KATA PENGANTAR
Oleh Johannes J. G. Jansen
Muhammad, nabi Islam, secara kuat hadir dalam pikiran jutaan muslim. Hal
ini membuat kita sukar membayangkan jika ia mungkin saja tidak pernah hidup
sebagai pribadi yang nyata, senyata Richard Nixon. Kaum muslim memiliki ingatan
yang kuat dan hidup akan sang pendiri gerakan keagamaan yang kita kenal
sekarang sebagai agama Islam. Ingatan ini nampaknya begitu kuat dan hidup
sehingga para akademisi professional yang tugas-tugas hariannya menimbang
bukti-bukti pro dan kontra historisitas Muhammad harus menghabiskan
berhari-hari dimana mereka terheran-heran melihat bahwa pencarian intelektual
mereka tampak tidak masuk akal.
Adalah menantang untuk mempercayai bahwa Muhammad
pernah benar-benar hidup sebagaimana para leluhur kita pernah hidup, hanya
karena ia melulu hidup dalam pikiran para pengikutnya. Namun pencarian yang lebih dalam akan
bukti-bukti historis akan segera membuat para skeptik terheran-heran kepada mereka
yang mempercayai jika Muhammad pernah benar-benar hidup. Akan menjadi kelegaan
tersendiri untuk melulu percaya bahwa tidak ada masalah dengan historitas
Muhammad.
Para ahli logika berkali-kali menyatakan bahwa suatu
ketidakberadaan tidak bisa dibuktikan. Ketika filsuf Inggris, Bertrand Russel,
suatu saat berkata bahwa tidak ada badak di ruang kuliahnya, Ludwig
Wittgenstein, muridnya dari Austria mulai mencari-cari badak di bawah meja dan
kursi. Dia tidak percaya. Pelajaran dari kisah ini sangat sederhana: Untuk
membuktikan suatu keberadaan mungkin akan sukar, tetapi membuktikan
ketidakberadaan sejatinya benar-benar tidak mungkin.
Namun demikian, adalah beralasan untuk meragukan
historisitas Muhammad. Dari awal saja tidak ada jejak-jejak arkeologis yang
meyakinkan yang meneguhkan kisah-kisah tradisional tentang Muhammad dan
masa-masa Islam awal. Para cendikia dan ahli Islam konon tahu banyak tentang dekade-dekade
awal Islam, tetapi apa yang mereka ceritakan tidak memiliki peneguhan dari
bukti-bukti fisik dalam bentuk apapun dari waktu dan tempat yang disebutkan
dalam cerita-cerita tersebut.
Apa yang mereka ketahui terbatas kepada
cerita-cerita, dan kepada beberapa cerita yang sama yang diceritakan ulang oleh
orang lain sebelumnya. Sebagaimana kisah-kisah, latar belakang yang kepadanya
kisah-kisah karya Muhammad dipanggungkan masih kurang konfirmasi dari pihak luar. Kita
tidak tahu banyak tentang keadaan umum Arabia di abad ketujuh, namun gambaran yang
tradisi Islam tawarkan tidak bisa dikonfirmasi dengan apa yang kita ketahui
sekarang. Faktanya temuan-temuan arkeologis seringkali berkontradiksi dengan
gambaran yang disodorkan oleh tradisi Islam. Bukti-bukti prasasti, misalnya
saja, memperlihatkan bahwa kaum Arab kuno bukanlah kaum pagan sebagaimana yang
Islam ajarkan, meraka adalah kaum monoteis yang percaya pada satu Allah,
pencipta langit dan bumi.
Hanya karya-karya arkeologi yang lebih banyak lagi
yang dilakukan di Arabia dan Syria Besar saat ini yang mungkin dapat memecahkan
dilemma yang timbul berkaitan dengan historisitas Muhammad. Namun tentu saja para penguasa wilayah ini tidak
akan memberi ijin riset-riset ilmiah yang mungkin nantinya akan berkontradiksi
dengan apa yang oleh mereka yang berkuasa percayai sebagai kebenaran agamawi.
Dan jika hasil dari riset telah ditentukan sebelumnya oleh kepentingan-kepentingan
agama, para akademisi tidak akan tertarik dengan hasilnya.
Seorang cendikia Irak, Ibnu Ishaq ( sekitar 760 M),
menulis sebuah buku yang menjadi dasar dari semua biografi Muhammad. Tidak ada
guratan biografis Muhammad yang hadir
tanpa bergantung pada Ibnu Ishaq. Jika analisa buku Ibnu Ishaq memperlihatkan
bahwa apapun alasannya karya tersebut tidak bisa dianggap sebagai sumber-sumber
historis, maka semua pengetahuan yang kita miliki tentang Muhammad akan
menguap. Ketika buku Ibnu Ishaq yang sering dikutip terlihat sebagai karya
fiksional belaka, maka kita akan harus menerima bahwa tidaklah mungkin untuk
menemukan kebenaran tentang Muhammad.
Hanya jika ditemani oleh karya Ibnu Ishaq ini Qur’an
akan tampak seperti kesaksian yang cukup handal tentang Muhammad dan karirnya.
Tetapi kita akan kesukaran manakala kita ingin merekonstruksi kehidupan dan
ajaran Muhammad dari Quran, sebab kitab yang kita kenal sekarang mungkin
bukanlah reproduksi otentik dari teks berbahasa Arab yang pernah didiktekan
kepada Muhammad di awal abad ketujuh. Ada alasan-alasan untuk mempercayai bahwa
Qur’an sampai pada bentuknya sekarang ini tidak di abad ketujuh melainkan di
kemudian hari, atau bahkan jauh di kemudian hari. Aksara Arab dimana Qur’an di tulis tidak pernah
ada di awal abad 7 M, sehingga tidak mungkin sekretaris-sekretaris Muhammad,
jika mereka dikembalikan hidup saat ini, mengenali edisi modern Quran sebagai
bagian dari teks-teks suci yang didiktekan kepada mereka dalam fragmen-fragmen
selama Muhammad hidup, itupun jika kisah tentang dikte-dikte dari Muhammad
memang benar-benar pernah terjadi.
Kumpulan tradisi Islam yang dikenal sebagai Hadis membentuk
sumber ketiga yang darinya kisah-kisah kehidupan Muhammad direkonstruksi. Hadis
bukanlah suatu sumber tunggal, melainkan sekumpulan sumber-sumber dengan
kualitas yg tidak seragam. Sebagian dari hadist tidak bisa dipercaya, bahkan
menurut pendapat cendikia Islam sendiri. Para cendikia dan ahli kitab muslim
menuduh beberapa periwa / transmitter materi ini telah mengarang-ngarang cerita
mereka sendiri. Adalah mungkin untuk mengarang-ngarang cerita tentang seseorang
yang nyata (lihat saja surat kabar atau Facebook), namun untuk membentuk suatu
gambaran kehidupan seseorang sepenting Muhammad, tidak seharusnya seseorang
menggunakan kisah-kisah yang mungkin telah dikarang-karang.
Untuk mengetahui kebenaran tentang Richard Nixon
adalah sukar, dan akan jadi tidak mungkin tanpa ada rekaman-rekaman sejarah.
Dalam kasus Muhammad, tidak ada rekaman-rekaman sejarah. Sama sekali tidak
banyak. Benar-benar sedikit sehingga kecurigaan-kecurigaan akan keberadaannya
dibenarkan.
Johannes J. G. Jansen bekerja sebagai Houtsma Professor for Contemporary
Islamic Thought di University of Utrecht (Netherlands) sampai pensiunnya di
tahun 2008. Beliau adalah
penulis dari beberapa buku termasuk The Dual Nature of
Islamic Fundamentalism dan The
Interpretation of the Koran in Modern Egypt,
dan telah menerjemahkan Qur’an ke dalam bahasa Belanda. .