Saturday 3 August 2013

Bab 2 YESUS, SANG MUHAMMAD (Bagian 1 dari 3)

Bab 2

Yesus, Sang Muhammad


Muhammad: Kedatangannya Yang Terlambat di Tempat Kejadian Perkara

Para penulis sejarah non-Muslim yang menulis pada saat penaklukan awal oleh bangsa Arab tidak pernah menyebutkan Qur’an, tidak pernah menyebutkan Islam, tidak pernah menyebutkan Muslim, dan hanya kadang-kadang menyebutkan Muhammad.

Situasi ini tidak berubah ketika kita beralih pada bukti-bukti artefak Muslim sejaman. Menurut kisah-kisah tradisional Islam, para penyerbu Arab yang menyapu Afrika Utara di tahun 650-an dan 660-an dan mengepung Konstantinopel di tahun 670-an disemangati oleh Qur’an dan pengajaran dan contoh laku Muhammad. Namun kisah-kisah ini tidak menyebutkan apa yang menjadi inspirasi utama mereka. Rujukan-rujukan kepada bacaan Qur’an dan Islam idak muncul sampai hampir di ujung abad ketujuh dan  ketika para penyerbu Arab menyebutkan Muhammad, mereka melakukannya dengan cara dimana secara mencolok berbeda dari catatan-catatan kanonik Islam.

Contohnya, di tahun 677 atau 678M, pada waktu pemerintahan kalifah Umayah pertama, Muawiya (661–680M), sebuah bendungan didirikan dekat Ta’if di Arabia. (Dinasti Umayyah adalah dinasti yang memerintah Timur Dekat dari pertengahan abad ketujuh sampai pertengahan abad kedelapan). Prasasti resmi itu berbunyi:

Inilah bendungan [milik] dari Hamba Allah Muawiyah
Komandan kaum Beriman, . Abdullah bin Saxr [1] membangunnya
Dengan ijin Allah di tahun 58.
Allah! Ampunilah Hamba Allah Muawiyah,
Komandan Kaum Beriman, teguhkanlah dia diposisinya dan bantulah dia dan
Biarlah yang setia
Bersukacita di dalamnya. Amir bin Habbab/Jnab menuliskan ini. [2]
Muawiyah dituliskan sebagai “Komandan kaum Beriman,” tetapi apa ciri dari iman itu sendiri, disamping setia kepada Allah, tidaklah disebutkan. Tidak ada petunjuk budaya agama Islam di sini yang segera akan dan setelah itu selamanya meresap dalam dalam prasasti-prasasti lain seperti prasasti ini dan proklamasi resmi lainnya.[3] Tepatnya apa yang Muawiyah percayai tidaklah jelas, tetapi jika ia memang percaya bahwa Muhammad adalah nabi Allah dan Qur’an adalah kitab Allah yang dikirimkan bagi manusia lewat sang nabi, ia tidak member petunjuk ke arah itu.

Hal yang serupa prasasti resmi di jembatan kanal Fustat di Mesir tahun 688, bertuliskan “Inilah jembatan lengkung yang Abd al-Aziz bin Marwan, sang Emir, perintahkan untuk dibuat. Berkatilah dia dalam segaa yang dia lakukan, teguhkan otoritasnya sebagaimana Engkau sukai, dan buatlah dia sangat berpuas diri dan dirinya dan rumat tangganya. Amin! Sa’d Abu Usman membangunnya dan Abd ar-Rahman menuliskannya di bulan Safat di tahun 69.” Di sini pula, tidak ada penyebutan Muhammad, Qur’an ataupun Islam. 

Salah satu rekaman terbaik dari worldview para penakluk ditemukan dalam koin-koin atau uang-uang logam yang mereka cetak. Uang-uang logam (untuk selanjutnya akan disebutkan dengan “koin” saja)itu membawa persetujuan resmi dan menyandang prasasti yang secara umum mencerminkan prinsip-prinsip mendasar dari pemerintah yang mencetaknya. Dalam dunia Islam sekarang adalah sukar untuk melacak uang kertas dan uang logam yang tanpa menyebutkan Islam, Muhammad dan Qur’an. Kalimat Syahadat, kalimat pengakuan iman Islam, terpampang di bendera negara Arab Saudi. Koin-koin di seluruh dunia Islam membawa tulisan yang berisikan elemen Islam. Aspek yang paling jelas dan dibanggakan dalam dunia Islam adalah jika sesuatu berbau Islam. Namun di jaman Islam awal, hal inilah yang kurang nyata dan ini sangat menncurigakan.     

Koin-koin paling awal yang para penakluk cetak mengandung tulisan bism allah / bismillah. Allah adalah bahasa Arab dari God/Sesembahan/Dewa. Kata ini digunakan oleh kaum Yahudi berbahasa Arab, Kristen dan juga Muslim. Namun koin-koin di pertengahan tahun 650an dan mungkin sampai paling tidak 670an menyandang tulisan saja, tanpa ada rujukan pada Muhammad sebagai nabi Allah atau kepada elemen khas Islam lainnya. Inilah periode semangat pertama penaklukan Arab. Padahal kita berharap bahwa para penakluk ini akan menekankan fitur khusus dari agama mereka, yang mereka anggap melebihi agama-agama lain yang bersaing di wilayah itu.

Koin-koin atau uang logam lain yang berasal dari perioda yang sama menampilkan tulisan semacam bism Allah rabbi (demi nama Allah, Tuhanku), rabbi Allah (Tuhanku adalah Allah) dan bism Allah al-malik (demi nama Allah sang Raja). [5] Tidak hadirnya koin-koin menyandang nama  Muhammad rasul Allah (Muhammad utusan Allah) sangat mencurigakan.

Satu koin  yang penakluk Arab tampaknya cetak di Palestina antara tahun 647 dan 658 M memang menyandang tulisan Muhammad. Namun tidak ada isyarat bahwa ini adalah produk dari informasi keyakinan Muslim, sebab koin ini menggambarkan seorang tokoh, tampaknya seorang penguasa, padahal Islam sangat melarang penggambaran tokoh manusia. Bahkan yang lebih janggal lagi adalah fakta bahwa tokoh ini membawa sebuah salib – simbol yang menjadi sebuah laknat bagi Islam. [6]


Seorang numismatis (ahli dalam uang logam kuno) Clive Foss menjelaskan bahwa coin ini mengambarkan “seorang sosok bersahaja yang sedang berdiri tanpa mahkota dan diapit oleh salib panjang, sementara di bagian belakang tertulis kata muh[ammad].”[7]

Muhammad, nabi Islam, dipercaya telah menjadi agen utama dari sebuah tatanan peradaban baru yang didasarkan pada kiab suci yang memperingatkan kaum Kristen bahwa Yesus tidak dibunuh tidak pula disalibkan (QS 4:157). Akankah sang Kalifah, pemimpin golongan beriman yang mengklaim ini sebuah penistaan bagi agama saingan menyoal Yesus sebagai Putera Allah, akan menempatkan symbol utama dari agama saingan itu di tulisan/prasasti publik? Akankah pemimpin kaum beriman yang mana nabi pendirinya mengklaim bahwa Yesus akan turun di akhir jaman dan “mematahkan semua salib” sebagai penghinaan bagi dirinya dan perjanjian akan transendensi kemuliaan Allah – akan benar-benar mengijinkan sebuah gambar salib ditampilkan di koin yang dibaca oleh semua orang di dalam wilayahnya? [8]

Akankah para pengikut dari nabi baru ini, yang agama barunya dan tatanan politiknya menentang “para penyembah salib,” telah menempatkan suatu figur dengan menyandang salib di koin mereka?    
Barangkali ini bisa ditafsirkan sebagai sebuah tanda toleransi dari Islam, mengingat kaum Kristen mendominasi wilayah Kekaisaran Arab. Namun hukum Islam sebagaimana dirumuskan di abad 9 dan 10 melarang kaum Kristen untuk memperlihatkan salib secara terbuka – bahkan diluar gereja – dan tidak ada petunjuk bahwa pengenaan  hukum ini berlaku berbeda di awal-awal pemberlakukannya. [10] Sehingga sangat mengherankan jika penakluk Muslim dan kaum Kristen akan mencetak koin yang memunculkan tokoh  utama dari agama dan tatanan politik yang mereka pandan rendah, kalahkan, dan pasti segera digantikan. [10]

Koin-koin lainnya dari perioda ini juga memperlihatkan tanda salib dan kata Muhammad. [11] Sebuah koin Syria bertanggal tahun 686 atau 687, pada awalnya menampilkan apa yang ahli numismatis Volker Popp sebut sebagai “motto Muhammad” di bagian belakang (kanan). [12] Bagian depan menamplkan seorang pemimpin dengan sebuah salib dan memegang salib lainnya. [13] 

Penjelasan yang paling jelas adalah bahwa kata “Muhammad” yang kepadanya koin-koin itu rujuk bukan mengacu pada sang Nabi Islam. Bisa saja memang kemungkinan lain bahwa gambar tokoh dalam koin ini berevolusi menjadi Muhammad sang Nabi Islam, tetapi kemungkinannya tidak demikian pada waktu koin-koin itu dicetak. Atau mungkin kata Muhammad tidak berarti suatu nama dari perseorangan melainkan suatu gelar, yang berarti “yang terpuji” atau “yang terpilih”. Volker Popp juga menggaris bawahi bahwa beberapa dari koin abad ketujuh yang menggambarkan salib juga bertuliskan bismillah – Demi nama Allah – juga Muhammad, dengan demikian ia menyarankan bahwa koin-koin itu mengatakan bahwa penguasa yang digambarkan sebagai “Ia dipilih di dalam nama Allah,” atau “Biarlah ia dipuji di dalam nama Allah.” [14]


Ini juga bisa berarti suatu derifat dari frasa umum liturgis Kristen yang merujuk pada kedatangan Kristus; “Diberkatilah ia yang datang dalam nama Tuhan.” Dalam kasus ini, Muhammad sama maknanya dengan yang terpuji, yakni Yesus sendiri. Yang mendukung kemungkinan ini adalah fakta bahwa hanya sedikitnya penyebutan nama Muhammad dalam Quran, rujukan-rujukan tersebut tidak jelas ditujukan pada nabi Islam namun berfungsi secara setara sebagai nasihat umum untuk menaati apa yang telah diwahyukan kepada “sang terpuji” yang bisa saja seseorang yang lain. Yesus adalah kandidat yang paling memungkinkan. Sebab sebagaimana yang kita telah lihat, Qur’an mengatakan bahwa “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul” (QS 3:144); dengan menggunakan bahasa yang identik Qur’an kemudian menggunakan Yesus: “Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul” (QS 5:75). [15] Fakta ini membukan kemungkinan bahwa di sini, dan ditempat lain, Yesus adalah yang dirujuk sebagai “yang terpuji” – Muhammad.


Penulis biografi Muhammad yang pertama, Ibn Ishaq, member dukungan tambahan untuk kemungkinan ini. Mengingat QS 61:6 Yesus diceritakan sedang meramalkan kedatangan seorang “utusan Allah” yang baru “yang namanya Ahmad.” Karena Ahmad – yang terpuji adalah varian dari kata Muhammad, maka para ulama Islam mengambil bacaan ini sebagai rujukan terhadap sang nabi Islam. Ibn Ishaq memperkuat pandangan ini dalam biografi Muhammad-nya dengan mengutip “Injil” Perjanjian Baru dimana Yesus mengatakan “ketika sang penghibur [munahhemana] telah datang yang Alla telah kirimkan kepadamu dari kehadiran Tuhan, dan roh kebenaran yang akan memimpinmu dari Kehadiran Tuhan; Ia akan bersaksi tentang aku dan kamu juga, sebab kamu telah bersama-sama denganku dari permulaan. Aku telah mengatakannya kepadamu tentang hal ini supaya kamu tidak menjadi ragu.” Ibnu Ishaq kemudian menerangkan “kata Munahhemana (Allah memberkati dan merawatnya) dalam bahasa Syriak adalah Muhammad, dalam bahasa Yunani ia adalah paraclete.”  [16]

Alfred Guillaume, penerjemah Sira karya Ibn Ishaq ke dalam bahasa Inggris, menjelaskan bahwa kata Munahhemana “di dalam sastra patristik (keuskupan) Timur …. diterapkan pada Tuan kita sendiri” – yaitu tidak untuk Muhammad melainkan Yesus. Penyandang awal dari gelar “yang terpuji” adalah Yesus, dan gelar ini dan nubuatan yang menyertainya “secara sengaja dimanipulasi untuk menyediakan bacaan yang disodorkan pada kita” di dalam biografi Muhammad karya Ibn Ishaq – dan juga dalam Qur’an itu sendiri. [17]

Kemungkinan manapun yang benar, hipotesis yang paling lemah adalah jika koin-koin Muhammad  nabi agama baru sebagaimana digambarkan dalam Qur’an dan Hadis. [18]  Sebab tidak ada rujukan sejaman kepada Muhammad, sang Nabi Islam yang dipercaya telah menerima Qur’an dan mengkhotbahkan pesan-pesannya untuk mempersatukan kaum-kaum Arabia (yang seringkali lewat pemaksaan) dan yang para pengikutnya nantinya membawa semangat jihadnya keluar dari tanah Arabia. Catatan-catatan pertama yang begitu jelas tentang Muhamad sang nabi Islam baru muncul jauh di kemudian hari setelah dicetaknya koin-koin ini.

Salib dan Bulan Sabit Muncul Bersamaan

Sebuah kepenasaran lainnya adalah bahwa untuk semua penampilan koin-koin dicetak resmi di Palestina Utara atau Jordan selama pemerintahan Muawiyah. Sang penguasa yang digambarkan di koin tersebut (tidaklah jelas apakah ini gambar Muawiyah atau seseorang lain) tidak digambarkan dengan bola dunia yang diatasnya terdapat salib, yang merupakan fitur dari mata uang Bizantium periode itu , tetapi dengan sebuah salib yang menampilkan bulan sabit di bagian atas palang vertikalnya. [19]



 Bulan sabit muncul di bagian atas salib pada bagian depan koin, di bagian kanan dari gambar sang penguasa. Mungkinkah desain yang tidak biasa ini merupakan sisa dari sintesis kepercayaan lama yang terlupakan? Ataukah itu tanda di saat itu ketika perbedaan antara Kekristen dan monoteisme Arab / Islam tidak setajam apa yang terjadi kemudian hari? Apapun yang mungkin terjadi, sulit untuk membayangkan bahwa koin-koin seperti itu dicetak seandainya kebencian dogmatis Islam terhadap salib sudah ada pada saat itu, sebagaimana kita anggap bahwa Islam keluar dari Arabia saat itu telah mencapai format yang lengkap. [20]


Sang Kalifah dan Salib

Juga ada item lain yang mencengangkan di antara artefak yang masih terpelihara dari pemerintahan Muawiyah: sebuah prasasti, berasal dari tahun 662, di kolam pemandian di Gadara, Palestina. (Gadara adalah salah satu panggung kisah dalam Injil dimana Yesus mengusir setan keluar dari seorang pria muda dan memindahkan setan-setan tersebut ke dalam kawanan babi.)Tulisan dalam aksara Yunani mengidentifikasi Muawiyah sebagai "hamba Allah, pemimpin para pelindung," dan tanggal dedikasi pemandian itu tertulis "tahun 42 penanggalan Arab." Dan pada awal prasasti tersebut dibubuhkan tanda salib. [21]

Ini adalah bangunan publik yang mengandung resmi dari pihak berwenang yang mengatur jika ada kesalahan dibuat. Sangat mungkin Muawiya sendiri  berkunjung ke sana, sehingga dia mungkin telah melihat prasasti ini dan tampaknya tidak menganggap ada sesuatu yang salah atau tertinggal untuk ditulis. [22] Meskipun Bani Umayyah (atau setidaknya menurut tradisi Islam yang disodorkan pada kita) terkenal akan kelemahan ketaatan pada Islam, namun demikian adalah ganjil bagi seorang muslim untuk mempromosikan simbol-simbol agama lain, yakni salib -  apalagi tanda ini ditegur beberapa kali dalam Qur’an.

Kecuali, tentu saja, jika memang tidak ada Qur’an, tidak ada Islam, setidaknya dalam bentuk yang kita ketahui sekarang, pada saat kolam pemandian di Gadara didedikasikan, begitu pula ketika koin-koin yang bertuliskan Muhammad dan bergambar Salib dicetak di Palestina.

Masih ada yang lebih mencolok, yaitu identifikasi tahun pada prasasti kolam pemandian tersebut yang bertuliskan “menurut tahun Arab” bukannya “menurut tahun Islam” atau “menurut tahun Hijriah”  sebagaimana yang seharusnya diharapkan terjadi. Bahwa penaklukan kawasan itu oleh kaum Arab adalah fakta sejarah, namun bahwa para penakluk Arab ini keluar dari tanah Arab karena terinspirasi oleh Qur’an dan Muhammad tidaklah meyakinkan.  Prasasti ini akan dipahami secara sempurna jika sentralitas kisah Hijrah – yakni berpindahnya Muhammad dari Mekkah ke Madina di tahun 622M, yang menandai kalender Islam, dan Islam ke para penakluk Arab, diproyeksikan kembali ke dalam sejarah, namun tidak sebagai fenomena kontemporer aktual ketika kolam pemandian itu didedikasikan.

Jika demikian, apa yang dimaksud dengan “tahun Arab?” Kaum Arab memakai kalender lunar atau kalender perhitungan bulan, dan satu tahun dalam perhitungan kalender lunar adalah sepuluh hari lebih pendek dari pada pada perhitungan matahari. Jadi empat puluh tahun kalender lunar setara dengan empat puluh tahun kalender matahari dan dengan demikian tahun 622 M setara dengan 42 tahun sebelum pendirian kolam pemandian Gadara di tahun 662M.  Tahun 622M adalah tahun dimana Kekaisaran Byzantium memenangkan peperangan yang menentukan dan mengejutkan atas Kekaisaran Persia, yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Persia. Tidak lama setelah itu kaum arab mengisi kekosongan kekuasaan dan mengambil alih Kekaisaran Persia. Segera mereka mengancam kekuasaan Byzantium juga. Apa yang menjadi penanggalan Arab mungkin berasal dari ditandainya permulaan kaum Arab sebagai kekuatan politik agar diperhitungkan dalam percaturan dunia.

Demikian sebuah peristiwa penting yang berhubungan dengan tahun 622 M, namun tidak mengandung karakteristik khas Islam
, adalah sebuah prasasti tertanggal tahun 64 - yaitu, tahun 683 menurut kalender Gregorian, yang merupakan tahun enam puluh empat  berdasarkan perhitungan lunar dari 622 tahun. Grafiti ini ditemukan di dekat Karbala di Irak, yang bertuliskan:

Demi nama Allah Pengasih, Penyayang
Allah besar dalam kebesarannya dan besar dalam kehendakNya
dan doa / pujian bagi Allah pagi hari, sore hari dan malam yang panjang.
Allah! Tuan dari Jibril, Mikail dan Asrafil,
Ampunilah Tabit bin Yazid al-Asari [yakni - dari Ashar]
pelanggaran-pelanggarannya yang dahulu dan yang akan datang
dan dia yang berkata Amin dengan keras, Tuan dari segala ciptaan
dan dokumen (kitab) ini ditulis di
Sawal tahun 64.  [23]


Sawal adalah bulan kesepuluh dalam kalender Islam, dan juga kalender lunar pra-Islam yang digunakan oleh kaum pagan Arab. Jibril, Mikail, dan Asrafil adalah malaikat-malaikat dalam tradisi biblical. Sangatlah janggal apabila Tabit bin Yazid al-Asari seorang Muslim yang memuliakan Muhammad sebagai nabi yang besar dan terakhir, namun ia menyebut Allah sebagai Tuan atas malaikat-malaikat ini tetapi tidak menggunakan cara-cara konvensional yang lebih Islami. Demikian pula, adalah tidak mungkin jika Tabit bin Yazid al-Asari adalah seorang Kristen atau Yahudi, untuk alasan yang sama, yakni menyebut Allah sebagai Tuan atas para malaikat bukanlah praktek yang umum bagi kedua agama ini. Begitu pula prasasti-prasasti lain dari perioda yang hampir sama menyebutkan Allah sebagai “Tuan dari Musa dan Isa,” – tetapi sekali lagi, tidak pernah menyebutkan nama Muhammad.  [24]

Namun, prasasti semacam ini semacam prasasti mungkin lebih umum di antara orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai kaum monoteis dengan kekerabatan dengan Yahudi dan Kristen tetapi tetap berbeda dari keduanya. Ini akan cocok dengan apa yang telah kita lihat dari Abrahamisme Muawiyah tapi nampaknya secara kredo suatu bentuk monoteisme samar.

Muawiya keberatan dengan keilahian Kristus tetapi rupanya tidak cukup bermusuhan dengan Kekristenan sehingga sama sekali melarang penggunaan salib, seperti halnya Islam akhirnya lakukan. Tidak ada prasasti yang masih bertahan yang menunjukkan bahwa Muawiyah menyadari akan Muhammad atau Islam. Namun dia memang menyebutkan Abraham dan dengan demikian tampaknya
Ia memiliki beberapa pengetahuan tentang tokoh-tokoh pendiri dari kitab suci Ibrani. Tabit bin Yazid al-Asari, yang tampaknya tinggal di wilayah Muawiyah selama pemerintahannya, bisa saja orang yang menganut  perspektif relijius ini –malahan, mungkin pemahaman seperti itu telah menjadi keharusan di wilayah kekuasaan Arab yang baru ini.

Jika penjelasan tentang tanda salib di prasasti Gadara hiland ditelan kabut sejarah, adalah berasalan untuk menduga bahwa kecaman pedas Islam terhadap salib dan Kekristenan bisa diabaikan sebab kecaman semacam itu belum terjadi, setidaknya seperti dalam bentuknya sekarang. Koin-koin yang muncul menggambarkan pengganti Muawiya, Yazind I (680-683) juga menampilkan sebuah salib.  [25]

Bahkan lebih memungkinkan, mengingat koin-koin ini dan sifat resmi dari prasasti Gadara, bahwa Muawiya dan Yazid menganggap diri mereka dalam suatu cara sebagai pemimpin kaum Kristen. Mereka mungkin eksponen dari suatu mazhab Kristen yang tidak mampu bertahan hingga hari ini, namun sebagai sebuah keimanan yang mencakup Kekristenan namun bertentangan dengan kekristenan secara umum dalam beberapa hal. Sebuah petunjuk akan sifat dari kekristenan ini yang mana Muawiya, Yazid, dan banyak pengikut mereka anut dapat ditemukan di prasasti di dalam Kubah Batu, bangunan peribadatan yang mengagumkan yang didirikan diakhir abad ketujuh di atas tanah bekas Kenisah di Yerusalem, situs paling suci bagi Yudaisme dan suci bagi Kekristenan juga. [27]