Wednesday, 14 August 2013

Bab 3 MENGARANG-NGARANG MUHAMMAD (Bag. 1 )

Bab 3
MENGARANG-NGARANG MUHAMMAD


Jika Muhammad Tidak Benar-benar Hidup,
Maka Ia Perlu Dikarang-karang


Dari uraian bab sebelumnya maka jelaslah bahwa apabila kita melacak jejak sejarah Islam awal, maka catatan sejarah, baik itu berasal dari pihak Arab Penakluk dan dari kaum-kaum yang ditaklukan oleh mereka, keduanya benar-benar samar. Alih-alih apa yang kita mungkin berharap untuk temukan – suatu penggambaran para pejuang Muslim yang berteriak “Allahu akbar” sambil menyebut nama Muhammad dan mengutip-kutip Qur’an, justru kita hampir tidak menemukan kehadiran Qur’an, Muhammad, atau Islam sama sekali. Para penguasa Arab, sambil memposiskan mereka sebagai “hamba Allah” atau “agen Allah” (kalifat Allah) dan “pemimpin kaum beriman” tetaplah mereka samar tentang isi dari pengakuan keimanan mereka dan tidak menyebutkan apapun tentang seorang tokoh yang diduga sebagai pendiri agama mereka atau tentang kitab sucinya selama berpuluh-puluh tahun setelah masa awal penaklukan dan mencaplok bagian besar kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.

Peracikan rasa ingin tahu ini akan menggoyang fondasi goyah dari kesejarahan Hadis, yakni catatan tentang ucapan dan perbuatan Muhammad yang bervolume-volume jumlahnya. Pentingnya peranan Hadis dalam Islam tidak bisa dibesar-besarkan lagi. Ketika para ulama menganggap kisah-kisah dalam Hadis sebagai otentik atau sahih, maka Hadis menempati urutan kedua sesudah Qur’an. Bersama-sama dengan Qur’an yang dicoba dijelaskannya, Hadis membentuk dasar hukum Islam dan prakteknya perihal ketaatan relijius individu dan pemerintahan negara Islam. Dan pada kenyataannya, begitu banyak bagian dalam Qur’an yang tidak jelas dan buram, dan hanya bisa dijelaskan oleh Hadis, sehingga secara fungsional, jika tidak secara resmi dikatakan, Hadis adalah otoritas resmi dalam Islam.   

Dengan demikian Hadis menjadi sebuah kebutuhan. Hadis adalah prisma yang darinya sebagian besar Muslim memahami Qur’an. Menurut tradisi Islam, kisah-kisah dalam Hadis memperjelas kutipan-kutipan ayat dalam yang samar dalam Qur’an dengan menyediakan asbab an-nuzul, atau latar belakang turunnya wahyu. Ini adalah cerita-cerita tentang kapan, dimana dan mengapa Muhammad diberikan ayat-ayat tertentu – biasanya dalam rangka untuk memecahkan persoalan sengketa di kalangan umat Islam, atau untuk menjawab pertanyaan yang salah seorang umat ajukan kepada sang Nabi Islam.

Beberapa hadis cukup jelas. Dalam salah satu hadis, Ibnu Abbas, nenek moyang dari Bani Abbasiyah dan juga sahabat Muhammad, ingat bahwa perintah Al-Qur'an untuk “mematuhi Allah, dan taatilah Rasul, dan mereka yang ditunjuk dengan wewenang di antara kamu”  (QS 4:59) diturunkan kepada Muhammad “sehubungan dengan Abdullah bin Qais bin Hudhafa bin Adi,  ketika Nabi menunjuknya sebagai komandan sebuah Sariya (tentara unit).” [1] Penjelasan untuk ayat ini bisa saja masuk akal, tetapi konteks dan pengaturannya seluruhnya dipaksakan: tidak ada dalam ayat Al-Qur'an yang mengacu pada penunjukan khusus oleh Muhammad, penjelasan serupa bisa dengan mudah merujuk kepada sejumlah insiden yang sama.

Hal yang sama dapat dikatakan terhadap penjelasan ayat Qur'an yang mencela orang-orang munafik: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al Kitab(Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (2:44). Menurut salah satu hadis, Ibnu Abbas menjelaskan, “Hal ini terungkap tentang orang Yahudi Madinah,” yang akan “memerintahkan orang-orang untuk mengikuti Islam sementara berpantang diri dari melakukannya.”  Ayat ini tentu bisa mengacu pada Yahudi Madinah yang memerintahkan orang lain mengikuti Muhammad, sedangkan mereka sendiri tidak melakukannya. Tetapi tidak ada indikasi internal mengenai hal itu.

Penjelasan yang lebih rumit dapat ditemukan untuk QS 5:67: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”

Cendekiawan Qur'an abad kesebelas al-Wahidi (w.1075), yang mengumpulkan latar belakang kejadian pewahyuan menerbitkannya  bersama-sama dalam sebuah buku, Asbdb an-Nuzul, mengutip sebuah hadis yang menyatakan bahwa ayat ini diturunkan karena kekhawatiran yang Muhammad rasakan. Hadis ini mengatakan bahwa al-Hasan, salah seorang sahabat Muhammad, melaporkan: “Nabi, Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian, berkata: ‘Ketika Allah, ditinggikanlah Dia, mengirimi aku pesan-Nya, aku merasa ditindas oleh hal itu, karena aku tahu bahwa beberapa orang akan menyebutnya kebohongan.' Rasulullah, Allah memberkatinya dan memberinya damai, khawatir akan kaum Quraisy, Yahudi dan Kristen, sehingga Allah, ditinggikanlah Dia, mewahyukan  ayat ini.”

Namun Al-Wahidi juga melaporkan bahwa seorang Muslim lain, Abu Said al-Khudri, menceritakan cerita berbeda tentang latar belakang ayat tersebut, yakni ayat tersebut “diwahyukan di hari ‘Ghadir Khumm’ tentang Ali ibn Abi Talib, semoga Allah disenangkan dengannya.” Kaum Syiah senang bahwa di tahun terakhir dalam kehidupannya, Muhammad, ketika dalam perjalanan menuju Madinah, berhenti di “Ghadir Khumm,” kolam Khumm, dekat kota al-Juhfah di Arab, dan menyampaikan kotbah dimana ia menunjuk menantunya’ Ali bin Abi Talib, penggantinya, atau terindikasi menjadi penggantinya, dengan menggandeng tangannya, bahwa ia menginginkan Ali menjadi penggantinya.

Menurut berbagai hadis, istri favorit Muhammad, Aisha, dan Ali telah berselisih sejak Ali memperlakukannya secara tak acuh ketika dia dituduh berzinah; beberapa dekade kemudian, pasukan mereka benar-benar bentrok dalam Pertempuran Unta.

Dan setelah menyoal penjelasan Syiah tentang ayat tersebut, al-Wahidi justru mengutip Aisha yang menawarkan penjelasan tentang ayat ini yang tidak ada hubungannya dengan Ali: “Sang Rasul Allah, Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian, begadang semalaman, sehingga aku berkata: ‘Apa yang terjadi, wahai Rasulullah?' Lalu dia berkata:' Tidakkah ada orang benar yang akan berdiri untuk mengawasi kita malam ini?’ Kemudian kami mendengar keributan yang disebabkan oleh senjata, dan Rasulullah bertanya: ‘Siapa di sana?’  ‘Ini adalah Sa'ad dan Hudhayfa, kami datang untuk berjaga-jaga atas Anda, Maka datanglah responsnya. Sang Utusan  Allah, Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian, pergi tidur, dan ia tidur begitu dalam sehingga aku mendengar dengkurannya, ayat ini kemudian terungkap. Rasul Allah, Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian, kemudian muncul kepalanya keluar dari kerah jubah-Nya dan berkata: 'Wahai manusia, Kalian dapat pergi, karena Allah telah melindungi saya.’”

Akhirnya, al-Wahidi mengutip Ibnu Abbas, yang memberikan penjelasan yang sama: “Rasulullah, Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian, terbiasa untuk dijaga. Abu Thalib biasanya  mengirim setiap harinya orang-orang dari Bani Hasyim untuk menjaga dia sampai ayat ini diturunkan (O Sang Utusan! Biarlah diketahui apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu) sehingga turunlah firman-Nya (Allah akan melindungi engkau dari manusia). Maka ketika pamannya ingin mengirim kepadanya beberapa orang untuk melindungi dirinya, ia berkata: ‘Wahai paman! Sesungguhnya Allah telah melindungiku dari jin dan manusia.’” [3]

Banyaknya penjelasan yang berbeda-beda tentang ayat ini menunjukkan tidak adanya keaslian dari mereka.  Jika salah satu dari keempat penjelasan dari ayat itu benar, dan dengan itu sama tuanya dengan ayat itu sendiri, sulit untuk memahami bagaimana penjelasan-penjelasan lain bisa muncul atau, jika mereka diformulasikan untuk alasan politik, bagaimana mereka akan memperoleh kepercayaan yang luas. Jelaslah bahwa tidak ada yang benar-benar tahu keadaan dari ayat tersebut, sehingga cerita-cerita dikarang-karang untuk untuk menjelaskannya.

Kisah-kisah tentang sebab turunnya ayat-ayat Qur’an umumnya muncul terlambat, dengan hadis yang berasal dari abad kesembilan. Tidak ada bukti sejaman dengan Al Qur'an yang menjelaskan asal-usulnya. Sehubungan dengan itu, bisa jadi kisah-kisah ini dikarang-karang untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an, bukan benar-benar menyajikan keadaan historis wahyu kepada Muhammad.