, atau setidaknya keandalan hadis-hadis
tersebut tidak mungkin untuk dievaluasi.
Dia memilih dan menerbitkan
7.563 hadis, meskipun koleksi ini ada termasuk pengulangan di dalamnya; akhirnya
ia memisahkan 2.602 hadis yang ia dianggap otentik. Bahkan koleksi ini setebal sembilan volume dalam edisi bahasa
Inggris-Arab modern yang diterbitkan di Arab Saudi !
Imam Muslim bin al-Hajjaj
adalah murid Bukhari. Lahir di Nishapur di tempat yang sekarang jadi Iran, ia
dikatakan telah melakukan perjalanan ke Saudi, Mesir, Suriah, dan Irak untuk
mengumpulkan hadis. Menurut tradisi Islam, ia juga mengumpulkan 300.000 hadis,
yang memelihara 4.000 dari sebagai yang otentik dalam Sahih karyanya.
Kebanyakan sarjana muslim
menganggap koleksinya, beserta dengan koleksi Bukhari, hampir sepenuhnya dapat
diandalkan, Muslim hampir tidak pernah mempertanyakan hal ihwal otentisitas
tradisi yang muncul baik dalam muncul baik dalam Sahih Bukhari maupun Sahih
Muslim – yang mana sebenarnya banyak (diskrepansi dan kontradiksinya). Dalam
satu situs Internet yang berisi pengenalan iman dan praktekIslam, disana mereka
menjamin para pembaca bahwa “tidak ada dalam situs ini yang melanggar
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam hukum Islam,” dan meringkas
pendapat umum di kalangan Muslim Islam bahwa: "Sahih Bukhari benar-benar
spesial dengan keandalannya yang kuat.” Situs ini juga menambahkan bahwa Imam
Muslim memilih hadis yang ia masukan dalam Sahih
Muslim “berdasarkan atas kriteria penerimaan yang ketat.” [49]