Thursday 15 August 2013

Bab 3. MENGARANG-NGARANG MUHAMMAD (bag. 3)

Faksionalisme dan Hadis

Terkadang hadis dikarang dalam rangka untuk mendukung salah satu pihak diantara faksi-faksi Muslim awal. Khalifah Muawiyah yang menggantikan  Ali bin Abu Talib, anak menantu Muhammad, yang juga Kalifah terakhir dari Kalifah al Rasyidun, dan Husain, putra Ali yang terpilih untuk menggantikannya, dan Muawiyah terus berjuang melawan kelompok yang baru lahir ini, yaitu kaum Ali , yang akhirnya menjadi kelompok Syiah. Muawiya dihadirkan dalam sebuah hadis ketika ia memberi perintah seorang kepala tentaranya, al-Mughira: "Janganlah engkau bosan menyesah dan menghina Ali dan menyerukan sifat murah hati Allah bagi Usman [Kalifah yang digantikan oleh Ali, dan juga sepupu Muawiyah], dan memfitnah para sahabat Ali, singkirkan mereka dan abaikan perkataan mereka. Dan sebaliknya pujilah klan Usman, dekaplah mereka dan dengarkanlah mereka.” [24] Oleh karena itu, muncullah sebuah Hadis dimana Muhammad menyatakan bahwa ayah Ali, yang juga wali Muhammad, Abu Thalib, terbakar di neraka: “mungkin doa syafaatku akan berguna baginya di hari kebangkitan, sehingga ia dapat dipindahkan ke dalam kolam api yang mencapai sampai pergelangan kaki, tetapi masih cukup panas untuk membakar otaknya.” [25]

Sebaliknya kelompok Ali menuliskan bahwa Muhammad-lah yang menunjuk Ali sebagai penjamin pemahaman yang benar atas kitab suci umat Islam: “Aku pergi berperang bagi pengakuan Quran, dan Ali akan berjuang bagi penafsiran quran.” [26] Dalam hadis lain yang disukai kaum Syiah, Muhammad menyatakan, “Mereka yang mengetahui guru dari siapakah aku, maka mereka akan menjadi murid-murid Ali.” lalu Muhammad mengambil tangannya dan berdoa, “Ya Allah, lindungi dia yang mengakui Ali dan jadilah Engkau musuh bagi semua yang menentang Ali.”  Mendengar itu, Umar (yang kemudian menjadi khalifah, setelah kematian Abu Bakar pada tahun 634), berkata kepada Ali: “Semoga engkau beruntung, putra Abu Thalib, sejak saat ini engkau  ditunjuk sebagai penguasa atas semua pria dan wanita Muslim.” [27] Di hadis lain yang pro-Ali, Muhammad berseru ke salah satu sahabatnya: “Oh Anas! Adakah orang lain di antara kaum Anshar  yang lebih baik dari atau lebih cakap dari Ali?” [28] Kaum Ansar, atau ‘para penolong’ adalah orang-orang Madinah yang telah masuk Islam setelah Muhammad hijrah ke sana dari Mekah, dua belas tahun setelah karirnya sebagai seorang nabi.

Kaum Ummayah berbalik melawan dengan mengarang-ngarang hadis baru berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Menurut Aisha, (salah satu istri favorit nabi, yang membenci Ali karena ia pernah menghasut Muhammad untuk menceraikan Aisha dan mengambil istri yang baru ketika Aisha dituduh berselingkuh) ia diberitahu setelah kematian sang nabi bahwa Muhammad menunjuk Ali sebagai penggantinya dalam suatu surat waris. Aisha bereaksi keras: “Kapan Muhammad mengangkat dia lewat surat waris? Sesungguhnya, ketika ia mati ia berbaring dalam dadaku (atau katakanlah: dalam pangkuanku) dan ia meminta baskom untuk mencuci wajah dan jatuh terkulai pada saat itu, dan aku bahkan tidak menyangka ia telah meninggal, jadi kapan Muhammad mengangkat dia lewat surat waris?” [29]

Dalam sebuah hadis lainnya, Muhammad memuji tiga laki-laki yang akan segera menggantikannya: Abu Bakar, Umar dan Usman, masing-masing darinya dipilih sebagai Kalifah dan bukannya Ali. Setelah Muhammad memanjat gunung Uhud dengan tiga penggantinya, gunung itu mulai goncang dan ia berbicara: “Tenanglah, oh gunung Uhud, sebab bagimu ada tiga orang lain yang melebihi seorang nabi, seorang Siddiq dan dua orang syuhada.” [30] Siddiq, atau “yang benar” adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang benar-benar dapat dipercaya.

Kaum Ummayah bahkan menuliskan bahwa Ali mengucapkan kata-kata yang memuji dua pesaingnya sebagai sahabat terdekat Muhammad. Dalam sebuah hadis, Ibnu Abbas mengingat:
Pada saat aku sedang berdiri di antara orang-orang yang berdoa kepada Allah bagi Umar bin Al-Khattab yang tengah sakratul di tempat tidurnya, seorang laki-laki dibelakangku meletakan sikunya di pundakku dan berseru, “ (O Umar!) Semoga Allah melimpahkan ampunan kepadaku. Aku selalu berharap bahwa Allah akan menjagamu bersama dengan dua sahabat lainnya, sebab aku sering mendengar Rasul Allah berkata, ‘Aku, Abu Bakar dan Umar berada di suatu tempat. Aku, Abu Bakar dan Umar melakukan sesuatu. Aku, Abu Bakar dan Umar pergi ke suatu tempat.’ Jadi aku berharap Allah akan menjagamu bersama kedua orang lainnya.” Aku (Ibnu Abbas) berpaling untuk melihat siapa yang berbicara tersebut, dan ia ternyata Ali bin Abi Talib. [31]    

Para pendukung Ali mengejek Usman karena telah melarikan diri selama beberapa pertempuran awal Muslim. Salah satu pengikut Ali mengejek Usman dalam ayat: “Engkau boleh menuduh aku dosa yang lebih parah dari pada dia yang lari terbirit-birit dari Khaybar. Aku sebut dia yang lari dari Marhab bagaikan seekor keledai yang lari dari singa.” [32]

Usman berkelit dari situasi ini dengan mengacu pada kata-kata Muhammad. Salah satu hadis menceritakan kisah seorang Mesir yang telah datang ke Mekkah untuk haji dan meminta seorang Muslim tua, Abdullah bin Umar, putra khalifah kedua: “Apakah Anda tahu bahwa Usman berhasil melarikan diri di hari perang Uhud?” Ketika Ibnu Umar mengatakan bahwa ya, dia tahu itu, orang Mesir itu ternyata memiliki sesuatu yang lebih: “Apakah Anda tahu bahwa Usman tidak hadir pada hari (perang) Badar dan ia tidak bergabung?”

Ketika Ibnu Umar kembali mengatakan ya, orang Mesir itu kembali dengan pertanyaan ketiga: “Apakah Anda tahu bahwa ia gagal untuk menghadiri perjanjian Ar-Ridwan dan tidak menyaksikan janji itu?” Janji ini adalah sebuah deklarasi kesetiaan kepada Muhammad yang para sahabatnya terdekatnya buat setelah nabi Islam menyimpulkan sebuah perjanjian dengan kaum Quraish pagan; perjanjian Hudaibiya, seperti yang dikenal dalam tradisi Islam, adalah merugikan pihak Muslim, khususnya dalam berbagai hal.

Untuk ketiga kalinya, Ibnu Umar berkata, “Ya.” Kemudian orang Mesir itu menjawab, “Allahu akbar!”- Dalam hal ini, sebuah ekspresi marah dan cemas. Kemudian Ibnu Umar menjelaskan dengan mengatakan bahwa Allah “memaafkan” Usman karena absen dari Uhud, meskipun ia tidak menjelaskan ketidakhadirannya. Adapun tentang perang Badar, Ibnu Umar mengatakan bahwa Usman tidak ada di sana karena ia menaati Muhammad: “Putri Rasulullah adalah istrinya dan dia sakit saat itu. Rasul Allah berkata kepadanya, ‘Anda akan menerima pahala dan bagian (barang jarahan) yang saa sebagai salah satu dari mereka yang berpartisipasi dalam perang Badar (jika Anda tinggal dengan Aisyah).’” Akhirnya, Ibnu Umar menjelaskan ketidakhadiran Usman pada saat Perjanjian Kesetiaan Ar-Ridwan dengan mengatakan bahwa Muhammad mengirim Usman ke tempat lain, dan “seandainya  ada orang di Mekah yang lebih terhormat daripada Usman (yang akan dikirim sebagai wakil), Rasul Allah akan mengirim dia bukannya Usman.” Pada kenyataannya, pada saat Usman tidak hadir, Muhammad “mengulurkan tangan kanannya dan berkata, 'ini adalah tangan Usman." Dia mengelus tangan ainnya dengan tangan yang tadi dan berkata,’ Ini (janji setia) adalah atas nama Usman.’” Ibnu Umar menceritakan kepada orang Mesir itu: “Ingatlah alasan-alasan ini dalam pikiranmu.” [33]

Kisah ini tidak hanya membebaskan Usman dengan melibatkan Muhammad sendiri, tetapi juga meninggikan Usman melampaui semua saingannya sebagai “yang lebih terhormat,” dan bahkan menunjukkan Muhammad bertindak sebagai kuasanya. Bagaimana, kemudian, orang bisa mendukung klaim Ali sebagai Khalifah di atas Usman? Demikianlah, setidaknya sampai kelompok Ali menemukan hadis lain yang mendukung ia sebagai pemenangnya. Hadis ini menjelaskan pengepungan oasis Khaybar, permukiman Yahudi terakhir di Arab setelah Muhammad (menurut hadis lain masih) mengasingkan dua dari tiga suku Yahudi Madinah dan membantai yang ketiga. Muhammad mengirimkan Abu Bakar, Umar, Usman dan-sini lagi, tiga khalifah pertama dan saingan Ali, secara bergiliran menyerang salah satu benteng Khaybar, tetapi mereka tidak dapat memenangkannya. Ketika ia mengirimkan Usman, Muhammad ingat akan reputasi Usman yang pengecut, dan menyemangatinya: “Besok aku akan memberikan bendera kepada seorang pria yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan menaklukkan musuh dengan cara-Nya,. Ia tidak melarikan diri” Tetapi bahkan Usman gagal, sehingga Muhammad memanggil Ali, menyembuhkan dia secara ajaib dari penyakit mata, dan mengirimkan dia untuk menaklukan benteng tersebut. Ali, tentu saja, berhasil. [34]

Berbagai faksi Islam menggelontorkan hadis-hadis yang membela pemimpin mereka atau menyerang orang-orang dari lawan-lawan mereka. Kaum Umayyah menciptakan hadis yang membela gubernur Umayyah di Irak, Khalid al-Qasri (w.743), yang dibenci oleh para  Muslim saleh karena kebrutalannya dalam pemerintahan. Khalid dibebaskan dalam sebuah hadis dimana Muhammad dibuat untuk mengatakan, “Ya Allah, biarkan kemenanganmu dan kemenangan agama-Mu terjadi melalui keturunan Asad bin Kurz,” yakni nenek moyang dari Khalid. [35] Namun  para penentang Bani Umayyah menciptakan hadis dimana Nabi Muhammad meremehkan Khalifah al-Walid (705-715). Dalam hadis tersebut, Muhammad bertemu seorang pria yang baru saja menamai anaknya yang baru lahir al-Walid: “Engkau menamai anak-anakmu dengan nama Firaun. Sesungguhnya, seorang pria dengan nama al-Walid akan datang dan  akan menimbulkan cedera yang lebih besar pada komunitasku dari pada yang sebelumnya Firaun kenakan kepada kaumnya.” [36] Kelak seorang periwa dari hadis ini mencatat bahwa sementara hadis ini awalnya diyakini merujuk pada al-Walid I, setelah al-Walid II (743-744) mulai melakukan kekejaman sendiri, mulailah hadis ini ditafsirkan bahwa Muhammad sebenarnya mengacu al-Walid II. [37]


Penuh Dengan Kontradiksi

Tak pelak lagi bahwa konsekuensi dari semua ini adalah kebingungan semata. Karena pihak yang bertikai mengarang-ngarang semua hadis yang mendukung posisi mereka, maka hadis menjadi  penuh dengan kontradiksi. Banyak dari hadis, tetapi tidak berarti semuanya, berisi perbedaan-perbedaan dalam praktek ritual Islam, mungkin mencerminkan variasi regional. Misalnya, di antara hadis-hadis yang disusun oleh seorang imam terkenal di abad 9, Imam Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, ada salah satu catatan, yang menurut Ibnu Abbas, “Nabi melakukan wudhu dengan mencuci bagian tubuh hanya sekali.” [38] Tetapi Bukhari sendiri melaporkan bahwa Sahabat lain dari Muhammad, Abdullah bin Zaid, mengatakan bahwa “Nabi melakukan wudhu dengan mencuci bagian tubuhnya dua kali.” [39]  Namun hadis lain yang dikumpulkan oleh Bukhari sendir mengisahkan Muhammad memuji Usman yang melakukan wudhu tidak sekali atau dua kali tetapi tiga kali, dengan mengatakan bahwa jika dia seperti itu sambil menghindari gangguan, “dosa-dosa di masa lalunya akan diampuni.” [40]  Bukhari menempatkan ketiga hadis tersebut bersama-sama tanpa komentar atau upaya harmonisasi.

Dalam sebuah hadis lain yang ditulis oleh seorang imam abad kesembilan, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, kita diberitahu bahwa Muhammad “menolak minum air sambil berdiri.” [41] Namun Muslim juga melaporkan bahwa ketika Ibnu Abbas memberi Muhammad air suci dari sumur Zamzam di Mekah, Muhammad-yang perilakunya selalu jadi teladan bagi umat Islam –“meminumnya sambil berdiri.” [42]   

Seorang apologis Islam kontemporer menunjukan sebuah hadis di mana Muhammad “melarang pembunuhan perempuan dan anak-anak” sebagai bukti kemanusiaan dari hukum Islam tentang peperangan,hal mana tidak biasa untuk jaman itu. [43]  Namun segera setelah mengikuti larangan tersebut, Muslim memasukan hadis lain di mana Muhammad, “ketika ditanya tentang para wanita dan anak-anak kaum musyrik yang mati dibunuh dalam suatu penyerangan malam hari, ia berkata, ‘Mereka (para perempuan dan anak-anak) adalah bagian dari mereka (kaum Musyrikun).’” [43]   Dengan kata lain, anak-anak kaum musyrik adalah bagian kaum musyrik dan layak untuk berbagi nasib yang sama, yakni dibunuh. Kontradiksi lain melibatkan rincian kehidupan Muhammad sendiri, skema eskatologis Islam, dan banyak lagi. Akibatnya, seorang sarjana abad kesembilan Asim an-Nabil (w. 827) mengangkat tangannya dalam keputusasaan : “Aku telah sampai pada kesimpulan bahwa seorang saleh tidak akan pernah begitu siap untuk berbohong seperti halnya dalam hadis.” [45]    



Pengumpulan dan Kodefikasi Hadis

Otoritas Islam menyadari bahwa suatu upaya harus dilakukan untuk keluar dari semua kekacauan ini. Di  paruh akhir abad kedelapan, Bani Abbasiyah memulai pengumpulan dan kodifikasi Hadis. Dengan demikian mereka secara eksponensial memperluas pengetahuan spesifik tentang apa yang nabi Islam telah perintahkan dan kecam, apa yang ia setujui dan ia tolak. Penyair Marwan bin Abi Hafsa tentu saja memuliakan khalifah Abbasiyah Muhammad bin Mansur al-Mahdi (775 -785) dari dinasti Abbasiah dengan menuliskan: “Sang amirul  Mukminin [pemimpin kaum beriman], Muhammad [yakni Muhamad bin Mansur al-Mahdi] telah menghidupkan kembali sunnah Nabi berkaitan dengan apa yang diijinkan, apa yang dilarang.” [46]

Upaya besar ini berbuah penuh di abad berikutnya, dengan munculnya enam koleksi Hadis yang paling penting, yang mana tidak ada satupun dari keenam kumpulan hadis itu yang berasal dari dua abad pertama sejak kematian Muhammad. Bersama-sama keenam kumpulan hadis ini dikenal sebagai as-Sahih as-Sittah: yang otentik dan dapat dipercaya (sahih berarti “benar” atau “bisa diandalkan”). Ini termasuk Sahih Bukhari,, dalam rangka pentingnya reputasi untuk dianggap sebagai yang andal atau bisa dipercayai. Sahih Bukhari dianggap sebagai koleksi hadis yang paling dihormati dan berwibawa, yang disusun oleh Bukhari (810-870), Sahih Muslim, Muslim bin al-Hajjaj (821-875), Hadis oleh Sunan Abu Dawud as-Sijistani (818-889); As-Sunan as-Sughra oleh Ahmad bin an-Nasai Shuayb (829-915), Jami oleh Abu Isa Muhammad At-Tirmidzi (824-892), dan Sunan oleh Muhammad Ibnu Maja (824-887).

Meskipun kaum Muslim menganggap Hadis koleksi Bukhari dan Muslim yang paling dapat dipercaya, namun koleksi hadis lain juga tetap dihormati. Abu Dawud as-Sijistani, misalnya, dilaporkan melakukan perjalanan ke Saudi, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Iran, dan ke tempat-tempat lain guna mengumpulkan hadis. Seorang imam yang dihormati, Zakariya bin Yahya as-Saji, menyatakan: “ Al Qur'an adalah dasar dari Islam dan Sunan Abu Dawud adalah tiangnya.” Imam lain, Ibnu al-Arabi, menambahkan: “Tidak perlu pengenalan pengetahuan apa pun setelah memperoleh pengetahuan tentang Al-Qur'an dan Sunan Abu Dawud.” [47]

Koleksi hadis yang paling dihormati, Hadis Bukhari, dimulai dengan mimpi, menurut Dr Muhammad Muhsin Khan, seorang sarjana Islam Saudi dan penerjemah Qur'an penerjemah. Dr Khan menulis bahwa Bukhari bermimpi ia “sedang berdiri” di depan Nabi Muhammad dan ia sedang memegang kipas angin di tangannya untuk mengusir lalat dari  sang Nabi.” Imam Bukhari menafsirkan mimpi ini sebagai tanda ilahi bahwa ia akan “mengusir kepalsuan yang disisipkan dalam ajaran-ajaran Muhammad.” Oleh karena itu, ia menghabiskan hidupnya mencoba untuk membedakan mana hadis yang sahih dari yang palsu. Menurut tradisi Islam, Bukhari melintasi dunia Islam mengumpulkan cerita tentang ucapan dan tindakan Muhammad sampai 300.000 hadis ! [48]  Akhirnya ia menolak hampir 293.000 darinya sebagai hadis yang dibuat-buat, atau setidaknya keandalan hadis-hadis tersebut tidak mungkin untuk dievaluasi.

Dia memilih dan menerbitkan 7.563 hadis, meskipun koleksi ini ada termasuk pengulangan di dalamnya; akhirnya ia memisahkan 2.602 hadis yang ia dianggap otentik. Bahkan koleksi ini setebal  sembilan volume dalam edisi bahasa Inggris-Arab modern yang diterbitkan di Arab Saudi !

Imam Muslim bin al-Hajjaj adalah murid Bukhari. Lahir di Nishapur di tempat yang sekarang jadi Iran, ia dikatakan telah melakukan perjalanan ke Saudi, Mesir, Suriah, dan Irak untuk mengumpulkan hadis. Menurut tradisi Islam, ia juga mengumpulkan 300.000 hadis, yang memelihara 4.000 dari sebagai yang otentik dalam Sahih karyanya.


Kebanyakan sarjana muslim menganggap koleksinya, beserta dengan koleksi Bukhari, hampir sepenuhnya dapat diandalkan, Muslim hampir tidak pernah mempertanyakan hal ihwal otentisitas tradisi yang muncul baik dalam muncul baik dalam Sahih Bukhari maupun Sahih Muslim – yang mana sebenarnya banyak (diskrepansi dan kontradiksinya). Dalam satu situs Internet yang berisi pengenalan iman dan praktekIslam, disana mereka menjamin para pembaca bahwa “tidak ada dalam situs ini yang melanggar prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam hukum Islam,” dan meringkas pendapat umum di kalangan Muslim Islam bahwa: "Sahih Bukhari benar-benar spesial dengan keandalannya yang kuat.” Situs ini juga menambahkan bahwa Imam Muslim memilih hadis yang ia masukan dalam Sahih Muslim “berdasarkan atas kriteria penerimaan yang ketat.” [49]