Bab 2
Yesus, Sang Muhammad
Muhammad: Kedatangannya Yang Terlambat di Tempat
Kejadian Perkara
Para penulis sejarah
non-Muslim yang menulis pada saat penaklukan awal oleh bangsa Arab tidak pernah
menyebutkan Qur’an, tidak pernah menyebutkan Islam, tidak pernah menyebutkan
Muslim, dan hanya kadang-kadang menyebutkan Muhammad.
Situasi
ini tidak berubah ketika kita beralih pada bukti-bukti artefak Muslim sejaman.
Menurut kisah-kisah tradisional Islam, para penyerbu Arab yang menyapu Afrika
Utara di tahun 650-an dan 660-an dan mengepung Konstantinopel di tahun 670-an
disemangati oleh Qur’an dan pengajaran dan contoh laku Muhammad. Namun
kisah-kisah ini tidak menyebutkan apa yang menjadi inspirasi utama mereka.
Rujukan-rujukan kepada bacaan Qur’an dan Islam idak muncul sampai hampir di
ujung abad ketujuh dan ketika para
penyerbu Arab menyebutkan Muhammad, mereka melakukannya dengan cara dimana
secara mencolok berbeda dari catatan-catatan kanonik Islam.
Contohnya, di tahun 677 atau 678M, pada waktu pemerintahan kalifah
Umayah pertama, Muawiya (661–680M), sebuah bendungan didirikan dekat Ta’if di
Arabia. (Dinasti Umayyah adalah dinasti yang memerintah Timur Dekat dari
pertengahan abad ketujuh sampai pertengahan abad kedelapan). Prasasti resmi itu
berbunyi:
Inilah bendungan [milik] dari Hamba Allah Muawiyah
Komandan kaum Beriman, . Abdullah bin Saxr [1] membangunnya
Dengan ijin Allah di tahun 58.
Allah! Ampunilah Hamba Allah Muawiyah,
Komandan Kaum Beriman, teguhkanlah dia diposisinya dan bantulah
dia dan
Biarlah yang setia
Bersukacita di dalamnya. Amir bin Habbab/Jnab menuliskan ini. [2]
Muawiyah dituliskan sebagai “Komandan kaum Beriman,” tetapi apa
ciri dari iman itu sendiri, disamping setia kepada Allah, tidaklah disebutkan.
Tidak ada petunjuk budaya agama Islam di sini yang segera akan dan setelah itu
selamanya meresap dalam dalam prasasti-prasasti lain seperti prasasti ini dan
proklamasi resmi lainnya.[3] Tepatnya apa yang Muawiyah percayai tidaklah
jelas, tetapi jika ia memang percaya bahwa Muhammad adalah nabi Allah dan
Qur’an adalah kitab Allah yang dikirimkan bagi manusia lewat sang nabi, ia
tidak member petunjuk ke arah itu.
Hal yang serupa prasasti resmi di jembatan kanal Fustat di Mesir
tahun 688, bertuliskan “Inilah jembatan lengkung yang Abd al-Aziz bin Marwan,
sang Emir, perintahkan untuk dibuat. Berkatilah dia dalam segaa yang dia
lakukan, teguhkan otoritasnya sebagaimana Engkau sukai, dan buatlah dia sangat
berpuas diri dan dirinya dan rumat tangganya. Amin! Sa’d Abu Usman membangunnya
dan Abd ar-Rahman menuliskannya di bulan Safat di tahun 69.” Di sini pula,
tidak ada penyebutan Muhammad, Qur’an ataupun Islam.
Salah
satu rekaman terbaik dari worldview para
penakluk ditemukan dalam koin-koin atau uang-uang logam yang mereka cetak. Uang-uang
logam (untuk selanjutnya akan disebutkan dengan “koin” saja)itu membawa
persetujuan resmi dan menyandang prasasti yang secara umum mencerminkan
prinsip-prinsip mendasar dari pemerintah yang mencetaknya. Dalam dunia Islam
sekarang adalah sukar untuk melacak uang kertas dan uang logam yang tanpa
menyebutkan Islam, Muhammad dan Qur’an. Kalimat Syahadat, kalimat pengakuan
iman Islam, terpampang di bendera negara Arab Saudi. Koin-koin di seluruh dunia
Islam membawa tulisan yang berisikan elemen Islam. Aspek yang paling jelas dan
dibanggakan dalam dunia Islam adalah jika sesuatu berbau Islam. Namun di jaman
Islam awal, hal inilah yang kurang nyata dan ini sangat menncurigakan.
Koin-koin
paling awal yang para penakluk cetak mengandung tulisan bism allah / bismillah.
Allah adalah bahasa Arab dari God/Sesembahan/Dewa. Kata ini digunakan oleh kaum
Yahudi berbahasa Arab, Kristen dan juga Muslim. Namun koin-koin di pertengahan
tahun 650an dan mungkin sampai paling tidak 670an menyandang tulisan saja,
tanpa ada rujukan pada Muhammad sebagai nabi Allah atau kepada elemen khas Islam
lainnya. Inilah periode semangat pertama penaklukan Arab. Padahal kita berharap
bahwa para penakluk ini akan menekankan fitur khusus dari agama mereka, yang
mereka anggap melebihi agama-agama lain yang bersaing di wilayah itu.
Koin-koin atau uang logam lain yang berasal dari perioda yang sama
menampilkan tulisan semacam bism Allah
rabbi (demi nama Allah, Tuhanku), rabbi
Allah (Tuhanku adalah Allah) dan bism
Allah al-malik (demi nama Allah sang Raja). [5] Tidak hadirnya koin-koin
menyandang nama Muhammad rasul Allah
(Muhammad utusan Allah) sangat mencurigakan.
Satu koin yang penakluk
Arab tampaknya cetak di Palestina antara tahun 647 dan 658 M memang menyandang
tulisan Muhammad. Namun tidak ada isyarat bahwa ini adalah produk dari
informasi keyakinan Muslim, sebab koin ini menggambarkan seorang tokoh,
tampaknya seorang penguasa, padahal Islam sangat melarang penggambaran tokoh
manusia. Bahkan yang lebih janggal lagi adalah fakta bahwa tokoh ini membawa
sebuah salib – simbol yang menjadi sebuah laknat bagi Islam. [6]
Seorang numismatis (ahli dalam uang logam kuno) Clive Foss
menjelaskan bahwa coin ini mengambarkan “seorang sosok bersahaja yang sedang
berdiri tanpa mahkota dan diapit oleh salib panjang, sementara di bagian
belakang tertulis kata muh[ammad].”[7]
Muhammad, nabi Islam, dipercaya telah menjadi agen utama dari
sebuah tatanan peradaban baru yang didasarkan pada kiab suci yang
memperingatkan kaum Kristen bahwa Yesus tidak dibunuh tidak pula disalibkan (QS
4:157). Akankah sang Kalifah, pemimpin golongan beriman yang mengklaim ini
sebuah penistaan bagi agama saingan menyoal Yesus sebagai Putera Allah, akan
menempatkan symbol utama dari agama saingan itu di tulisan/prasasti publik?
Akankah pemimpin kaum beriman yang mana nabi pendirinya mengklaim bahwa Yesus
akan turun di akhir jaman dan “mematahkan semua salib” sebagai penghinaan bagi
dirinya dan perjanjian akan transendensi kemuliaan Allah – akan benar-benar
mengijinkan sebuah gambar salib ditampilkan di koin yang dibaca oleh semua
orang di dalam wilayahnya? [8]
Akankah para pengikut dari nabi baru ini, yang agama barunya dan
tatanan politiknya menentang “para penyembah salib,” telah menempatkan suatu
figur dengan menyandang salib di koin mereka?
Barangkali ini bisa ditafsirkan sebagai sebuah tanda toleransi
dari Islam, mengingat kaum Kristen mendominasi wilayah Kekaisaran Arab. Namun
hukum Islam sebagaimana dirumuskan di abad 9 dan 10 melarang kaum Kristen untuk
memperlihatkan salib secara terbuka – bahkan diluar gereja – dan tidak ada
petunjuk bahwa pengenaan hukum ini
berlaku berbeda di awal-awal pemberlakukannya. [10] Sehingga sangat
mengherankan jika penakluk Muslim dan kaum Kristen akan mencetak koin yang
memunculkan tokoh utama dari agama dan
tatanan politik yang mereka pandan rendah, kalahkan, dan pasti segera
digantikan. [10]
Koin-koin lainnya dari perioda ini juga memperlihatkan tanda salib
dan kata Muhammad. [11] Sebuah koin Syria bertanggal tahun 686 atau 687,
pada awalnya menampilkan apa yang ahli numismatis Volker Popp sebut sebagai
“motto Muhammad” di bagian belakang (kanan). [12] Bagian depan menamplkan
seorang pemimpin dengan sebuah salib dan memegang salib lainnya. [13]
Penjelasan yang paling jelas adalah bahwa kata “Muhammad” yang
kepadanya koin-koin itu rujuk bukan mengacu pada sang Nabi Islam. Bisa saja
memang kemungkinan lain bahwa gambar tokoh dalam koin ini berevolusi menjadi
Muhammad sang Nabi Islam, tetapi kemungkinannya tidak demikian pada waktu
koin-koin itu dicetak. Atau mungkin kata Muhammad
tidak berarti suatu nama dari perseorangan melainkan suatu gelar, yang berarti
“yang terpuji” atau “yang terpilih”. Volker Popp juga menggaris bawahi bahwa
beberapa dari koin abad ketujuh yang menggambarkan salib juga bertuliskan bismillah – Demi nama Allah – juga Muhammad, dengan demikian ia menyarankan
bahwa koin-koin itu mengatakan bahwa penguasa yang digambarkan sebagai “Ia
dipilih di dalam nama Allah,” atau “Biarlah ia dipuji di dalam nama Allah.” [14]
Ini
juga bisa berarti suatu derifat dari frasa umum liturgis Kristen yang merujuk
pada kedatangan Kristus; “Diberkatilah ia yang datang dalam nama Tuhan.” Dalam
kasus ini, Muhammad sama maknanya
dengan yang terpuji, yakni Yesus
sendiri. Yang mendukung kemungkinan ini adalah fakta bahwa hanya sedikitnya
penyebutan nama Muhammad dalam Quran, rujukan-rujukan tersebut tidak jelas
ditujukan pada nabi Islam namun berfungsi secara setara sebagai nasihat umum
untuk menaati apa yang telah diwahyukan kepada “sang terpuji” yang bisa saja
seseorang yang lain. Yesus adalah kandidat yang paling memungkinkan. Sebab
sebagaimana yang kita telah lihat, Qur’an mengatakan bahwa “Muhammad itu tidak
lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul”
(QS 3:144); dengan menggunakan bahasa yang identik Qur’an kemudian menggunakan
Yesus: “Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya
telah berlalu sebelumnya beberapa rasul” (QS 5:75). [15] Fakta ini
membukan kemungkinan bahwa di sini, dan ditempat lain, Yesus adalah yang
dirujuk sebagai “yang terpuji” – Muhammad.
Penulis
biografi Muhammad yang pertama, Ibn Ishaq, member dukungan tambahan untuk
kemungkinan ini. Mengingat QS 61:6 Yesus diceritakan sedang meramalkan
kedatangan seorang “utusan Allah” yang baru “yang namanya Ahmad.” Karena Ahmad – yang terpuji adalah varian dari
kata Muhammad, maka para ulama Islam mengambil bacaan ini sebagai rujukan
terhadap sang nabi Islam. Ibn Ishaq memperkuat pandangan ini dalam biografi
Muhammad-nya dengan mengutip “Injil” Perjanjian Baru dimana Yesus mengatakan
“ketika sang penghibur [munahhemana] telah
datang yang Alla telah kirimkan kepadamu dari kehadiran Tuhan, dan roh
kebenaran yang akan memimpinmu dari Kehadiran Tuhan; Ia akan bersaksi tentang
aku dan kamu juga, sebab kamu telah bersama-sama denganku dari permulaan. Aku
telah mengatakannya kepadamu tentang hal ini supaya kamu tidak menjadi ragu.”
Ibnu Ishaq kemudian menerangkan “kata Munahhemana
(Allah memberkati dan merawatnya) dalam bahasa Syriak adalah Muhammad, dalam
bahasa Yunani ia adalah paraclete.” [16]
Alfred Guillaume, penerjemah Sira karya Ibn Ishaq ke dalam bahasa
Inggris, menjelaskan bahwa kata Munahhemana “di dalam
sastra patristik (keuskupan) Timur …. diterapkan pada Tuan kita sendiri” –
yaitu tidak untuk Muhammad melainkan Yesus. Penyandang awal dari gelar “yang
terpuji” adalah Yesus, dan gelar ini dan nubuatan yang menyertainya “secara
sengaja dimanipulasi untuk menyediakan bacaan yang disodorkan pada kita” di
dalam biografi Muhammad karya Ibn Ishaq – dan juga dalam Qur’an itu sendiri. [17]
Kemungkinan manapun yang benar, hipotesis yang paling lemah adalah
jika koin-koin Muhammad nabi agama baru sebagaimana digambarkan dalam
Qur’an dan Hadis. [18] Sebab
tidak ada rujukan sejaman kepada Muhammad, sang Nabi Islam yang dipercaya telah
menerima Qur’an dan mengkhotbahkan pesan-pesannya untuk mempersatukan kaum-kaum
Arabia (yang seringkali lewat pemaksaan) dan yang para pengikutnya nantinya
membawa semangat jihadnya keluar dari tanah Arabia. Catatan-catatan pertama
yang begitu jelas tentang Muhamad sang nabi Islam baru muncul jauh di kemudian
hari setelah dicetaknya koin-koin ini.
Salib dan Bulan Sabit Muncul Bersamaan
Sebuah
kepenasaran lainnya adalah bahwa untuk semua penampilan koin-koin dicetak resmi
di Palestina Utara atau Jordan selama pemerintahan Muawiyah. Sang penguasa yang
digambarkan di koin tersebut (tidaklah jelas apakah ini gambar Muawiyah atau
seseorang lain) tidak digambarkan dengan bola dunia yang diatasnya terdapat
salib, yang merupakan fitur dari mata uang Bizantium periode itu , tetapi
dengan sebuah salib yang menampilkan bulan sabit di bagian atas palang vertikalnya. [19]
Sang Kalifah dan Salib
Juga
ada item lain yang mencengangkan di antara artefak yang masih terpelihara dari
pemerintahan Muawiyah: sebuah prasasti, berasal dari tahun 662, di kolam pemandian
di Gadara, Palestina. (Gadara adalah salah satu panggung kisah dalam Injil
dimana Yesus mengusir setan keluar dari seorang pria muda dan memindahkan
setan-setan tersebut ke dalam kawanan babi.)Tulisan dalam aksara Yunani
mengidentifikasi Muawiyah sebagai "hamba
Allah, pemimpin para pelindung," dan tanggal dedikasi pemandian itu
tertulis "tahun 42 penanggalan Arab."
Dan pada awal prasasti tersebut dibubuhkan tanda salib. [21]
Ini
adalah bangunan publik yang mengandung resmi dari pihak berwenang yang mengatur
jika ada kesalahan dibuat. Sangat mungkin Muawiya sendiri berkunjung ke sana, sehingga dia mungkin telah
melihat prasasti ini dan tampaknya tidak menganggap ada sesuatu yang salah atau
tertinggal untuk ditulis. [22] Meskipun Bani Umayyah (atau setidaknya menurut tradisi Islam
yang disodorkan pada kita) terkenal akan kelemahan ketaatan pada Islam, namun
demikian adalah ganjil bagi seorang muslim untuk mempromosikan simbol-simbol
agama lain, yakni salib - apalagi tanda
ini ditegur beberapa kali dalam Qur’an.
Kecuali,
tentu saja, jika memang tidak ada Qur’an, tidak ada Islam, setidaknya dalam
bentuk yang kita ketahui sekarang, pada saat kolam pemandian di Gadara
didedikasikan, begitu pula ketika koin-koin yang bertuliskan Muhammad dan
bergambar Salib dicetak di Palestina.
Masih
ada yang lebih mencolok, yaitu identifikasi tahun pada prasasti kolam pemandian
tersebut yang bertuliskan “menurut tahun
Arab” bukannya “menurut tahun Islam” atau “menurut tahun Hijriah” sebagaimana yang seharusnya diharapkan
terjadi. Bahwa penaklukan kawasan itu oleh kaum Arab adalah fakta sejarah,
namun bahwa para penakluk Arab ini keluar dari tanah Arab karena terinspirasi
oleh Qur’an dan Muhammad tidaklah meyakinkan.
Prasasti ini akan dipahami secara sempurna jika sentralitas kisah Hijrah
– yakni berpindahnya Muhammad dari Mekkah ke Madina di tahun 622M, yang
menandai kalender Islam, dan Islam ke para penakluk Arab, diproyeksikan kembali
ke dalam sejarah, namun tidak sebagai fenomena kontemporer aktual ketika kolam
pemandian itu didedikasikan.
Jika
demikian, apa yang dimaksud dengan “tahun Arab?” Kaum Arab memakai kalender
lunar atau kalender perhitungan bulan, dan satu tahun dalam perhitungan
kalender lunar adalah sepuluh hari lebih pendek dari pada pada perhitungan
matahari. Jadi empat puluh tahun kalender lunar setara dengan empat puluh tahun
kalender matahari dan dengan demikian tahun 622 M setara dengan 42 tahun
sebelum pendirian kolam pemandian Gadara di tahun 662M. Tahun 622M adalah tahun dimana Kekaisaran
Byzantium memenangkan peperangan yang menentukan dan mengejutkan atas
Kekaisaran Persia, yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Persia. Tidak lama
setelah itu kaum arab mengisi kekosongan kekuasaan dan mengambil alih
Kekaisaran Persia. Segera mereka mengancam kekuasaan Byzantium juga. Apa yang
menjadi penanggalan Arab mungkin berasal dari ditandainya permulaan kaum Arab sebagai
kekuatan politik agar diperhitungkan dalam percaturan dunia.
Demikian
sebuah peristiwa penting yang berhubungan dengan tahun 622 M, namun tidak
mengandung karakteristik khas Islam
,
adalah sebuah prasasti tertanggal tahun 64 - yaitu, tahun 683 menurut kalender Gregorian,
yang merupakan tahun enam puluh empat berdasarkan perhitungan lunar dari 622 tahun.
Grafiti ini ditemukan di dekat Karbala di Irak, yang bertuliskan:
Demi nama Allah Pengasih, Penyayang
Allah besar dalam kebesarannya dan besar dalam kehendakNya
dan doa / pujian bagi Allah pagi hari, sore hari dan malam yang
panjang.
Allah! Tuan dari Jibril, Mikail dan Asrafil,
Ampunilah Tabit bin Yazid al-Asari [yakni - dari Ashar]
pelanggaran-pelanggarannya yang dahulu dan yang akan datang
dan dia yang berkata Amin dengan keras, Tuan dari segala ciptaan
dan dokumen (kitab) ini ditulis di
Sawal tahun 64. [23]
Sawal adalah bulan kesepuluh dalam kalender Islam, dan juga
kalender lunar pra-Islam yang digunakan oleh kaum pagan Arab. Jibril, Mikail,
dan Asrafil adalah malaikat-malaikat dalam tradisi biblical. Sangatlah janggal
apabila Tabit bin Yazid al-Asari seorang Muslim yang memuliakan Muhammad
sebagai nabi yang besar dan terakhir, namun ia menyebut Allah sebagai Tuan atas
malaikat-malaikat ini tetapi tidak menggunakan cara-cara konvensional yang
lebih Islami. Demikian pula, adalah tidak mungkin jika Tabit bin Yazid al-Asari
adalah seorang Kristen atau Yahudi, untuk alasan yang sama, yakni menyebut
Allah sebagai Tuan atas para malaikat bukanlah praktek yang umum bagi kedua
agama ini. Begitu pula prasasti-prasasti lain dari perioda yang hampir sama
menyebutkan Allah sebagai “Tuan dari Musa dan Isa,” – tetapi sekali lagi, tidak
pernah menyebutkan nama Muhammad. [24]
Namun,
prasasti semacam ini semacam prasasti mungkin lebih
umum di antara orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai kaum monoteis
dengan kekerabatan dengan Yahudi dan Kristen tetapi tetap berbeda dari keduanya.
Ini akan cocok dengan apa yang telah kita lihat dari Abrahamisme Muawiyah tapi nampaknya
secara kredo suatu bentuk monoteisme samar.
Muawiya keberatan dengan keilahian Kristus tetapi rupanya tidak cukup
bermusuhan dengan Kekristenan sehingga sama sekali melarang penggunaan salib, seperti
halnya Islam akhirnya lakukan. Tidak ada prasasti yang masih bertahan yang menunjukkan
bahwa Muawiyah menyadari akan Muhammad atau Islam. Namun dia memang menyebutkan
Abraham dan dengan demikian tampaknya
Ia memiliki beberapa pengetahuan tentang tokoh-tokoh pendiri dari kitab
suci Ibrani. Tabit bin Yazid al-Asari, yang tampaknya tinggal di wilayah Muawiyah
selama pemerintahannya, bisa saja orang yang menganut perspektif relijius ini –malahan, mungkin pemahaman
seperti itu telah menjadi keharusan di wilayah kekuasaan Arab yang baru ini.
Jika penjelasan tentang tanda salib di prasasti Gadara hiland
ditelan kabut sejarah, adalah berasalan untuk menduga bahwa kecaman pedas Islam
terhadap salib dan Kekristenan bisa diabaikan sebab kecaman semacam itu belum
terjadi, setidaknya seperti dalam bentuknya sekarang. Koin-koin yang muncul
menggambarkan pengganti Muawiya, Yazind I (680-683) juga menampilkan sebuah
salib. [25]
Bahkan lebih memungkinkan, mengingat koin-koin ini dan sifat resmi
dari prasasti Gadara, bahwa Muawiya dan Yazid menganggap diri mereka dalam
suatu cara sebagai pemimpin kaum Kristen. Mereka mungkin eksponen dari suatu
mazhab Kristen yang tidak mampu bertahan hingga hari ini, namun sebagai sebuah
keimanan yang mencakup Kekristenan namun bertentangan dengan kekristenan secara
umum dalam beberapa hal. Sebuah petunjuk akan sifat dari kekristenan ini yang
mana Muawiya, Yazid, dan banyak pengikut mereka anut dapat ditemukan di
prasasti di dalam Kubah Batu, bangunan peribadatan yang mengagumkan yang
didirikan diakhir abad ketujuh di atas tanah bekas Kenisah di Yerusalem, situs
paling suci bagi Yudaisme dan suci bagi Kekristenan juga. [27]