Saturday 3 August 2013

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR 

Oleh Johannes J. G. Jansen

Muhammad, nabi Islam, secara kuat hadir dalam pikiran jutaan muslim. Hal ini membuat kita sukar membayangkan jika ia mungkin saja tidak pernah hidup sebagai pribadi yang nyata, senyata Richard Nixon. Kaum muslim memiliki ingatan yang kuat dan hidup akan sang pendiri gerakan keagamaan yang kita kenal sekarang sebagai agama Islam. Ingatan ini nampaknya begitu kuat dan hidup sehingga para akademisi professional yang tugas-tugas hariannya menimbang bukti-bukti pro dan kontra historisitas Muhammad harus menghabiskan berhari-hari dimana mereka terheran-heran melihat bahwa pencarian intelektual mereka tampak tidak masuk akal.

Adalah menantang untuk mempercayai bahwa Muhammad pernah benar-benar hidup sebagaimana para leluhur kita pernah hidup, hanya karena ia melulu hidup dalam pikiran para pengikutnya.  Namun pencarian yang lebih dalam akan bukti-bukti historis akan segera membuat para skeptik terheran-heran kepada mereka yang mempercayai jika Muhammad pernah benar-benar hidup. Akan menjadi kelegaan tersendiri untuk melulu percaya bahwa tidak ada masalah dengan historitas Muhammad.

Para ahli logika berkali-kali menyatakan bahwa suatu ketidakberadaan tidak bisa dibuktikan. Ketika filsuf Inggris, Bertrand Russel, suatu saat berkata bahwa tidak ada badak di ruang kuliahnya, Ludwig Wittgenstein, muridnya dari Austria mulai mencari-cari badak di bawah meja dan kursi. Dia tidak percaya. Pelajaran dari kisah ini sangat sederhana: Untuk membuktikan suatu keberadaan mungkin akan sukar, tetapi membuktikan ketidakberadaan sejatinya benar-benar tidak mungkin.

Namun demikian, adalah beralasan untuk meragukan historisitas Muhammad. Dari awal saja tidak ada jejak-jejak arkeologis yang meyakinkan yang meneguhkan kisah-kisah tradisional tentang Muhammad dan masa-masa Islam awal. Para cendikia dan ahli Islam konon tahu banyak tentang dekade-dekade awal Islam, tetapi apa yang mereka ceritakan tidak memiliki peneguhan dari bukti-bukti fisik dalam bentuk apapun dari waktu dan tempat yang disebutkan dalam cerita-cerita tersebut.

Apa yang mereka ketahui terbatas kepada cerita-cerita, dan kepada beberapa cerita yang sama yang diceritakan ulang oleh orang lain sebelumnya. Sebagaimana kisah-kisah, latar belakang yang kepadanya kisah-kisah karya Muhammad dipanggungkan   masih kurang konfirmasi dari pihak luar. Kita tidak tahu banyak tentang keadaan umum Arabia di abad ketujuh, namun gambaran yang tradisi Islam tawarkan tidak bisa dikonfirmasi dengan apa yang kita ketahui sekarang. Faktanya temuan-temuan arkeologis seringkali berkontradiksi dengan gambaran yang disodorkan oleh tradisi Islam. Bukti-bukti prasasti, misalnya saja, memperlihatkan bahwa kaum Arab kuno bukanlah kaum pagan sebagaimana yang Islam ajarkan, meraka adalah kaum monoteis yang percaya pada satu Allah, pencipta langit dan bumi.

Hanya karya-karya arkeologi yang lebih banyak lagi yang dilakukan di Arabia dan Syria Besar saat ini yang mungkin dapat memecahkan dilemma yang timbul berkaitan dengan historisitas Muhammad. Namun  tentu saja para penguasa wilayah ini tidak akan memberi ijin riset-riset ilmiah yang mungkin nantinya akan berkontradiksi dengan apa yang oleh mereka yang berkuasa percayai sebagai kebenaran agamawi. Dan jika hasil dari riset telah ditentukan sebelumnya oleh kepentingan-kepentingan agama, para akademisi tidak akan tertarik dengan hasilnya.

Seorang cendikia Irak, Ibnu Ishaq ( sekitar 760 M), menulis sebuah buku yang menjadi dasar dari semua biografi Muhammad. Tidak ada guratan biografis Muhammad yang  hadir tanpa bergantung pada Ibnu Ishaq. Jika analisa buku Ibnu Ishaq memperlihatkan bahwa apapun alasannya karya tersebut tidak bisa dianggap sebagai sumber-sumber historis, maka semua pengetahuan yang kita miliki tentang Muhammad akan menguap. Ketika buku Ibnu Ishaq yang sering dikutip terlihat sebagai karya fiksional belaka, maka kita akan harus menerima bahwa tidaklah mungkin untuk menemukan kebenaran tentang Muhammad. 

Hanya jika ditemani oleh karya Ibnu Ishaq ini Qur’an akan tampak seperti kesaksian yang cukup handal tentang Muhammad dan karirnya. Tetapi kita akan kesukaran manakala kita ingin merekonstruksi kehidupan dan ajaran Muhammad dari Quran, sebab kitab yang kita kenal sekarang mungkin bukanlah reproduksi otentik dari teks berbahasa Arab yang pernah didiktekan kepada Muhammad di awal abad ketujuh. Ada alasan-alasan untuk mempercayai bahwa Qur’an sampai pada bentuknya sekarang ini tidak di abad ketujuh melainkan di kemudian hari, atau bahkan jauh di kemudian hari.  Aksara Arab dimana Qur’an di tulis tidak pernah ada di awal abad 7 M, sehingga tidak mungkin sekretaris-sekretaris Muhammad, jika mereka dikembalikan hidup saat ini, mengenali edisi modern Quran sebagai bagian dari teks-teks suci yang didiktekan kepada mereka dalam fragmen-fragmen selama Muhammad hidup, itupun jika kisah tentang dikte-dikte dari Muhammad memang benar-benar pernah terjadi.

Kumpulan tradisi Islam yang dikenal sebagai Hadis membentuk sumber ketiga yang darinya kisah-kisah kehidupan Muhammad direkonstruksi. Hadis bukanlah suatu sumber tunggal, melainkan sekumpulan sumber-sumber dengan kualitas yg tidak seragam. Sebagian dari hadist tidak bisa dipercaya, bahkan menurut pendapat cendikia Islam sendiri. Para cendikia dan ahli kitab muslim menuduh beberapa periwa / transmitter materi ini telah mengarang-ngarang cerita mereka sendiri. Adalah mungkin untuk mengarang-ngarang cerita tentang seseorang yang nyata (lihat saja surat kabar atau Facebook), namun untuk membentuk suatu gambaran kehidupan seseorang sepenting Muhammad, tidak seharusnya seseorang menggunakan kisah-kisah yang mungkin telah dikarang-karang.   

Untuk mengetahui kebenaran tentang Richard Nixon adalah sukar, dan akan jadi tidak mungkin tanpa ada rekaman-rekaman sejarah. Dalam kasus Muhammad, tidak ada rekaman-rekaman sejarah. Sama sekali tidak banyak. Benar-benar sedikit sehingga kecurigaan-kecurigaan akan keberadaannya dibenarkan.




Johannes J. G. Jansen bekerja sebagai Houtsma Professor for Contemporary Islamic Thought di University of Utrecht (Netherlands) sampai pensiunnya di tahun 2008. Beliau adalah penulis dari beberapa buku termasuk  The Dual Nature of Islamic Fundamentalism dan  The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, dan telah menerjemahkan Qur’an ke dalam bahasa Belanda. .